026. Ponsel Baru

1100 Words
Laras menolak kembali ke kota B. Bahkan jika itu artinya dia harus mendapatkan absensi yang buruk, Laras tidak akan peduli. Lagi pula masih ada Rena di sana yang lumayan sedikit dapat diandalkan. Sesuai rutinitas asli, jika Laras tidak datang sekolah, maka Rena akan memberitahu guru bahwa temannya itu sedang sakit. Hal-hal yang saling memanfaatkan itulah yang membuat persahabatan kedua gadis itu masih bertahan hingga sekarang. Ketika Laras keluar dari kamarnya, dia tidak bisa melihat sosok kakak dan ayahnya. Hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang berkeliaran membersihkan rumah. "Dimana Rifaldi?" tanya Laras pada salah satu asisten rumah tangga yang sedang menyeka keramik. Dengan rendah hati, asisten rumah tangga itu menjawab, "Dua jam yang lalu, Tuan Muda telah berangkat ke perusahaan." Laras cemberut ketika mendengar. Dia mengangguk malas dan berjalan berkeliling di sekitar rumah. Rumah ayahnya sangat besar dan luas, namun tak seluas rumah mereka di kota B yang selalu ditinggali Laras. Hanya saja beberapa jejak kehidupan lebih terlihat jelas, terlebih lagi ada beberapa asisten rumah tangga ke sana sini meninggalkan jejak kegiatan. Berbeda dengan rumah di kota B, di mana Laras menolak kehadiran asisten rumah tangga dan hanya menerima bi Ina datang setiap pagi hingga siang untuk membantunya membersihkan rumah dan memasak. Sisanya hanya keberadaan Laras yang dengan sengaja sering memberantakan segala hal di rumah. Setelah berjalan beberapa saat, Laras merasa bosan. Dia tidak melihat hal baik di sini, semuanya terasa sama sepinya ketika dia tinggal seorang diri di kota B. Sebuah suara terdengar dari sebuah ruangan yang tak jauh darinya. Itu adalah ruang kerja ayahnya. Kemungkinan besar ayahnya sedang kerja di dalam sana. Laras mendengus kesal, ingin berbalik pergi namun menahan langkah kakinya. Sejak kecil, Laras sering diganggu oleh ayahnya, membuatnya selalu cemberut dan kesal. Hal itu terus berlanjut sampai detik ini. Tampaknya kedua ayah anak itu tidak memiliki kecocokan sama sekali. Setiap bertemu yang keluar dari mulur mereka hanyalah kata-kata tajam untuk satu sama lain. Bukannya Laras tidak ingin berdamai dengan ayahnya, berulang kali dia berusaha untuk memiliki ikatan ayah dan anak yang baik seperti yang lainnya. Tetapi bahkan jika Laras ingin, itu tidak akan terwujud jika ayahnya terus mengganggunya. Lagi pula Laras bukan tipe orang yang akan diam jika disinggung. Berpikir beberapa saat, Laras berjalan ke arah ruangan itu dan membuka pintu lalu masuk ke dalam. "Ayah, aku mau ponsel baru. Berikan aku satu," kata Laras segera setelah masuk. Dia ingin meminta kepada Rifaldi, tetapi Rifaldi tidak ada di rumah. Dan juga memikirkan beban kerja kakaknya yang menggunung, Laras tidak nyaman untuk mengganggunya. Jadi tidak ada pilihan lain selain mengharapkan ayahnya sedikit berbaik hati padanya. Dia ingin menelepon Rena dan menjelaskan segalanya agar temannya itu tenang. Namun yang tidak diharapkannya, bukannya mendapatkan perlakuan yang baik, Laras malah mendapatkan teguran dari ayahnya. "Sejak kapan aku mengajarimu untuk masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu?" Mata Gunawan menatap tajam ke arah putrinya, suara tegas yang mengagetkan Laras. Laras tidak terbiasa dengan keluarganya yang berteriak atau berbicara kepadanya dengan menggunakan suara keras, sehingga dia sedikit terkejut. "Apa salahnya langsung masuk?" katanya dengan bingung. Lagi pula ini adalah ruang kerja, bukan ruang kamar, tidak ada hal yang perlu dihindari untuk masuk ke dalam sini. Dan juga Laras yakin suaranya sebelumnya sangat normal dan rendah, tidak mungkin mengganggu pekerjaan ayahnya. Berpikir seperti itu, Laras memiliki tebakan dalam hatinya. "Ayah hanya tidak ingin melihatku!" serunya. Gunawan mencengkram album foto di bawah meja, dia mengangguk kepada anaknya dengan tidak sabar. "Ya, ya, kamu tahu itu, lalu segera keluar." Air mata Laras telah menumpuk di bawah matanya, namun tatapannya masih dengan tegas tertuju pada ayahnya. "Aku tidak akan lagi datang menemui Ayah, jangan bicara lagi padaku!" katanya dengan penuh penekanan di setiap kata yang diucapkannya. Kemudian gadis itu berbalik keluar dari ruang kerja ayahnya, tidak lupa dia menutup pintu dengan kekuatan besar yang menimbulkan suara nyaring debupan. Gunawan memastikan bahwa Laras tidak akan kembali masuk ke ruang kerjanya sebelum dia menghela napas lega. Dia mengangkat tangannya dan meletakkan album foto kembali ke atas meja, dia menatap lama ke album tersebut sebelum mengundurkan niat untuk membuka dan meletakkannya ke laci meja tempat di mana album itu selalu dia simpan. Namun setelah beberapa saat, dia menjadi panik. Berpikir apa yang dikatakannya sebelumnya dan wajah menangis putrinya, Gunawan menjadi khawatir. Dia segera menelepon putranya yang sedang kerja, "Belikan Laras ponsel baru. Ingat untuk mencarikan ponsel terbaru dan terbaik tahun ini. Jangan lupa bungkus dengan indah agar gadis itu semangat. Lakukan itu setelah kamu pulang kerja— tidak tidak, itu kelamaan. Lakukan itu sekarang. Pulang sekarang dan berikan pada Laras." Rifaldi menatap berkas yang menumpuk di depan matanya dan mendengarkan dengan hampa ketika ayahnya mulai berbicara dengan nada mendesak. "Ayah, aku masih memiliki beberapa hal penting di sini. Aku akan meminta orang lain mengirimkan ponsel baru kepada Laras," katanya dengan kesabaran yang besar. Namun Gunawan tidak peduli dengan itu, "Apakah pekerjaan di sana atau adikmu yang lucu yang lebih penting?" tanyanya tanpa ampun. Rifaldi pada akhirnya menghembuskan napas panjang dan menyerah, "Aku akan kembali sekarang." Gunawan mengangguk puas, mematikan panggilan dan terus menyibukkan dirinya dengan laptop. Di layar laptop, terlihat jelas sebuah situs pencarian dengan sebuah judul yang memiliki huruf tebal dan besar. [Hal-Hal yang Disukai Gadis Remaja] Jika saja Laras melihat ini, dia pasti sangat senang dan melompat kegirangan karena ayahnya menyibukkan diri hanya untuk dirinya. Namun sayangnya, gadis itu saat ini sedang berbaring di tempat tidur dan menangis karena ayahnya sangat membencinya. Laras memikirkan berulang kali apa yang membuat ayahnya sangat tidak menyukainya, namun dia tidak dapat menemukan alasan itu sama sekali. Setiap orang terdekatnya selalu menyukai dan ingin membuatnya bahagia. Bahkan kakak sepupunya pun memiliki perasaan kepadanya, lalu kenapa ayahnya bisa membencinya? Memikirkan kembali kakak sepupunya yang ternyata memiliki perasaan tak wajar untuknya, Laras mencengkram selimut di atas tempat tidur dengan erat. Meski telah bertekad untuk menjauhi Randi, tetapi berpikir dia hidup tanpa bantuan dan perhatian dari kakak sepupunya itu, Laras merasa sangat tersiksa. Dadanya terasa sesak dengan setumpuk keluhan yang tak bisa dikeluarkan. Untuk beberapa saat, Laras merasa bahwa dirinya sangat menyedihkan. Dulu dia ditinggalkan keluarganya dan hidup seorang diri di rumah besar. Lalu Randi merawatnya dan menjaganya. Namun sekarang dia harus kehilangan Randi juga. Dia kembali sendiri lagi. Apa lagi yang bisa lebih menyedihkan dari itu. Satu hal kecil bisa membuat Laras tertawa terbahak-bahak hingga membuat perutnya sakit. Dan satu hal kecil juga bisa membuat Laras menangis berlarut-larut seolah tidak ada lagi hari esok. Ketika Rifaldi tiba di depan pintu kamar adiknya, dia bisa mendengar suara isakan tangis adiknya. Pria muda itu mengerutkan kening, berpikir hal apa lagi yang dikatakan ayahnya secara acak sehingga membuat tuan putri mereka yang memiliki perasaan rapuh menangis seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD