009. Aku Menyukai Seseorang

1178 Words
"Aku mau minum," kata Laras, duduk di bangku panjang untuk kesekian kalinya. Dari dulu dia tidak suka olahraga dan mudah lelah, lagi pula Laras enggan menyiksa dirinya jadi dia istirahat berkali-kali agar dia tidak berkeringat. Ketika dia mengatakan seperti itu, matanya tertuju pada Randi dengan permohonan dalam tatapannya. Dia bahkan tersenyum manis, trik yang selalu dia gunakan kepada orang lain ketika menginginkan sesuatu. Randi menjentikan jari-jarinya di kepala Laras tanpa kekuatan, kemudian berbalik untuk membeli air untuk tuan putri itu di kios terdekat. "Randi jelek!" Laras mengusap kepalanya dengan cemberut, bertingkah seolah dia sangat kesakitan dengan tindakan Randi sebelumnya. Saat ini ponsel yang ada di tangannya bergetar dengan nada dering panjang terdengar. Laras mengangkat ponselnya, melihat nama kakaknya— Rifaldi ada di layar, Laras terkikik. "Kamu sudah bangun?" tanya Laras langsung setelah panggilan tersambung. Rifaldi, "Ya, kenapa kamu tidak membangunkanku? Bukankah kita akan jogging bersama?" Laras mengerucutkan bibirnya, menatap lurus ke punggung Randi yang kini sedang memilih minuman untuknya di sebuah kios. "Kamu tidur sangat tampan, aku tidak tega membangunkannya." Terdengar suara tawa lembut Rifaldi, "Apakah kamu pergi jogging sendiri? Dimana kamu, aku akan menjemputmu sekarang." "Tidak perlu," tolak Laras segera. "Aku pergi dengan Randi, dia datang untukmu." Dia tersenyum ketika berkata seperti itu, menyaksikan Randi berbalik dan berjalan menuju ke arahnya. "Jika kamu lelah, tidur saja kembali. Ayah jelek itu pasti menyiksamu untuk urusan perusahaan terus menerus." Randi telah berdiri di depan Laras, membuka segel dan tutup botol, lalu menyerahkannya kepada Laras. "Oh, aku mau minum dulu. Apakah kamu ingin berbicara dengan Randi? Dia ada di depanku sekarang," kata Laras ketika menerima botol dari Randi. Tanpa menunggu jawaban dari kakaknya, dia menyerahkan ponselnya kepada Randi dan minum dengan cepat untuk menghilangkan dahaganya. "Pelan-pelan," kata Randi untuk mengingatkan gadis itu, kemudian dia meletakkan ponsel di telinganya. "Halo, Kak Rifal." Rifaldi saat ini sedang membuat roti panggang untuk adiknya ketika pulang nanti, sebuah earphone bluetooth terpasang di telinga kanannya dengan ponsel terletak di dalam sakunya. "Randi? Apakah kamu datang untuk menjaga Laras? Maaf selalu merepotkanmu," katanya dengan senyum tak berdaya. Dia menyesal karena tertidur dan tidak pergi bersama adiknya itu, setidaknya dia datang khusus untuk Laras dan harus memenuhi beberapa keinginan kecilnya. "Tidak masalah," kata Randi dengan tenang, mengulurkan tangan untuk mengusap rambut Laras yang lembut. "Dia tidak pernah merepotkan." Laras mendengus, menggerakkan kepalanya untuk menghindar dari tangan Randi. Dia melotot memperlihatkan matanya yang besar untuk memberitahu bahwa dia marah. "Baiklah, pulanglah bersama Laras. Kita akan makan bersama nanti," kata Rifaldi, karena Laras menganggap Randi sebagai kakaknya, maka dia juga selalu menganggap Randi sebagai adiknya. Terlebih lagi selama Laras tinggal sendiri, Randi lah yang selalu menjaga gadis itu. Itu membuat Rifaldi kadang merasa gagal sebagai kakak, seolah posisinya di hati Laras telah tergantikan oleh orang lain. Namun itu bukan hal yang aneh, lagi pula dibandingkan Randi yang selalu di sisi Laras, dia hanya menjaga adiknya itu dari jauh, meninggalkan sisi Laras dan membuat adiknya kesepian. Dia sebenarnya memang kakak yang gagal. "Tidak perlu, aku akan langsung ke kampus setelah ini." Randi menolak dengan sopan. Kedua pria itu berbicara beberapa kata lagi sebelum panggilan berakhir begitu saja. Randi mengulurkan tangan menyerahkan ponsel Laras kembali. "Kamu akan langsung pergi?" tanya Laras dengan tidak puas, tangannya meraih ujung lengan jaket Randi, seolah mengatakan bahwa dia tidak ingin Randi pergi. Tatapan Randi tertuju pada jari-jari ramping Laras yang mengait ujung lengan jaketnya, tangannya bergerak-gerak ingin menggapai jari-jari itu, memegangnya, dan tidak akan melepaskannya. Namun itu hanya bisa ada di pikirannya, dia dengan lembut menggerakkan lengannya ke belakang untuk melepaskan jari-jari Laras dari ujung lengan jaketnya. "Aku harus mengerjakan tugas," katanya dengan tenang, kelopak matanya terkulai ke bawah untuk menutupi emosi dalam tatapannya. Laras mendengus, "Tugas, tugas, tugas! Kapan kamu bisa lepas dari tugas? Kamu sepertinya akan tenggelam dalam lautan tugas. Ayo bawa aku ke dosenmu! Aku akan berbicara dengan mereka agar lebih berprikemanusiaan." Randi tersenyum, merasa terhibur dengan ekspresi konyol gadis itu. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang." Dia berkata kemudian berjalan terlebih dahulu. Laras segera bangkit dari bangku panjang, setengah berlari ketika mengejar Randi dan meraih lengan kakak sepupunya itu sebagai penyangga. "Ini hari Minggu, kenapa kamu harus sibuk dengan tugas? Bukankah kuliah juga libur hari Minggu?" "Ya, libur. Tapi tugas-tugas yang diberikan beberapa hari yang lalu, belum selesai semua." Randi menjawab dengan tenang, tubuhnya tegap dan langkah kakinya mantap, beberapa gadis yang lewat tidak bisa untuk tidak meliriknya lebih. Laras melirik sinis gadis-gadis di sekitar mereka, matanya penuh ancaman seolah akan menelan mereka hidup-hidup jika mereka tidak mengambil tatapan mereka kembali. "Benar saja, dengan ketampananmu, kamu bisa merebut perhatian beberapa gadis. Untungnya sifatmu sangat membosankan, atau kamu telah lama memiliki banyak pacar." Laras berdecak lidah, dia menoleh dan memperhatikan wajah kakak sepupunya. "Tapi sekarang kamu telah mengenal cinta, itu membuatku merasa krisis tiba-tiba." Randi juga menoleh ke samping, segera bertemu dengan tatapan Laras yang tertuju kepadanya. "Krisis?" tanyanya dengan alis terangkat sebelah. Laras mengangguk, "Jika kamu punya kekasih, pasti kamu akan mengabaikanku dan lebih memperhatikan kekasihmu itu," katanya dengan cemberut. "Lebih baik kamu seperti sebelumnya, jangan suka orang lain, tetap perhatian padaku saja." Terkadang Randi merasa Laras benar-benar sadis. Dengan wajahnya yang cantik dan manis, dia bisa mengatakan hal-hal yang membuat orang tidak dapat berpaling darinya. Itu seolah memberi orang lain harapan sekaligus sayatan dalam waktu bersamaan. Dengan ekspresi polos dan naif itu, kata-katanya mengundang Randi untuk memilikinya. Laras sendiri pasti tidak tahu bahwa setiap ucapannya sangat berpengaruh untuk orang lain, dia hanya mengatakan apa pun yang dia suka tanpa peduli dengan yang lainnya. Karena itu Randi merasa Laras sangat berbahaya. Lama Randi tidak menanggapi ucapannya, Laras mengerutkan keningnya. "Kenapa diam saja?" tanyanya tidak puas. Dia kemudian menyipitkan matanya, "Jangan bilang kamu benar-benar telah memiliki kekasih!" Tidak seperti sebelumnya di mana Randi selalu mengelak, kali ini dia bergumam pelan sebagai persetujuan. "Ya, aku menyukai seseorang." Seolah tersambar petir di pagi hari, Laras menghentikan langkah kakinya, menatap Randi dengan pandangan terkejut yang jelas di wajahnya. Dari dulu dia sudah menduga bahwa kakak sepupunya itu telah menyukai seseorang. Namun dugaan dan mendengarkan langsung dari Randi itu adalah dua hal yang berbeda. Saat ini Laras entah bagaimana merasa tidak puas. Dia menjadi cemberut dan kesal. "Tapi kamu selalu mengelak sebelumnya," katanya dengan nada ketus. Dia seolah lupa bahwa sebelumnya dia telah memberikan Randi kalung untuk diberikan kepada gadis yang kakak sepupunya itu sukai, seluruh tubuhnya kini penuh dengan aura penolakan. Randi mengantarkan Laras hingga ke depan gerbang rumah gadis itu. Dia melihat ekspresi Laras yang tidak baik dan tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi kenyal yang mengembung kesal itu. "Berhenti memikirkan hal aneh di kepalamu, masuk dan sarapan bersama kakakmu." "Apaan sih, sakit tau." Laras mengelus pipi dengan marah, berbalik dan berjalan untuk masuk ke dalam halaman rumah. Dia berjalan beberapa langkah sebelum berbalik ke belakang melihat Randi masih di tempatnya. "Kamu tidak ikut masuk?" tanyanya. "Aku langsung ke kampus," jawab Randi. Laras mendengus keras, kembali berjalan dengan langkah cepat masuk ke dalam rumahnya, tidak lagi menoleh ke belakang untuk memperlihatkan kepada Randi bahwa dia sedang marah. Randi menatap punggung gadis itu hingga menghilang dari pandangannya, kemudian berbalik untuk pergi ke rumahnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD