030. Kafetaria

1445 Words
"Kamu tidak pernah mengajakku ke kampusmu," kata Laras dengan suara pelan, seolah sedang mengeluh akan ketidakadilan yang diterimanya. Randi memarkirkan mobil di pinggir jalan, berhenti tepat di depan rumah Rena. Dia menoleh ke samping setelah berhasil menghentikan mobil dengan mulus, "Kamu ingin ke kampusku?" Mendengar itu, mata Laras langsung berbinar. Dia mengangguk antusias. "Boleh?" tanyanya dengan gembira. Namun dia tidak membutuhkan jawaban Randi. Dia langsung menoleh ke belakang, pada Rena yang kini telah membuka pintu mobil bagian belakang. "Ren, besok kita akan jalan-jalan ke kampus. Bawalah baju bagus dan mari tunjukan pesona pada anak-anak mahasiswa itu." Rena menatap Laras dengan aneh, namun dia mengangguk. "Ya, kalau begitu aku turun. Terima kasih Kak." Bagian terakhir yang diucapkannya ditujukan untuk Randi. Setelah mendengar gumaman rendah Randi, dan jawaban dari Laras, Rena keluar dari mobil dan menuju ke rumahnya. Di mobil hanya tersisa Laras dan Randi. Kedua kakak sepupu itu mengobrol tentang banyak hal secara acak. Namun dibandingkan Randi, Laras yang lebih banyak bicara. Randi terkadang hanya bertindak di posisi pendengar saja. Sekali-sekali pemuda itu akan menanggapi dengan beberapa kata. Keesokan harinya, Laras mengajak Rena ke rumahnya setelah pulang sekolah. Les hanya empat hari saja dari Senin hingga Kamis, jadi pada hari Jumat mereka bebas untuk bermain bersama di kampus terkenal di kota ini. Kedua gadis itu berganti pakaian dan berdandan dengan indah. Laras sangat antusias, menggunakan segala macam alat riasnya sebagai alat sihir untuk membuat dirinya secantik Cinderella. "Sebenarnya untuk apa kita berdandan hanya untuk pergi ke kampus?" tanya Rena, dia sama sekali tidak mengerti. Namun sebagai seorang gadis, dia juga suka berdandan sehingga dengan senang hati mengikuti permainan Laras. Laras menatap ke cermin, melihat wajahnya yang terpampang sempurna di depannya membuatnya tersenyum lebar. "Kita tidak boleh kalah dari mahasiswa! Meski kita masih SMA, kita harus menunjukkan cahaya kita kepada mereka." "Cahaya kita?" Rena menatap kosong ke cermin. Mencari-cari letak cahaya yang dimaksud Laras. Laras melemparkan brush di tangannya ke Rena. "Cahaya kecantikan!" serunya, sangat tidak puas dengan tanggapan Rena yang tidak memenuhi harapannya. "Oh," Rena mengangguk, meski belum mengerti sama sekali. Laras mencibir kesal, mengambil dua warna lipcream dari meja riasnya dan membentuk ombre di bibirnya. Sontak wajahnya menjadi cerah, bersinar, dan segar. Gadis itu menatap lama bayangannya di cermin dan menghela napas panjang. "Pantas saja Randi bisa jatuh hati padaku, lihatlah wajahku ini. Menjadi cantik benar-benar dosa terbesarku," gumamnya. Rena mendelik jijik mendengar ucapan Laras. Dia menoleh dan menatap temannya yang narsis itu dengan pandangan aneh. "Oh, kamu sekarang mengakui perasaan Kak Randi untukmu?" "Tentu saja tidak," kata Laras, meletakkan alat riasnya kembali ke tempatnya semula, dan bangkit dari kursi. "Aku hanya mengutarakan fakta. Kecantikanku sangat berbahaya dan dapat menargetkan siapa pun tanpa pandang bulu. Ck ck, menakutkan." Kedua gadis itu selesai bersiap-siap, setelah itu mereka bergegas keluar. Mobil Randi telah terparkir di depan rumah, tampaknya telah menunggu untuk beberapa waktu. Laras tidak pernah meragukan ketepatan waktu kakak sepupunya, jadi dia dengan senang hati masuk ke dalam ingin menyapa kakak sepupunya namun bertemu dengan orang asing lagi. Tangan lentik Laras yang memegang pintu depan yang terbuka berhenti, "Kamu lagi?" katanya tidak puas. Fito menoleh, tersenyum kepada Laras yang masih berdiri di luar dan mengangkat tangan untuk menyapa. "Hai, kakakmu ada matkul saat ini, jadi dia memintaku menjemput kalian." Mendengarnya, Laras mengangguk. "Ren, kamu duduk di depan." Dia berjalan pindah ke pintu belakang dan duduk dengan cemberut. Rena segera bertukar tempat dengan Laras untuk duduk di depan, jangan sampai mereka berdua duduk di belakang dan membuat Fito yang merupakan senior mereka merasa diperlakukan sebagai sopir. "Bukannya Kak Fito satu jurusan dengan Kak Randi? Kenapa bisa bebas menjemput kami sekarang?" tanya Rena dengan senyum ramah, berusaha untuk meredakan suasana dan memperbaiki pandangan buruk yang dibuat Laras baru saja kepada Fito. Fito adalah sosok yang santai. Dia tidak begitu mengambil pusing tentang tindakan Laras yang terkesan tidak baik padanya. Mendengar pertanyaan basa basi Rena, Fito menjalankan mobil sembari menjawab dengan santai. "Ya, kami satu jurusan, hanya saja ada beberapa kelas yang berbeda." Rena mengangguk, dia tidak begitu mengetahui tentang sistem belajar di universitas. Berhubung dia lumayan pandai berkomunikasi dengan orang lain dan sedikit penasaran tentang kampus, Rena terus melanjutkan obrolan santai dengan Fito. Di dalam mobil itu, selain musik pop barat yang terdengar, suara obrolan yang tenang juga mengisi ruang. Laras mengirim pesan kepada Randi, namun belum ada jawaban sama sekali dari kakak sepupunya itu. Seketika pikirannya langsung tertuju pada waktu Randi mengabaikan setiap pesan darinya. Dia mulai bertanya-tanya, apakah Randi mengabaikan pesan darinya lagi? Mobil berhenti di tempat parkir, ketiga orang di dalamnya keluar secara bersamaan. Laras melihat sekitar dengan ragu, melirik ke arah Rena dengan kode rahasia. Rena sebenarnya tidak ingin mengerti, namun sayangnya dia sangat paham apa yang diinginkan gadis itu. Dia memutar matanya kepada Laras dan mengeluarkan senyum ramah kepada Fito. "Terima kasih Kak sudah mengantar kami. Btw, Kak Randi ada dimana?" Fito memainkan kunci mobil di jari-jarinya, dia berjalan ke posisi para gadis itu dan menjawab pertanyaan yang diajukan Rena. "Masih masuk kayaknya, dia memintaku untuk mengantarkan kalian ke kafetaria." Di antara gedung jurusan Bahasa dan Seni, ada gedung kafetaria 2 yang sangat diminati dari gedung kafetaria lainnya. Fito mengajak kedua gadis itu ke sana, langsung membawa mereka ke lantai tiga tempat dia sering berkunjung. "Kalian ingin makan apa? Biar aku pesankan untuk kalian," kata Fito. Kemudian dia mulai menjabarkan setiap menu populer kepada Laras dan Rena. Mengungkapkan segala macam kelebihan setiap hidangan, tampak seperti sedang menerima endors dari kafetaria. Rena mengangguk dengan hati-hati, melirik ke Laras dan melihat gadis itu memasang ekspresi acuh tak acuh tak tertarik, jadi dia lagi yang mengambil tanggung jawab memilih makanan. "Kami makan nasi goreng udang saja Kak, yang satu jangan kasih pedas, soalnya Laras suka sakit perut kalau makan makanan pedas," kata Rena. Kemudian dia merasa dia sedikit tidak sopan dan segera bangkit berdiri, "Atau aku ke loket saja untuk pesan sendiri, tidak perlu merepotkan Kak Fito." Fito langsung menolak, "Tidak perlu, kalian masih asing di sini, jadi duduk saja dengan santai." Setelah itu, dia segera berjalan ke loket untuk memesan makanan. "Apaan sih Ren, biarkan saja. Kita kan tamu, tamu harus dilayani." Laras berkata dengan nada angkuh, tidak begitu mengerti mengapa Rena selalu suka merepotkan dirinya sendiri. Bukan hanya kali ini, setiap dia bertemu orang lain, Rena akan menunjukkan tampang ramah dan baik. Terkadang Laras merasa seperti orang jahat ketika melihat keramahan temannya itu. Rena melotot ke arah Laras, "Tidak enak, jangan merepotkan orang lain." Lalu dia merasa gelisah sendiri, dia berpikir singkat dan akhirnya bangkit berdiri. "Dah lah, aku ikut ke sana. Tidak nyaman merepotkan orang, lagi pula kita tidak dekat dengan Kak Fito, nanti kesannya kita sombong." Laras dengan hampa melihat temannya itu berjalan menjauh. Dia ingin menghentikannya namun terlalu malas untuk mengeluarkan suara. Lagi pula dia juga tidak begitu peduli, jadi dia hanya duduk sendiri dengan nyaman sembari bermain dengan ponselnya. Tak lama kemudian, dia merasakan tepukan pelan di bahunya. Laras mendengus keras, "Sakit Randi!" serunya kesal, menoleh dan melihat kakak sepupunya telah berdiri di belakangnya. "Usil," gerutunya, menarik tangan Randi agar pemuda itu duduk di sampingnya. "Aku dari tadi mengirim pesan, tetapi kamu tidak membalasnya sama sekali." Randi melirik ke jari-jari ramping Laras yang menahan pergelangan tangannya secara sekilas sebelum mengalihkan tatapannya ke wajah cemberut adik sepupunya itu. "Ponselku mati," katanya. Sebagai bukti, dia mengeluarkan ponselnya dari tas hitamnya dan menyerahkannya pada Laras. Tatapan curiga Laras tertuju pada Randi, dia meraih ponsel itu dan berusaha menyalakannya. Namun ponsel itu benar-benar tidak dapat dinyalakan. "Kenapa bisa ponsel dengan merek sebagus ini lowbat?" tanya Laras dengan tidak percaya. "Semua benda elektronik yang memiliki baterai bisa lowbat." Rena meletakkan nampan di atas meja, dia tersenyum terpaksa kepada Laras, tatapannya memiliki isyarat agar Laras tidak bicara omong kosong. Kemudian memberi jalan agar Fito lewat dan duduk di seberang Randi, sementara dia duduk di depan Laras. "Apaan sih, ikut campur saja kamu." Laras mencibir kesal. "Berikan power bank-mu," katanya, mengulurkan tangan ke Rena. "Tidak perlu dicas," kata Randi. "Perlu, bagaimana jika aku ingin mengirimmu pesan lagi? Kamu akan mengabaikannya lagi!" Laras mengelak dari tangan Randi yang ingin mengambil kembali ponselnya, gadis itu menggerakkan jarinya tidak sabar agar Rena mempercepat gerakannya. "Aku di dekatmu sekarang," kata Randi dengan senyum geli. Mengulurkan tangan untuk mengusap kepala adik sepupunya dengan gemas. "Randi! Aku sudah mengatur rambutku hampir setengah jam!" Laras menahan tangan kakaknya, mencengkeramnya kuat agar tidak usil merusak rambutnya lagi. Rena tiba-tiba merasa menjadi obat nyamuk di sini. Melihat tindakan kedua orang itu, dia menghela napas dan sibuk dengan makanan di depannya. Lagi pula selama ada makanan, apa pun bisa dia abaikan. Sementara itu Fito yang juga ada di sini, menatap bolak balik antara Randi dan Laras. Entah apa yang dipikirkannya, dia tersenyum kecil dan menunduk untuk makan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD