027. Balik ke Kota B

1642 Words
Ketika Laras terbangun, dia menemukan sebuah kotak di atas meja nakas di samping tempat tidurnya. Melihat kotak yang terbungkus indah dengan balutan kertas kado dan pita merah muda, suasana hati Laras segera menjadi sangat baik. Dia ingin tersenyum namun segera tertahan, merasakan sisa perasaan sesak dari kesedihan sebelumnya, dia menghela napas tak nyaman. Namun tangannya masih dengan jujur terulur untuk meraih kotak itu, melepaskan pita dengan hati-hati dan membuka tutup kota perlahan. Ketika dia melihat bahwa kotak itu ternyata merupakan kotak ponsel baru, Laras merasa tertegun sejenak. Baru saja dia meminta ponsel baru kepada ayahnya, dan dia segera diberikan ponsel baru setelah bangun dari tidur siang. Berpikir sepertinya ini, seharusnya Laras berprasangka baik dengan mengira bahwa ini adalah perbuatan dari ayahnya. Namun Laras sama sekali tidak berpikir sama sekali tentang itu. Laras hanya merasa dia beruntung. Baru saja dia gagal mendapatkan ponsel dari ayahnya yang pelit, dan segera dia mendapatkan kado berisi ponsel secara misterius di kamarnya. Tak perlu dikatakan lagi, ini pasti ulah kakaknya yang sangat lembut dan pengertian. Sebelumnya, Laras menceritakan bagaimana dia kehilangan dompet dan tidak membawa ponsel kepada Rifaldi, jadi kakaknya itu pasti segera mengemas ponsel imut ini kepadanya. Laras telah sering bergonta-ganti ponsel. Dalam sebulan, dia bisa mengganti sampai tiga ponsel sekaligus. Itu karena dia sangat emosional dan terbiasa melampiaskan amarahnya dengan melempar barang di sekitarnya. Ponsel merupakan salah satu korban yang paling sering menjadi pelampiasan amarahnya. Namun tidak ada orang yang berkomentar tentang hal itu. Bagi mereka, ponsel hanya berharga beberapa juta, tidak perlu mendebatkan sesuatu yang sederhana seperti itu. Jadi setiap kali Laras kehilangan ponselnya, keluarganya akan dengan pemahaman yang dalam memberikan yang baru dan sekaligus memasukkan kartu nomor dan memori untuknya. Laras akhirnya tersenyum, merasa sangat senang dan segera bangkit untuk menemui kakaknya. Dia menghentikan asisten rumah tangga yang berkeliling degan kain lap di pundaknya. "Tunggu, dimana Rifaldi?" tanyanya dengan mendesak. "Di ruang kerja Tuan." Setelah memperoleh jawaban yang memuaskan, Laras mengangguk dengan senang dan langsung berjalan menuju ke ruang kerja ayahnya. Tapi kali ini dia tidak langsung masuk. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Laras mendengus dan hanya berdiri di depan pintu, menunggu kakaknya keluar. Lama Laras menunggu, dia merasa bosan. Dia yang awalnya berdiri menjadi berjongkok di lantai dengan punggung bersandar di dinding. Isolasi suara di dalam ruang kerja ayahnya sangat baik, tidak ada suara yang keluar sama sekali. Laras sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, dan dia juga tidak terlalu tertarik untuk mengetahui apa yang mereka bahas. Paling banyak itu persoalan perusahaan yang Laras sama sekali tidak mengerti. Setelah untuk waktu yang Laras tidak ketahui, pintu di sampingnya akhirnya terbuka, sosok kakaknya keluar dengan langkah cepat. Ketika melihat keberadaan Laras, Rifaldi menghentikan langkahnya dan menunduk untuk melihat adik kecilnya yang kini berjongkok di lantai. "Kenapa kamu di sini?" tanya Rifaldi dengan ekspresi terkejut. Laras mengangkat kepalanya, melihat lurus ke arah kakaknya dan bertanya pelan, "Kamu akan kembali ke perusahaan?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan rifaldi sebelumnya kepadanya. Dari langkah kaki kakaknya tadi ketika keluar, Laras tahu bahwa pria ini pasti memiliki urusan yang mendesak. Benar saja, Rifaldi mengangguk dan mengangkat lengannya untuk melihat waktu di jam tangan. "Ya, ada beberapa hal yang harus ditangani." Dia menjawab dengan samar, sangat mengerti bahwa adiknya itu pasti tidak ingin begitu tahu tentang urusan perusahaan. Meski dia sangat terburu-buru saat ini, Rifaldi masih menyempatkan diri untuk mengobrol dengan santai bersama adiknya, tanpa mengungkapkan bahwa dalam setengah jam ke depan dia harus menangani klien yang penting dari luar negeri. "Apakah kamu sudah melihat kotak di kamarmu?" tanyanya dengan lembut. Laras mengangguk, "Ponsel baru, terima kasih. Warnanya aku suka, dan juga sangat tipis dan mudah dipegang." "Itu bagus jika kamu suka." Rifaldi memasukkan tangannya ke dalam setelan jas abu-abunya dan mengeluarkan sebuah kartu persegi berwarna hitam untuk Laras. "Gunakan ini untuk belanja, untuk dompetmu yang dicuri, akan segera ditemukan dalam waktu dekat." Laras mengambil kartu ATM itu dengan santai. Dia telah memiliki banyak kartu yang mirip seperti ini di rumah, bahkan tersebar kemana-mana dan sering hilang begitu saja. Semua kartu itu berisi uang yang diberikan keluarganya padanya. Berbeda dengan orang lain yang begitu semangat dengan uang, di mata Laras, uang hanyalah sederet angka. Dengan satu panggilan telepon kepada keluarganya, dia bisa melipatkan angka-angka dalam kartu ATM-nya itu. "Oke. Bukankah kamu sibuk, pergilah segera. Jangan membuang waktumu," kata Laras dengan tatapan tertuju pada kartu di tangannya. Rifaldi mengangkat tangannya untuk menggosok kepala adiknya dengan lembut, "Baiklah, aku akan pergi sekarang. Malam ini, jika aku datang cepat, aku akan membawamu makan di luar." Laras tersenyum ketika mendengarnya, "Oke, maka cepatlah pergi agar kamu bisa cepat pulang." Gadis itu berdiri, setengah mendorong kakaknya agar segera pergi dan tidak membuang waktu lagi untuknya. Rifaldi juga tidak berdaya dengan waktu yang semakin mendesak, dia mengikuti ucapan adiknya dan pergi sesegera mungkin. Namun kenyataannya semuanya hanya bisa menjadi rencana. Rifaldi terhalang oleh klien dan belum juga pulang di malam hari sehingga rencana untuk makan di luar bersama Laras tidak bisa direalisasi. "Maaf, besok aku akan mengajakmu makan di luar," kata Rifaldi dengan penyesalan. Laras berbaring di tempat tidur, dengan malas mendekatkan ponsel di telinganya. "Tidak masalah, lagi pula aku malas saat ini. Aku sedang tidak memiliki mood untuk melangkahkan kakiku ke luar." Ketika dia berbicara, dia menguap lebar untuk membuktikan betapa malas dan mengantuknya dia saat ini. "Baiklah, jangan langsung tidur. Kamu harus makan terlebih dahulu," kata Rifaldi. Laras bergumam malas, "Um, aku tahu. Sudahlah, aku matikan teleponnya." Tanpa menunggu jawaban dari kakaknya, Laras segera memutuskan sambungan begitu saja. Segera dia melepaskan ponsel dari tangannya dan tubuhnya terkapar di atas tempat tidur dengan lesu. Setelah beberapa saat, sebuah ketukan pintu terdengar dengan suara asisten rumah tangga yang memanggilnya. "Nona Laras, makan malam sudah disajikan di atas meja." Laras melirik ke jam dinding, sudah pukul 10 malam. "Apakah jam makan di rumah ini sangat kacau?" gumamnya sembari bangun dan keluar dari kamarnya. Dia dibawa ke meja makan, namun tidak ada siapa pun yang mengisi meja makan selain dia. Laras mengerutkan keningnya dan menoleh ke samping, "Dimana orang tua itu?" tanya Laras dengan cemberut. Apakah ayahnya tidak ingin makan malam bersamanya? "Tuan sudah makan sedari tadi," jawab asisten rumah tangga, sangat memahami siapa orang tua dalam ucapan Laras. Laras berpikir dan mengangguk. Beberapa jam yang lalu, dia memang dipanggil untuk makan malam oleh asisten rumah tangga, namun dia menolak karena dia mengingat rencana kakaknya untuk membawanya makan di luar. Tetapi sayangnya rencana gagal, dan dia seorang diri yang belum mengisi perut dengan makanan. Tatapan Laras menyusuri setiap kursi yang kosong di atas meja makan. Hanya ada dia yang duduk dengan makanan melimpah di atas meja. Aroma makanan menguar sangat menggugah selera, namun tangan Laras tanpa kekuatan bergerak makan perlahan. Sebelum makanan di piringnya habis, dia telah berhenti makan dan bangkit berdiri untuk kembali ke kamarnya. Keesokan harinya, Laras bangun pagi, setelah mengatur semuanya, dia berjalan ke ruang tengah di mana ayah dan kakaknya berada. "Kamu sudah bangun?" kata Rifaldi ketika melihat sosok adiknya mendekat, namun tatapannya segera berhenti di koper yang didorong Laras. Laras telah berpakaian rapi dengan kacamata hitam di wajahnya. "Aku akan kembali ke kota B," katanya dengan santai. Dia menatap ke arah layar ponselnya membaca sederet kata di tertera, "Penerbangan pagi ini, aku juga sudah memesan taksi. Jadi aku pergi," setelah mengatakan itu, dia lanjut berjalan menuju pintu keluar. Tindakan Laras sangat santai dan alami, namun Rifaldi dan Gunawan dibuat terkejut olehnya dan segera bangkit berdiri. "Tunggu, kenapa terburu-buru?" Rifaldi bergegas menghentikan adiknya. "Apakah kamu marah karena semalam?" Laras membuat ekspresi cemberut, "Aku sudah merapikan rambutku untuk waktu yang lama, jangan merusaknya." Dia menatap kesal pada tangan Rifaldi yang ada di bahunya yang menjepit rambut panjangnya yang terurai. Rifaldi segera melepaskan tangannya dan mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. "Tentu saja bukan karena hal itu, lagian apa bedanya makan di luar dan di dalam. Hanya saja Rena mendesakku untuk masuk sekolah. Dia bilang akan memutuskan pertemanan denganku jika aku tidak juga kembali. Meskipun anak itu sangat menyebalkan, tetapi setidaknya dia cukup baik untuk dimanfaatkan. Jadi aku harus pulang dan menenangkan amarahnya," jawab Laras. Dia bahkan membuka riwayat pesan dari Rena dan menunjukkan kepada Rifaldi. Benar saja, pesan Rena yang mendesaknya untuk kembali ke sekolah benar-benar ada. Rifaldi menghela napas lega, "Kamu bisa pergi sebentar sore, tidak perlu terburu-buru seperti ini." Laras membuka mulutnya untuk menjawab, namun suara ayahnya segera terdengar. "Bukankah itu kebiasannya, datang tanpa beri kabar, begitu pun ketika pergi. Benar-benar tidak ada etika," kata Gunawan tajam. Jika diterjemahkan ke dalam benak pria paruh baya itu, dia hanya ingin Laras untuk tinggal lebih lama, tidak seperti sekarang yang pergi begitu saja. Namun di otak Laras, kata-kata ayahnya merupakan sindiran dan ejekan yang sangat sinis. Amarah gadis itu segera meluap-luap, tatapannya di balik kacamata hitam tertuju kepada ayahnya dengan tegas. "Bukankah Ayah yang ingin aku pergi cepat? Baiklah aku akan pergi. Siapa juga yang mau tinggal di rumah yang jelek ini? Lagi pula aku tidak pernah menganggap rumah mana pun selain rumah di kota B sebagai rumahku. Selamat tinggal!" Setelah itu, Laras langsung berjalan cepat mendorong kopernya untuk pergi. "Tunggu, aku akan mengantarmu," kata Rifaldi cepat. Laras menolak dengan cepat, "Aku naik taksi." Salah satu dari seribu kebiasaan buruk Laras, ketika dia marah, dia akan tanpa sadar melampiaskan amarahnya kepada semua orang. Jadi bahkan jika dia sedang marah dengan ayahnya saat ini, itu juga langsung berlaku kepada Rifaldi. Tanpa menunggu kakaknya bersiap ganti baju dan mengambil kunci mobil, dia telah keluar dan naik taksi menuju bandara. Rifaldi menghela napas, menatap arah ayahnya dengan pandangan tak berdaya. Gunawan juga tidak berdaya, dia mengalihkan pandangannya ke koran di tangannya, berpura-pura tidak mengetahui tatapan menyalahkan dari putranya. "Ayah, bukankah aku sudah mengatakan berulang kali, jangan terus memancing emosi Laras." Rifaldi menghela napas lagi, merasa sakit kepala tiba-tiba melanda dirinya. Gunawan membalik lembaran koran tanpa menyadari bahwa koran yang dipegangnya terbalik. "Siapa yang memancing emosinya, aku hanya meminta untuk tinggal lebih lama," elaknya begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD