028. Kembali Seperti Semula

1621 Words
Setelah naik taksi, Laras membuka kacamata hitamnya. Matanya yang merah dan bengkak terlihat, cukup mudah untuk memperkirakan bahwa semalam dia telah menghabiskan waktunya untuk menangis lagi. Laras menoleh ke samping, menatap pemandangan asing di luar jendela dengan pandangan hampa. Setiap semester dia akan datang ke kota ini untuk tinggal selama beberapa hari, namun dia tidak pernah merasakan keakraban dengannya. Semuanya tampak sangat asing, entah itu setiap toko yang dilalui atau tatanan kota yang diperindah setiap waktu. Sopir taksi kadang kala mencari topik untuk mengobrol, namun melihat kurangnya keramahan dari penumpang, sang sopir akhirnya berhenti bicara dan fokus menyetir dengan baik. Sehingga lagu pop yang diputar kini menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di dalam mobil. Setengah jalan menuju bandara, ponsel Laras berdering. Gadis itu dengan malas mengalihkan pandangannya dan meraih ponselnya. Nama Rena tertera jelas di layar sebagai penelepon. Laras menjawab panggilan, memakai earphone di telinganya untuk lebih nyaman. "Kenapa?" tanyanya cemberut. "Bukan apa-apa," jawab Rena. Saat ini waktu istirahat, dia sedang duduk di bangkunya dan memakan keripik dengan santai. "Aku hanya ingin bilang selama kamu di sana jangan lupa belanja beberapa untukku. Makanan khas kota D lumayan enak-enak, tolong jangan lupakan aku." Laras memutar matanya ketika mendengar ini, "Aku sudah menuju ke bandara, jangan mengharapkan apa-apa." "Hah? Serius? Aku pikir kamu akan tinggal lebih lama di sana," kata Rena tampak seperti bergumam pada dirinya sendiri. "Sejak kapan aku suka tinggal di kota ini? Bertemu ayahku membuatku ingin pulang setiap saat," cibir Laras. "Lagi pula, bukankah kamu selalu ingin aku pulang cepat?" Bukti chat yang dia ditunjukan Laras sebelumnya kepada Rifaldi tidaklah bohong. Rena benar-benar mendesak Laras beberapa kali untuk balik pulang. Namun siapa Laras? Semakin didesak, gadis itu akan semakin kerasa kepala. Nyatanya alasan dia balik dengan cepat dan tiba-tiba tidak ada sangkut pautnya sedikit pun dengan Rena. Hanya saja Laras membutuhkan kambing hitam, dan Rena sangat cocok untuk itu. "Yah, tapi jika kamu ingin bermain sedikit, bermainlah. Lagi pula dengan kekuasaan ayah dan ibuku serta kakakmu, jika kamu ingin berbaring tanpa melakukan apa-apa, kamu akan tetap lulus pun." Rena berkata dengan santai, sesekali ada suara kunyahan keripik yang datang darinya. Laras tidak tahu, apakah Rena sedang berbicara fakta atau sedang mengejeknya, namun dia tidak terlalu memikirkannya. Selama perjalanan, Laras ditemani oleh Rena. Kedua gadis itu mengobrol tentang banyak hal hingga akhirnya Rena harus mematikan panggilan karena kelas sudah masuk. Sesampainya di depan bandara, Laras turun dari taksi. Dia menggenggam pegangan kopernya, mendorong untuk masuk ke dalam. Waktu penerbangan masih setengah jam lagi, Laras check in terlebih dahulu dan duduk dengan gelisah di kursi tunggu. Gadis itu duduk menyendiri, menggerakkan jari-jarinya secara acak atau menggoyangkan kakinya naik turun dengan asal, tampak sedang menghibur diri sendiri. Ada suara tangis yang keras terdengar, Laras secara spontan menoleh untuk melihat seorang anak kini duduk di lantai menangis dan mengamuk. Beberapa orang menenangkannya dan berusaha mengangkatnya dari lantai, namun anak yang tampak berumur sepuluh tahun itu tidak mau bangkit dan terus menangis. Laras memperhatikan kelompok kecil itu dalam diam. Dia tidak tahu tepatnya apa yang terjadi pada mereka, namun tindakan itu mengingatkan Laras kenangan beberapa tahun yang lalu. Ketika ibu dan ayahnya memilih cerai dan keluar dari rumah, Laras juga menangis sangat keras. Dia bahkan menolak untuk pergi ke bandara untuk melihat kepergian mereka. Laras dengan tegas terus menetap di rumah, memeluk kaki meja dengan kuat agar tidak ada seseorang pun bisa menariknya dan membawanya pergi. Tindakannya saat itu membuat semua orang kewalahan dan hanya bisa menyerah untuk berpikir membawanya pergi. Laras akhirnya mendapatkan keinginannya untuk tetap tinggal di rumah dan melihat keluarganya satu persatu pergi meninggalkannya. Satu tetes air mata turun begitu saja, meluncur dengan kecepatan tak disadari Laras. Laras mengusap pipinya, dia agak kesal dengan dirinya sendiri yang sangat cengeng, namun dia tidak bisa menghentikan kebiasaan menangisnya itu. Setiap kali dia merasa tidak nyaman, Laras hanya bisa meluapkan semuanya dengan menangis dan marah. Dia tidak bisa bersikap setenang orang lain dalam menghadapi masalah. Laras telah mencobanya berulang kali, dan terus saja gagal. Ponselnya berdering, Laras melihat waktu pada jam di bagian atas ruangan dan menekan tombol di earphone yang masing terpasang di telinganya. Sudah waktunya istirahat kedua di sekolah, seharusnya ini panggilan dari Rena lagi. "Sudah aku katakan, aku tidak akan membelikan makanan apa pun untukmu." Laras segera berbicara terlebih dahulu dengan nada tegas tanpa bisa dinegosiasi. Namun yang menjawab bukanlah Rena, melainkan suara seorang pemuda yang sangat familiar. "Ini aku," katanya. Laras membeku seketika. Bahkan tanpa menyebutkan nama, Laras langsung mengetahui siapa pemilik suara itu. Lagi pula selama beberapa tahun ini, Laras sangat dekat dengan pemilik suara tersebut, mungkin saja hanya dari suara bersin, Laras bisa langsung mengenalinya. Setelah mengatakan hal tersebut, Randi tidak lagi mengatakan apa-apa. Laras juga diam, matanya mulai merah tanpa alasan yang jelas. Gadis itu menggertakkan giginya, merasa kesal karena dia tidak bisa menahan emosinya lagi. "Laras, kamu—" Ketika Randi akhirnya berbicara, Laras segera memotong ucapan kakak sepupunya itu. "Semua karena kamu," kata gadis tersebut dengan penuh penekanan. Randi kembali terdiam. "Semua karena kamu, Randi," ulang Laras. Gadis itu tidak ingin menangis lagi, namun dia tidak pernah bisa berhasil menahan air matanya untuk turun. Ketika Laras sedang emosional, dia tiba-tiba melupakan segalanya tentang dimana dia berada atau keberadaan orang-orang di sekitarnya. "Karena perasaanmu itu, aku menjadi seperti ini. Itu salahmu, semuanya salahmu! Siapa yang memintamu untuk menyimpan perasaan seperti itu untukku?" "Laras, tenanglah." Randi berbicara perlahan dengan suara rendah, mencoba untuk menenangkan amarah gadis yang telah dijaganya untuk waktu yang lama. "Jika kamu ingin aku tenang, maka jangan lagi menghubungiku! Aku harus mengalami semua hal menyebalkan ini karenamu ... dan kamu bahkan tidak membantuku lagi. Enyah!" Laras langsung memutuskan panggilan secata sepihak. Tangan gadis itu mencengkeram kuat ponselnya. Keinginan melempar ponsel barunya sangat besar, namun Laras segera mengurungkan niatnya itu. Penerbangan dari kota D ke kota B membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Laras hampir tertidur di pesawat, namun setiap kali dia akan kehilangan kesadaran, tubuh gadis itu tampak tersentak dan terbangun. Hal itu terjadi berulang kali sampai akhirnya pesawat yang ditumpanginya turun mendarat dengan aman. Laras dengan membawa kopernya mengikuti arus orang-orang yang menuju keluar bandara. Tatapannya menyapu setiap sudut, tampak sedang mencari sesuatu namun dia sendiri pun tidak tahu apa yang dicarinya. Namun ketika tatapannya berhenti ke satu sosok, Laras terdiam sesaat sebelum menarik kopernya menuju ke sosok tersebut. "Kenapa kamu di sini?" tanya Laras, matanya yang telah kembali ditutupi kacamata hitam melotot marah. Randi menoleh dan lega ketika melihat Laras telah di sisinya, "Kakakmu mengatakan kamu sudah balik," jawabnya. Laras mengerutkan keningnya, melepaskan kacamata yang dikenakan. "Lalu siapa yang memintamu datang? Apakah aku membutuhkanmu untuk menjemputku?" Kali ini Randi tidak menjawab, hanya menatap gadis di depannya dengan tenang. Ketenangan Randi itu membuat Laras menjadi semakin kesal. Dia kesal kenapa harus dia sendiri yang emosional, sedangkan akar penyebab masalahnya bisa begitu santai tanpa beban sama sekali. Bagi Laras ini sama sekali tidak adil. Karena perasaan aneh kakak sepupunya, Laras merasa sangat takut. Dia pergi dari kota B dan menuju ke kota D. Dari saat dia tiba di kota D, dia harus mengalami banyak kesialan. Dan juga keadaan di rumah membuatnya semakin tertekan hingga akhirnya tidak tahan dan kembali ke kota B. Dengan semua yang Laras lalui, namun Randi masih sama seperti sebelumnya. Tenang dan santai, tampaknya semuanya tidak ada dampaknya sedikit pun untuknya. Itu membuat Laras sangat marah, sangat marah hingga dia mengangkat tangannya yang mengepal dan memukul kakak sepupunya itu. "Kamu sialan Randi! Sialan! Sialan! Sialan! ..." Di setiap kata 'sialan' dia akan menggerakkan tangannya memukul Randi, mengungkapkan bahwa dia sedang marah dan kesal. Randi tetap diam. Pukulan Laras tidak terasa sakit sama sekali, namun ekspresi wajah gadis itulah yang membuat Randi merasa tertekan. "Maaf," kata Randi, menahan pergelangan tangan Laras dan satu tangannya terangkat mengelus kepala gadis itu. "Maafkan aku," ulangnya. Laras menengadah, menatap Randi dengan mata merahnya. "Apakah maafmu itu berguna? Apakah dengan kamu meminta maaf maka aku bisa merasa tenang? Apakah dengan kamu meminta maaf, semua bisa kembali seperti dulu? Semua salahmu, kenapa kamu menyimpan perasaan seperti itu padaku. Aku harus menjauhimu, dan kamu pun begitu. Tapi aku tidak ingin kehilangan kakak sepupuku. Jika kakak sepupuku pergi, siapa lagi yang akan menjagaku? Siapa lagi yang akan menegurku ketika aku salah? Siapa lagi yang akan memelukku ketika aku menangis? Randi sialan, kenapa kamu harus melakukan ini padaku?" Sebelum Laras menyelesaikan kata-katanya, Randi telah menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Satu tangan bergerak naik turun mengelus punggung gadis itu untuk menenangkannya. Laras menggigit bibir bawahnya, dia mengulurkan tangannya dan memeluk pinggang kakak sepupunya dengan erat. "Kamu harus tanggung jawab, kembalikan kakak sepupuku kepadaku. Kakak sepupuku yang dulu, pokoknya kembalikan. Jika aku kehilangannya, maka aku tidak punya siapa-siapa lagi di sisiku. Aku tidak akan mampu." Tatapan Randi tampak berfluktuasi, namun raut wajahnya masih terlihat tenang. "Baiklah," katanya akhirnya, "aku akan mengembalikan kakak sepupu yang kamu inginkan." Ketika Randi berbicara, Laras dapat merasakan getaran dari dalam tubuh kakaknya. Gadis itu mengangkat kepalanya, matanya yang berair tampak penuh dengan kebingungan dan keingintahuan. Randi menunduk untuk bertemu dengan tatapan gadis itu, "Aku bilang, aku akan mengembalikan kakak sepupumu. Semuanya akan kembali seperti semula, kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa pun." "Benarkah?" tanya Laras dengan heran, belum dapat mempercayai kata-kata kakak sepupunya. Randi mengangguk, "Aku akan tetap kakak sepupumu, menjagamu dan mengawasimu. Terus berada di sisimu. Untuk perasaanku itu, anggap saja tidak pernah ada, semua akan kembali seperti semula tanpa ada perbedaan sama sekali. Apakah kamu senang?" Berpikir bahwa dia tidak perlu menjauhi kakak sepupunya, dan juga kakak sepupunya akan tetap sama seperti semula tanpa perlu mengkhawatirkan perasaan yang tidak wajar itu, Laras tentu saja merasa senang. Gadis itu dengan jujur mengangguk, dengan wajah penuh tangisnya, akhirnya mengungkapkan senyum yang cerah. Senyuman yang sama seperti sebelumnya. "Senang!" Randi juga tersenyum tipis, "Jangan menangis lagi, tersenyum lebih cocok untukmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD