029. Perasaan yang Terkubur

1131 Words
Laras duduk sembari bermain hape di depan meja makan sementara Randi menyiapkan makanan untuknya. Gadis itu dengan malas menjelajahi sosial media. Ketika dia bertemu dengan sesuatu yang lucu, dia akan tertawa terbahak-bahak, meninggalkan komentar dan membagikannya. Sering kali dia juga memeriksa akun teman-temannya dan melihat aktivitas mereka kini. Ketika Randi datang untuk meletakkan piring di depannya, Laras melirik dengan sengaja. Dia melihat kakak sepupunya berbalik dan kembali masuk ke dalam dapur, mungkin mengambil hal lainnya lagi. Setelah semuanya menjadi tenang, Laras tiba-tiba memiliki rasa penasaran yang besar terhadap sesuatu. Dia memikirkannya namun tidak memiliki ide untuk menghapus rasa penasarannya. "Jangan bengong saja, makan yang banyak." Randi mendengungkan sendok dengan piring untuk menyadarkan adik kecilnya itu. Laras memasang ekspresi cemberut, dia mengangguk dan langsung makan apa yang disediakan Randi untuknya. Dia belum makan dari tadi, karena emosi, dia juga tidak memiliki pikiran untuk sarapan, jadi saat ini dia sangat lapar. Gadis itu terus menggerakkan sendok, mentransfer makanan dari piring ke dalam mulutnya sementara kakak sepupunya bertugas menambah lauk pauk ke dalam piringnya. Setelah Laras selesai makan, dia bangkit dan pergi ke sofa ruang tengah. Merasa sangat lega ketika dia membuang seluruh tubuhnya ke atas sofa, merasakan sesuatu yang familiar, dia sangat nyaman sehingga tidak tahan untuk langsung tidur. Randi baru saja membersihkan dapur dan ingin menghampiri gadis itu. Ketika melihat adik sepupunya tidur sangat nyenyak, dia tidak tahan untuk membangunkannya. Terlebih lagi wajah Laras terlihat sangat lelah, bahkan suara televisi yang keras yang diputarnya tidak mampu membangunkan dirinya dari tidur nyenyak. Dari dulu, Laras selalu mudah membawa segalanya ke hatinya. Apa pun dapat membuatnya emosional, sehingga sangat mudah melelahkan otaknya sendiri. Beberapa hari terakhir ini, gadis itu pasti sangat tertekan. Sehingga ketika semua pikirannya telah lega, dia menjadi lemah dan tidur begitu saja untuk mengisi energinya. Tatapan Randi dalam mengamati wajah Laras, diam seperti itu dan merasa bahwa semuanya berjalan sangat buruk. Ketika Laras bangun, dia telah berada di atas tempat tidur. Dengan linglung dia menatap segala arah dan merasa bingung. Dalam beberapa saat yang konyol, Laras merasa dirinya memiliki kemampuan teleportasi. Namun dia segera sadar bahwa ini adalah ulah kakak sepupunya, sering kali hal ini terjadi padanya. Setelah minum air, Laras kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidurnya yang nyenyak. Keesokan harinya, Laras datang sekolah. Dia membawa tas kain yang membumbung, melemparkannya ke atas meja Rena dengan usaha keras. "Aku membelinya di jalan, sayang sekali aku benar-benar tidak punya waktu untuk membelikanmu makanan khas kota D," katanya pada temannya itu. Rena sedang mengerjakan tugas rumah yang belum dia selesaikan. Namun bukunya kini tertindih tas kain besar yang dibawa Laras. Dia akan kesal namun segera surut ketika melihat beraneka macam makanan ringan dan minuman di dalam tas kain itu. "Terima kasih," kata Rena dengan puas. Laras memutar matanya, duduk di bangkunya dan menatap ke sekitar dengan nostalgia. "Baru beberapa hari perasaan aku tidak datang, tapi rasanya telah pergi berabad-abad," katanya lalu membuang napas panjang. Rena sedang mendistribusikan beberapa makanan ringan dan minumannya ke teman sekelas lain. Mendengarkan apa yang dikatakan teman sebangkunya itu, dia mencibir, "Seolah aku percaya. Sejak kapan kamu peduli dengan sekolah? Tidak ada lagi orang kedua setelah kamu di sekolah ini yang menganggap sekolah sebagai tempat wisata yang bisa didatangi kapan pun mau." "Tahu apa kamu, apakah kamu pikir aku ingin bolos?" Laras melotot marah pada Rena. Rena membuka salah satu bungkus makanan ringan olahan dari kentang dalam bentuk stik. Dia melirik Laras sedikit, makan dengan santai ketika dia berbicara seolah tanpa maksud, "Jadi kenapa kamu memilih kembali? Aku pikir kamu tidak akan pernah mau kembali lagi." "Sudah aku bilang aku tidak pernah betah tinggal di kota besar itu," jawab Laras ketus. Rena mengangguk, "Oh, tapi tinggal di sini artinya kamu akan terus bertemu Kak Randi." Laras mengangkat pandangannya dari layar ponsel, kepalanya menoleh ke samping menatap ke arah Rena. Dia melirik sekitar sekilas sebelum akhirnya berbicara kepada temannya itu, "Aku dan Randi sudah damai." Mendengar itu, Rena menghentikan tangannya, dia dengan fokus menatap Laras seolah tertarik dengan topik kali ini. "Damai? Bagaimana kalian damai?" tanyanya penuh minat, dia tentu saja sangat ingin tahu bagaimana perkembangan dari kisah dua insan yang bersepupu ini. "Ya gitu saja, semua kembali seperti semula," jawab Laras dengan santai. "Hah?" Rena mengernyit, "Seperti semula gimana?" Laras memutar matanya, menatap Rena seolah dia sedang menatap orang bodoh. "Kami akan menganggap bahwa perasaan Randi itu tidak pernah ada," katanya. Jawaban itu tidak diharapkan Rena sehingga gadis itu sedikit terdiam, lalu dia menatap temannya dengan pandangan aneh. "Kamu yang meminta itu?" tanyanya. "Randi yang mengatakannya," bantah Laras. Fokus kembali dengan ponselnya, tidak menyadari bahwa raut wajah temannya menjadi tidak baik. "Laras," panggil Rena. Laras bergumam samar, tidak begitu memedulikannya. Rena mengernyit, ingin memberikan temannya itu pengertian namun bel masuk telah berdering dan waktunya proses belajar mengajar di kelas. Jadi Rena hanya bisa menelan kata-katanya kembali, merasa bahwa dia juga tidak memiliki hak untuk memberi saran atau petunjuk, jangan sampai dia menyesatkan temannya itu. Hanya saja, Rena tiba-tiba merasa kasihan kepada kakak sepupu Laras itu. Ketika pulang sekolah, Laras dan Rena menunggu di halte bus seperti sebelumnya. "Kenapa tidak pesan taksi?" tanya Rena dengan bingung, namun tetap patuh menurunkan ponselnya dan makan keripik. Sebelum Laras menjawabnya, sebuah mobil yang familiar telah berhenti di depan mereka. Laras tersenyum lebar, menatap ke arah Rena dengan tatapan yang sepertinya memiliki rasa pamer. "Karena Randi yang jemput," katanya. Kemudian dia dengan semangat membuka pintu depan dan masuk. Rena berdiri sebentar, menatap kosong temannya dan berjalan membuka pintu belakang dan juga duduk dengan tenang. "Randi, tadi di kelas Bu Yaya nunjuk aku untuk jawab pertanyaan di papan, aku bisa jawab dengan lancar." Laras menceritakan kejadian di kelas dengan bangga kepada kakak sepupunya. Randi yang sedang menyetir menanggapi dengan tenang, "Itu bagus, tetap pertahankan." "Tentu saja, lagi pula soalnya sangat mudah. Aku meliriknya dan langsung tahu jawabannya." "Sangat cerdas." "Ya, ya, aku memang cerdas." Rena di kursi belakang menatap hampa ke jendela, hatinya penuh cibiran dengan semua kata-kata Laras yang membanggakan dirinya sendiri. Jelas saja bahwa di kelas sebelumnya, ketika guru memanggil Laras untuk menjawab soal, Laras segera menarik bukunya dan menyontek jawabannya. Namun demi menjaga harga diri gadis itu, Rena memilih diam dan terus mendengarkan obrolan penuh omong kosong yang ada di depannya. Berpikir seperti ini, tampaknya semuanya memang sama seperti sebelumnya. Tampaknya tidak ada yang berbeda. Laras tetap gadis ceria yang sangat dekat dengan kakak sepupunya, dan Randi tetap pemuda tenang yang selalu menjaga dan mengawasi Laras. Jika saja Rena tidak tahu yang sebenarnya, dia mungkin tidak akan menyadari bahwa di balik semua ini ada perasaan yang terkubur dalam tanpa bisa menanjak menunjukkan wujudnya. Rena melirik ke arah Randi, melihat senyum tipis pemuda itu saat menanggapi ocehan konyol Laras, Rena tiba-tiba menghela napas berat. Bukan dia yang mengemban perasaan itu dan bukan dia tempat perasaan itu tertuju, tetapi kenapa dia merasa sangat menyesal?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD