010. Film Horor

1940 Words
Laras datang ke sekolah dengan membawa tas kain yang mengembung, namun itu tidak menghalanginya untuk berjalan dengan langkah anggun dan penuh kharisma. Saat itu sepuluh menit sebelum bel berbunyi, waktu paling ramai di gerbang sekolah di mana para murid berlomba-lomba untuk datang. Beberapa orang bahkan sampai berlarian ketika mereka berpikir diri mereka terlambat. Bagaimana pun ini adalah sekolah yang ketat, setiap kesalahan akan ada pengurangan poin. Terlebih lagi ini adalah hari Senin di mana upacara bendera akan dilaksanakan. Beberapa anggota OSIS telah berdiri di depan gerbang sebagai penjaga ketertiban dan menegur beberapa murid yang tidak menggunakan atribut lengkap seragam sekolah. Laras dengan malas menunjukkan topi dan dasinya, berjalan melewati gerbang dengan langkah anggun dan kepala terangkat. Tatapannya hanya melirik sebentar ke sekitar, benar-benar tidak ingin membiarkan dirinya terlalu peduli dengan sekitar. Lagi pula orang populer tidak tahu apa-apa tentang sekitarnya, tetapi sekitarnya lah yang tahu segalanya tentang dia. Ketika dia masuk ke kelas, suasana sudah sangat ricuh seolah sedang terjadi perang. Beberapa orang berteriak ketika bermain game, beberapa lagi berlarian di kelas, dan sisanya melakukan aktivitas mereka yang beraneka ragam. Laras menuju ke tempat duduknya, meletakkan tas kain yang dibawanya di atas meja Rena. "Katakan terima kasih." "Terima kasih," kata Rena langsung tanpa tahu apa-apa, tetapi melihat tas kain membumbung di atas mejanya, dia tahu Laras telah berbaik hati padanya. Dia mengambil tas kain tersebut, membukanya dan melihat banyak cemilan di dalamnya. Dia melihat berbagai makanan ringan dan minuman yang tentunya tidak akan dibeli beberapa orang ketika melihat harganya. "Apakah kamu membeli semua ini untukku? Benar saja, aku tidak boleh memutuskan pertemanan denganmu." Rena berkata dengan senyuman, dia mengambil beberapa dan melemparkannya ke teman-teman sekelas, membaginya dan menyisakan untuk dirinya sendiri. Laras memutar matanya ketika mendengar ucapan Rena. Dia telah duduk santai bermain dengan ponselnya. "Rifaldi membawa beberapa," katanya dengan santai. "Oh? Jadi apakah kakakmu itu masih di sini?" tanya Rena sekadar basa basi, dia membuka bungkusan keripik pisang rasa cokelat. Merasakannya dan mengangguk untuk menunjukkan bahwa rasanya tidak buruk. "Sudah pulang tadi malam, dia harus kerja hari ini." Laras menjawab dengan cemberut. Baginya kehadiran Rifaldi sangat cepat, bahkan sebelum dia bersenang-senang dengan kakaknya itu, dia sudah pergi begitu saja. Laras merencanakan berbagai tempat yang akan mereka kunjungi, namun satu saja yang terealisasikan, yang lainnya hanya menjadi agenda dalam pikirannya saja. "Oh iya, hari ini mulai les. Kita akan pulang jam 5 sore, menyenangkan bukan?" Rena mengingatkan gadis itu, bagaimana pun Laras memiliki ingatan yang buruk. Rena sebagai teman yang baik merasa memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan gadis itu setiap saat. Laras mengangguk, merasa bahwa les tidak selamanya buruk. Meski dia harus berkutat dengan pelajaran, setidaknya dia memiliki waktu lama di luar rumah. Berada di rumah yang luas namun sepi benar-benar menguras sel-sel otaknya. Kedua gadis itu mengobrol santai untuk sesaat sebelum bel berbunyi yang menandakan upacara bendera akan dilaksanakan. Beberapa murid segera melepaskan kegiatan yang sedang mereka lakukan untuk menuju ke lapangan. Namun masih ada beberapa yang bergerak lambat dan sengaja menunda langkah mereka. Semalam, karena kepergian Rifaldi, Laras tidak bisa tidur dan menangis sebentar. Itu membuatnya malas bergerak sekarang, apalagi pergi ke lapangan untuk bertarung dengan sinar matahari yang menyengat di atas kepalanya. Dengan tarikan dari Rena, Laras berjalan dengan langkah berat menuju ke lapangan umum. Dia bahkan memakai dasinya secara acak, dengan topi yang masih digenggam di tangannya. Ketika guru menegurnya, barulah dia memperbaiki dasinya dan memakai topinya. Bersikap sebagai murid yang baik dan patuh meski dalam hati menggerutu tidak puas. Di siang hari, setelah jam pelajaran terakhir berakhir, tidak ada murid yang keluar dari pintu kelas. Mereka hanya meregangkan tubuh karena lelah duduk dan berjalan santai di sekitar untuk mengganggu teman sekelas lainnya. "Bagaimana? Apakah semuanya setuju?" Suara keras dan lantang bertanya meminta pendapat murid-murid, itu adalah Halim, murid yang agak nakal dan suka bermain-main. Beberapa teman sekelas berteriak 'setuju' membuat suara mereka menggemuruh di dalam ruang kelas. Laras mengernyit, menoleh ke belakang dan bertanya dengan alis terangkat, "Hal menarik apa yang sedang kalian rencanakan?" "Menonton film di kelas setelah les, Tuan Putri Laras mau ikut?" tawar Halim dengan suara penuh hormat. Lagi pula Laras adalah orang terpenting di kelas mereka yang beberapa kali mengajak mereka makan di restoran bintang lima dan membiayai liburan mereka. Tidak heran jika mereka berbicara dengan nada menyanjung kepada Laras. Laras berpikir sejenak dan mengangguk setuju, "Tapi bagaimana kita akan nonton film? Dengan laptop kecilmu itu?" Gadis itu melirik ke laptop yang bertengger di atas meja Halim dengan cemoohan yang terlihat di matanya. Halim tersenyum penuh misteri, "Untuk itu serahkan kepada ketua kelas kita." Dia menunjuk ke arah Zulkifli dengan antusias. Zulkifli sebagai ketua kelas yang telah menjabat tiga tahun karena tidak ada yang berniat menggantikannya kini menyeringai licik. "Serahkan tugas ini padaku." "Kalian jangan berbuat macam-macam," tegur Tiara, sang sekretaris kelas yang mengerjakan segala urusan kelas. Bahkan ketua kelas sering melemparkan tanggung jawabnya ke gadis itu, itu membuat Tiara menyimpan dendam namun hanya bisa menenangkan dirinya. Kata-kata dan senyuman kedua pemuda itu membangkitkan rasa penasaran Laras. Dia menoleh ke arah Rena dan tersenyum geli, "Kamu juga ikut?" Karena Laras telah mengatakan dia ikut, Rena secara alami juga akan ikut. Dia mengangguk sembari memakan keripik, tangganya yang satu menyiapkan alat tulis untuk les sebentar lagi. Laras menatap temannya yang satu itu dan menjadi cemberut. "Rasanya kamu semakin suka belajar semenjak naik kelas dua belas," katanya dengan masam. Dia tidak suka belajar, dan secara otomatis dia ingin orang sekitarnya juga tidak suka belajar. Namun kenyataannya orang-orang di sekitarnya sangat menikmati ilmu pengetahuan yang melimpah itu. Jangan katakan Randi yang setiap hari hanya berkutat dengan buku, Rena yang dulunya agak malas juga tampaknya mulai tercerahkan dan mulai fokus pada pelajaran. "Tentu saja, aku ingin kuliah di Universitas B. Sangat sulit untuk masuk ke sana, jadi aku harus rajin belajar mulai sekarang." Rena berkata dengan nada pasti, kemudian dia menghela napas. "Meski tidak ada kata terlambat, aku merasa bahwa aku telah terlambat untuk belajar." Laras menutupi telinganya dengan earphone, enggan mendengarkan hal-hal yang memotivasi seperti itu. Setelah diberi istirahat satu jam untuk bersantai dan makan siang, guru akhirnya datang untuk memberikan pelajaran tambahan mulai dari pelajaran kelas satu. Laras menatap ke papan tulis dengan bosan, tidak begitu mengerti bahasa apa yang dikatakan guru. Dia merasa seperti dia berada di planet berbeda dengan guru yang berdiri di depan kelas, sebagian besar alasan adalah karena dia merasa mereka memiliki bahasa yang berbeda. Yang membuat Laras lebih tak tertahankan, kantuk yang berat melandanya namun guru tidak membiarkan dia meletakkan kepalanya di atas meja. Laras dengan kesal mengutuk Rena dalam hatinya yang memilih tempat duduk dengan posisi rawan ketemu tatapan guru. Mungkin juga karena ini adalah pelajaran tambahan yang sangat penting, guru yang mengajar lebih ketat dari biasanya. Para murid yang biasanya berbaring, bermain ponsel, atau mengobrol dengan teman sebangku ditegur satu persatu. Akhirnya kelas yang damai dan harmonis tercipta, meski para murid memiliki ekspresi tampak di bawah tekanan yang besar. Lima menit sebelum jam lima, guru yang bernama Bu Lita itu akhirnya keluar dari ruang kelas dengan setumpuk buku tebal di tangannya. Para murid secara bersamaan menghela napas lega seolah baru saja terbebaskan dari hal mengancam dan berbahaya. Laras pun tak terkecuali. Dia menidurkan kepalanya di atas meja, merasa energinya telah terkuras habis dan tidak memiliki tenaga untuk bangkit pulang. "Berikan aku air," katanya dengan lambat, merasa bahwa tenggorokannya sangat kering. Rena sedang mengatur alat tulisnya kembali ke dalam tas. Mendengarkan perkataan sekarat Laras, dia dengan baik hati memberikan sebotol air mineral ke arah Laras untuk menjaga kelangsungan hidup temannya itu. "Baiklah, sekarang saatnya nonton film! Refreshing setelah otak dijungkir-balik." Zulkifli— ketua kelas yang tidak berguna itu bangkit untuk memberikan semangat kepada teman-teman sekelasnya. Dia dengan antusias mengajak teman sebangkunya yang secara paksa menjabat sebagai wakil ketua kelas untuk keluar kelas. Sepuluh menit kemudian, kedua pemuda itu kembali dengan membawa proyektor di tangan mereka. Mereka segera memasang proyektor, Halim bekerjasama membawa laptopnya untuk menghubungkannya ke proyektor dan memutar film yang telah dia unduh. Semangat kelas kembali dihidupkan. Bahkan ada beberapa murid dari kelas tetangga datang untuk ikut menikmati bioskop mendadak yang diselenggarakan kelas 12 IPA 2. Beberapa orang keluar membeli makanan ringan dan minuman, yang lainnya menitip dengan semangat juang menjadi beban hidup orang lain. Untungnya Rena masih memiliki cemilan yang tampaknya tak akan pernah kehabisan stok, Laras hanya meminta satu bungkus dari cemilan Rena dan makan sembari menonton film horor yang diputar di layar. Baru di awal film, sudah ada adegan yang menyeramkan dan memompa jantung. Teriakan demi teriakan bergema dari ruang kelas tersebut. Dengan beberapa murid berkumpul bersama untuk saling memberi keberanian namun kenyataannya mereka semua penakut yang tidak bisa saling menjaga. Laras yang telah hidup lebih lima tahun di rumah besar dan sepi seorang diri telah mati rasa dengan perasaan takut seperti itu. Bagaimana pun sebagian dari waktunya di dalam rumah adalah dia menonton berbagai macam film, film horor seperti ini telah menjadi makanannya sehari-hari. Jadi selama menonton, dia dengan nikmat menyaksikan plot film yang diproyeksikan di papan tulis dan mendengarkan teman-teman sekelasnya berteriak menggemuruh yang hampir mengguncang langit. "Apakah kamu masih memiliki keripik?" tanya Laras setelah merasakan keripiknya telah habis. Rena melirik Laras, mengambil bungkusan keripik temannya itu dan berdecak lidah. "Ini masih ada banyak di bagian bawah, sayang bangat kalau dibuang." "Kalau begitu itu untukmu, berikan yang baru untukku." Laras memutar matanya, merasa Rena terlalu merepotkan. Rena hanya melirik sepintas Laras sebelum memberikan sebungkus keripik lagi untuk temannya itu. Dia kembali menonton film horor di depannya dengan penuh minat. Sama seperti Laras, Rena juga tampak tenang dan bahkan memiliki waktu untuk menebak-nebak teka-teki yang diperlihatkan pada film dengan petunjuk di setiap plot. "Pasti pembunuhnya yang berjaket merah," katanya. Laras menoleh dan tertawa, "Benarkah? Tetapi dia yang paling terlihat takut. Bahkan lihat darah yang sepertinya terbuat dari saus tomat saja dia sudah lari terbirit-birit." Rena mengangkat bahunya, "Orang yang paling tidak mencurigakan terkadang adalah dalangnya." Laras tidak menyangkalnya, lagi pula dengan pengalamannya menonton film dengan genre horor dan thiller, memang setiap dalang masalah adalah orang yang tak terduga. Jadi bukan tidak mungkin tebakan Rena benar. Saat kedua orang itu berbicara dengan santai tentang film seolah sedang menonton film komedi yang membuat otak rileks, sekitar mereka dipenuhi ketegangan dan teriakan ketakutan. Pada dasarnya guru telah menyadari tingkah laku nakal mereka, namun ada kalanya guru akan menutup mata satu atas tindakan para murid dan membiarkan mereka merasakan masa-masa sekolah yang menyenangkan. Sekolah biasanya dibuka sampai malam, karena beberapa murid terkadang belajar mandiri di kelas dan para guru memiliki banyak tugas yang belum selesai di kantor. Jadi tidak ada yang akan menegur para murid dengan alasan kelas akan dikunci ketika malam telah menghampiri. Setelah selesai film ketiga, Rena akhirnya tidak sabar dan mengajak Laras untuk pulang. Tiara juga sebagai sekretaris kelas merasa pusing, dia maju mematikan proyektor dan mengakhiri semuanya di bawah tatapan penyesalan dan kecewa para murid yang masih ingin menikmati nonton bersama di dalam kelas. Akhirnya di pukul setengah sembilan, para murid itu keluar dari kelas dengan saling membahas tentang plot film yang baru saja mereka tonton. Tampak sangat bersemangat, melupakan kelelahan dan keletihan mereka untuk pelajaran tambahan di sore hari. "Aku akan pesan taksi," kata Rena ketika mereka telah berada di halte bus. Laras segera menghentikannya, dia menggelengkan kepala. "Randi bilang jangan naik taksi sembarangan di malam hari, apalagi kita adalah anak gadis jadi kita harus memanggil orang rumah untuk menjemput kita." Laras berkata dengan wajah serius seolah sedang memberikan ceramah yang sangat baik dan benar, kemudian dia meraih ponselnya. "Aku akan memanggil Randi." Di sampingnya, Rena berdecak lidah. "Bilang saja kamu hanya ingin dijemput kakakmu, kapan coba kamu begitu patuh kalau bukan ada maunya." "Aku memang patuh," jawab Laras dengan senyum angkuh. Kemudian dia mencari nomor kontak kakak sepupunya dan meneleponnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD