025. Ayah dan Anak

1175 Words
Laras terbangun hanya ketika mendengar ketukan dari pintu. Dia membuka matanya dengan malas, terdiam sesaat tanpa bergerak sama sekali. Secara perlahan, gadis itu menggerakkan kepalanya menatap keseluruhan ruang kamar yang kini dua tempati. Ketika semua ingatannya telah pulih dan sadar bahwa dia sekarang di rumah ayahnya di kota D, saat itulah Laras menghembuskan napas lega. Dia pikir dia sedang diculik karena terbangun di tempat yang asing. "Laras, waktunya makan siang." Suara panggilan dari kakaknya terdengar. Laras menguap lebar dan akhirnya bangkit dari tempat tidur. Saat dia membuka pintu, dia disambut oleh kakaknya yang menatapnya dengan lembut. Laras entah bagaimana menjadi waspada, dia menyipitkan matanya dan bertanya dengan hati-hati. "Rifaldi, kamu kan sudah tua, kenapa belum nikah? Apakah kamu menyimpan perasaan aneh?" Rifaldi masih dengan sangat tenang ketika menanggapi pertanyaan aneh adiknya. "Bukan tua, tapi dewasa. Perasaan aneh apa yang kamu maksud?" Tidak mungkin Laras mengatakan apa perasaan aneh itu. Jadi dia terdiam cukup lama hingga mereka sampai di meja makan, Rifaldi juga tidak terlalu menyimpan rasa penasaran dan tidak bertanya lebih banyak. Ketika sampai di meja makan, ayah mereka telah duduk duluan dengan posisi tegap dan berwibawa. Wajahnya tidak memiliki keramahan sama sekali seolah dia sangat enggan dan tidak menyukai kehadiran Laras yang ada di rumah ini. Wajah Laras menjadi cemberut ketika melihat ayahnya. Dia dan ayahnya tidak pernah akur, mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu. Tentu saja itu bukan salahnya, ayahnya lah yang selalu membuatnya kesal. Karena itu juga dia enggan datang ke kota D, namun setiap liburan semester dia terpaksa harus datang. Laras duduk di kursi terjauh dari ayahnya, menunjukkan sikap bahwa dia sangat kesal pada ayahnya bahkan sebelum pertengkaran di mulai. Gunawan— ayah Laras pun membuang wajah untuk mengungkapkan bahwa dia tidak ingin melihat Laras sama sekali. Rifaldi merasa sangat tak berdaya dengan semua ini, dia melihat adiknya yang membuat wajah cemberut, lalu menoleh ke arah ayahnya yang kini bersikap tegas meski Rifaldi sangat tahu bahwa ayahnya itu sangat menyayangi dan mengkhawatirkan Laras. Entah apa yang terjadi sehingga ayahnya bersifat sangat menentang Laras setiap waktu. Setelah makanan telah disiapkan semuanya, Rifaldi segera mendorong makanan ke dekat Laras. "Makanlah, semua adalah makanan kesukaanmu." Mendengar itu, Laras melihat semua jenis makanan di atas meja dan senyum muncul di wajahnya. Dia mengangguk, dan mengambil makanan dengan senang hati. Namun ketika dia hanya sedikit senang, suara yang tidak menyenangkan terdengar. "Siapa yang meminta orang dapur untuk memasak makanan tidak sehat ini? Berapa kali aku harus mengatakan untuk memasak seperti biasanya bahkan jika anak itu datang." Gunawan berkata dengan tegas dan penuh kritik, namun tidak ada pembantu rumah tangga yang bangkit memberi makanan berbeda atau pun menanggapinya, mereka sudah terlalu terbiasa dengan karakter tuan mereka yang sangat disengaja itu. Mungkin satu-satunya yang menganggap ucapan Gunawan serius adalah orang yang baru saja disindirnya— Laras. Laras meletakkan sendok dan garpu di tangannya ke atas meja dengan kesal, menatap penuh amarah pada ayahnya. "Emang kenapa kalau masakan kesukaanku dimasak? Lagi pula aku tidak akan ada setiap hari di rumah ini." "Lalu pergi, untuk apa kamu lari ke sini di hari sekolah? Apakah kamu ingin dikeluarkan dari sekolahmu?" Gunawan membalas dengan tajam, langsung menembus ke jantung Laras. Mendengar usiran dari ayahnya, mata Laras langsung memerah, merasa sangat sesak di dadanya. "Siapa juga yang mau tinggal di rumah jelek ini? Jika ibu ada di negara ini, aku memilih pergi ke rumahnya!" Gunawan tertawa mengejek, "Lalu pergi ke ibumu sana, jika kamu tinggal di sini dan terus bolos lebih baik pindah sekolah sekalian." Laras menggertakkan giginya, makanan enak di depannya telah menjadi hambar setelah mendengar kata-kata dari ayahnya. "Aku tidak mau pindah!" "Lalu pergi," balas Gunawan. Laras membuka mulutnya dengan pandangan tak percaya menatap ke arah ayahnya. "Ayah bodoh!" teriaknya sebelum bangkit berdiri dan lari ke arah kamarnya. Melihat hal tersebut, Gunawan mengerutkan keningnya. "Anak itu selalu saja pergi sebelum selesai makan." Rifaldi menghela napas berat, namun tidak terkejut dengan perkembangan tindakan seperti ini, lagi pula dia telah terbiasa dengan kejadian ini. Tatapan lelahnya tertuju kepada ayahnya yang kini sedang bingung. "Ayah, jangan selalu memancing emosi Laras." Gunawan menolak untuk mengakui bahwa dia memancing emosi putrinya, dia memasang wajah angkuhnya. "Aku hanya ingin dia pindah sekolah di sini, kapan aku memancing emosinya?" katanya tanpa jejak bersalah sama sekali. Mengingat semua kata-kata yang diucapkan Gunawan, meski memang benar mengandung perintah untuk Laras pindah sekolah di sini, tetapi ucapan itu lebih terdengar sebagai pengusiran. Gunawan telah terbiasa mengatakan hal-hal seperti itu kepada putrinya, tetapi setelah Laras pergi ke kamarnya, dia menjadi panik sendiri. "Kamu makan cepat, setelah itu berikan makanan ke kamar adikmu. Pastikan dia tidak sedang mengemas barangnya dan pergi kembali ke kota B." Bagaimana pun Laras adalah putri tersayangnya, dia sangat senang ketika Laras datang ke sini sehingga dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Hanya saja mengingat Laras sedang sekolah saat ini, itu buruk bagi putrinya tetap di sini tanpa pindah sekolah. "Kenapa kamu masih makan? Cepat antarkan makanan ke kamar adikmu!" desaknya. Rifaldi bahkan belum menyentuh makanan di piringnya, dia menatap ayahnya dengan pandangan kosong, seolah tidak mengerti kenapa dia harus selalu menyelesaikan masalah yang dibuat ayahnya itu. Laras tidak mengetahui bahwa ayahnya kini sedang khawatir dia akan segera pergi, gadis itu hanya berpikir bahwa ayahnya tidak ingin dia tinggal lama di sini. Dia pun juga enggan tinggal lama di sini, namun dia tidak memiliki tujuan lain selain di sini. Gadis itu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan tangisan kecil, dia sama sekali tidak tahu kenapa ayahnya begitu tidak menyukainya, sangat menyebalkan dan membenci kehadirannya. Ingin sekali Laras mengambil kopernya dan pergi sekarang juga setelah meminta uang dari kakaknya, tetapi Laras tidak tahu harus kemana lagi. Jadi gadis itu harus menahan emosi di hatinya yang bergejolak dan dengan terpaksa terus tinggal di sini. Suara perutnya yang menggemuruh membuat tangisan Laras berhenti seketika. Dia lapar, mengingat makanan yang ada di meja, dia menjadi lebih lapar. Namun egonya melarangnya untuk bangkit dan kembali ke meja makan, dia sangat enggan menghadapi ayahnya lagi. Tetapi jika dia tidak pergi, maka dia hanya akan terus menahan laparnya. Ketika hati Laras bertarung antara makam atau tidak, pintu kamarnya terbuka dengan perlahan. "Laras, aku membawakan makanan untukmu. Bangun dan makan," suara Rifaldi terdengar seperti penyelamat di saat Laras sekarat. Laras segera bangkit, menghapus jejak air mata di pipinya yang mulus dan dengan senang hati menunggu kakaknya masuk memberikan makanan kepadanya. "Rifaldi, kakakku yang terbaik!" serunya tanpa ragu melemparkan pujian. Rifaldi tersenyum mendengarnya, menyiapkan makanan untuk Laras dengan kasih sayang. "Ayah yang memintaku melakukan ini," katanya. Mendengar itu, Laras mendengus keras, sama sekali tidak mempercayainya. "Jangan selalu mengatakan kebohongan untuk orang tua itu, aku sangat tahu sifatnya. Tidak mungkin dia akan melakukan itu." "Kamu harus memahami sifat ayah, jangan mudah terbawa emosi dengannya." Rifaldi terus mencoba menenangkan adiknya sembari berusaha memperbaiki hubungan ayah dan anak. Namun Laras tidak menyambut baik niat mulia Rifaldi, "Bagaimana mungkin aku mudah terbawa emosi? Ayah lah yang selalu dengan sengaja membuatku emosi. Aku tidak bisa berdamai dengan ayah. Bahkan jika aku mau, ayah tidak akan mau." Dan kesalahpahaman antara hubungan ayah dan anak itu terus berlanjut. Rifaldi lelah untuk terus memperjuangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD