008. Kesepian

1882 Words
Mereka mengisi perut sebelum pulang ke rumah. Karena baru saja tiba, Laras sangat pengertian dan tahu kakaknya pasti kelelahan. Jadi dia dengan baik hati membantu Rifaldi membawa koper dan tas bawaan kakaknya itu. Rifaldi juga tidak menghentikannya, dia tahu sifat Laras yang sangat suka memeriksa tas orang lain yang baru saja tiba dari perjalanan jauh. Itu kebiasaan lama yang tampaknya tetap bertahan sampai detik ini. "Silakan tidur yang nyenyak, lalu besok pagi ayo jogging bersama!" kata Laras dengan semangat. Saat kecil dia sering ikut lari pagi bersama Rifaldi dan Randi, meski beberapa kali dia berhenti karena mengeluh kelelahan. Biasanya mereka akan singgah di gedung olahraga dan dia dengan senang hati menonton kedua kakaknya itu bermain basket dengan pemuda lainnya. Namun kebiasaan itu telah lama berhenti ketika Rifaldi memilih tinggal bersama Gunawan di kota D, membuat Laras kesal untuk waktu lama dan tidak mau lagi lari pagi. Lagi pula, dia masih lebih nyaman tidur pagi dan enggan dibangunkan lagi. Tetapi ketika Rifaldi pulang ke rumah, dia akan mengajaknya untuk lari pagi lagi dengan Randi, seolah mengenang masa kecil atau mungkin Laras tipe orang yang tidak suka meninggalkan kebiasaan yang telah terbentuk mesti telah terjeda untuk waktu yang lama. Beberapa saat semangat, Laras mengempis kembali. "Kamu ada, sekarang Randi yang hilang! Dia sangat sibuk, sangat menyebalkan." "Setelah kamu membuka koper, tidurlah. Aku akan membangunkanmu untuk lari pagi besok," kata Rifaldi mencoba menenangkan adiknya yang meluap-luap. Laras mengangguk, kembali merasa antusias. "Oke, ayo pergi tidur sana. Selamat tidur kakakku yang tampan, baik hati, dan tidak sombong." Rifaldi tersenyum lembut, merasa terhibur dengan kata-kata Laras. Dia menepuk kepala adiknya itu dengan kasih sayang seorang kakak, "Selamat tidur," katanya sebelum berbalik untuk pergi ke kamarnya. Melihat Rifaldi pergi menuju kamarnya, Laras segera berjongkok di karpet berbulu dan mulai melakukan investigasi menyeluruh pada koper dan tas kakaknya itu. Karena tahu akan kebiasaannya yang suka mengobrak-abrik tas milik seseorang, terkadang keluarganya sadar untuk menyimpan sesuatu dalam koper ketika pulang, entah itu hal yang berguna atau hal yang aneh. Sekadar untuk membuat tuan putri yang manja itu senang dan puas. Ketika Laras menemukan kotak sepatu di dalam koper Rifaldi, dia segera membukanya dan merasa senang ketika melihat sepatu dengan gaya perempuan dan ukuran yang sama dengan ukuran sepatu miliknya. Tidak perlu dikatakan, ini pasti untuknya. Laras juga menemukan banyak cemilan yang manis-manis, dia mulai mengeluarkan semuanya, berpikir akan membaginya dengan Rena nanti. Setelah memastikan bahwa di koper hanya tersisa pakaian Rifaldi, dia membuka tas punggung warna hitam. Di dalam tas itu, Laras menemukan kipas angin mini listrik dan juga penutup mata dengan gambar kartun Hello Kitty. Laras mengambil semuanya, terkikik sendiri ketika menemukan barang-barang aneh dan tidak jelas dari pencarian harta karunnya. Laras mengangkat ponselnya, mengambil gambar penemuannya lalu mengirimkannya ke Randi. [Laras: Rifaldi datang, kamu tidak ada. Sayang sekali.] Setelah itu dia meninggalkan semua kekacauan yang diciptakannya dan membawa semua miliknya untuk menuju ke kamar. Laras tidak suka merapikan atau sekadar membersihkan, bahkan dia tidak pernah melakukan piketnya di kelas tanpa teguran dari guru terlebih dahulu. Orang-orang terdekatnya tidak pernah mengajarinya untuk melakukan hal tersebut dan Laras terlalu malas untuk menjadi rajin selama ada seseorang yang rajin di sekitarnya. Dia meletakkan semua hal di tangannya di sofa, sebelum membersihkan diri dan berbaring di tempat tidur. Sebelum tidur, dia memeriksa ponselnya terlebih dahulu dan tidak menemukan pesan baru. Tampaknya Randi telah tidur, lagi pula kakaknya itu sangat teratur dan selalu menegurnya jika begadang. Meletakkan ponselnya, Laras mematikan lampu dan tidur dengan nyaman. Malam semakin dalam, namun di dalam kamar asrama untuk empat orang masih hidup tanpa tanda-tanda akan mengikuti arus istirahat pada umumnya. Randi sedang duduk di depan meja, menulis sesuatu dengan punggung tegak. Tangannya lincah bergerak di atas lembaran kertas menciptakan huruf-huruf yang tegas dan tegak tanpa jejak kesalahan. Di sekitarnya ada suara ketukan papan ketik yang cepat dengan beberapa kutukan terucap oleh mulut dua pemuda yang sedang bermain game itu. Dari kamar mandi terdengar suara air yang jatuh, salah satu penghuni kamar asrama ini sedang mandi saat ini. "Mati, mati, mati, sial!" "Aku bilang jaga di atas, untuk apa kamu berkeliaran ke hutan? Apakah kamu ingin menjadi monyet?" Randi melirik kedua teman sekamarnya dengan samar, "Bermain dengan tenang atau tidur saja. Jangan membuat keributan yang mengundang pengurus asrama untuk datang memeriksa." "Siap," Rehan dan Faldi menjawab dengan koordinasi. Mereka kemudian lanjut bermain dengan suara kecil, sesekali mengobrol namun sadar akan kapasitas suara yang mereka keluarkan. Randi tidak lagi mengurusi mereka, dia kembali menulis untuk tugasnya yang sebenarnya dikumpul Jumat depan. Namun dia selalu mengemban kebiasaan untuk menyelesaikan tugas lebih cepat setelah diberikan yang masih bertahan sampai kini. Saat dia di tengah berpikir, suara nada dering singkat terdengar. Itu adalah nada dering khusus untuk pesan dari Laras, Randi sengaja menyetelnya agar tidak ketinggalan berita dari gadis itu. Dia berhenti sejenak, meraih ponselnya dan memeriksa pesan apa yang dikirim Laras di larut malam seperti ini. Setelah melihatnya beberapa saat, Randi meletakkan ponselnya kembali tanpa membalas pesan itu, secara bertahap dia harus melepaskan Laras meski itu benar-benar sulit berpikir sifat Laras yang sangat bergantungan padanya. Pintu kamar mandi terbuka, Fito keluar sembari menggosok rambutnya dengan handuk. Melihat Randi masih menulis, dia berjalan mendekati teman asrama sekaligus satu jurusannya itu. "Sangat rajin," pujinya ketika melihat apa yang dikerjakan Randi. Randi hanya bergumam samar, tidak begitu peduli dengan sekitarnya. "Apakah besok kamu akan pulang?" tanya Fito dengan santai, tampaknya sudah terbiasa dengan sikap acuh tak acuh Randi. Randi melirik sekilas ponselnya tanpa jejak, dia diam sejenak sebelum menjawab, "Tidak." Fito mengangguk, berjalan ke balkon untuk menjemur handuknya sembari mengobrol ringan. "Tadi ketika kamu pulang, aku pikir kamu akan tinggal akhir pekan di rumah. Lagi pula kamu orang sini." Randi hanya diam, terus mengubur dirinya ke dalam ilmu pengetahuan. Menyelesaikan satu persatu tugas untuk mengisi kepalanya, hingga keinginan untuk pulang dan merawat Laras tersisihkan ke tempat lain di pikirannya. Suara alarm ponsel terdengar nyaring, Laras mengulurkan tangannya untuk mencari ponselnya dan mematikan suara yang berisik itu. Dia mengerang malas, menggosok wajahnya ke bantal sebelum bangun dengan mata setengah tertutup. Dia belum lupa akan lari pagi bersama kakaknya saat ini. Karena itu, dia sengaja memasang alarm di waktu sangat dini, bahkan langit pun masih gelap saat ini. Laras segera bersiap, mencuci wajahnya dan berganti piyama menjadi pakaian olahraga sebelum bersiap membangunkan kakaknya. Mengikat rambutnya yang panjang menjadi kuncir kuda, Laras tersenyum lebar, melihat gadis cantik di dalam cermin juga tersenyum padanya. "Kenapa kamu sangat cantik sih," katanya namun segera terkikik sendiri ketika menyadari kekonyolannya. Dengan riang, Laras keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar kakaknya yang ada di bagian lain. Pintu kamar Rifaldi masih tertutup rapat dan juga tidak ada tanda-tanda suara dari dalam, jelas saja kakaknya itu masih tidur. Laras memegang gagang pintu, dengan hati-hati memutarnya dan mendorong pintu terbuka secara perlahan agar tidak menimbulkan suara yang berisik. Dia terkejut ketika menemukan lampu ruangan telah menyala terang, bukankah berarti kakaknya itu sudah bangun? Namun dia segera mengerti ketika melihat kakaknya masih tertidur nyenyak di tempat tidur dengan laptop yang tak jauh dari sisinya. Laras mengernyit, berjalan perlahan untuk menyingkirkan laptop dari tempat tidur. Dia menekan tombol power dan layar laptop segera menyala mengarah ke terakhir kali Rifaldi membukanya. Di layar ada serangkaian data yang rumit yang Laras tidak mengerti. Dia berusaha untuk mempelajarinya, menatap untuk waktu lama namun hanya merasakan kepalanya pusing. Dia segera menyerah, menutup laptop kembali dan meletakkannya dengan tenang dia atas meja. Setelah itu, Laras mematikan lampu, menciptakan ruangan yang gelap dan tenang yang tepat untuk istirahat. Sama seperti ketika dia datang, Laras keluar dari kamar kakaknya dengan langkah pelan tanpa mengeluarkan suara apa pun. Laras menutup pintu, barulah dia menghela napas lega setelah menyelesaikan semua tindakan itu. Tatapannya mengarah ke pintu yang tertutup di depannya, ada perasaan yang rumit menjalar di hatinya. Kakaknya pasti sangat sibuk saat ini, urusan perusahaan yang menggunung telah dibebankan ke punggungnya. Tetapi karena keluhan dari Laras, dia menyisihkan waktunya dan melakukan perjalanan keluar kota untuk sekadar menenangkan adiknya. Laras menggigit bibir bawahnya, dia berbalik dan berjalan untuk menuruni tangga. Dia berniat untuk lari pagi seorang diri tanpa mengganggu kakaknya, lagi pula dia yakin dengan beban kerja Rifaldi, pasti sebelum kemari dia bekerja sangat sibuk. "Menyebalkan," gumam Laras, berjalan dengan langkah santai keluar rumah dan menuju ke jalur bebas kendaraan. Dia tidak suka olahraga, terlebih lagi lari sangat melelahkan dan mudah membuatnya berkeringat. Jadi Laras hanya berjalan santai, menatap bosan sekitar dan berhenti untuk duduk di bangku panjang pinggir jalan. Dia sesekali mengambil foto, mengirimkannya kepada Randi atau Rena untuk dipamerkan. Randi mungkin sangat sibuk lagi, dia tidak membalas pesan darinya. Dan Rena bukan orang yang akan bangun ketika bisa tidur lebih lama. Tidak ada yang membalas pesannya. Ada banyak orang yang juga menggunakan jalan bebas kendaraan ini untuk lari pagi atau sekadar jalan-jalan santai, terlebih lagi sekarang hari Minggu sehingga sebagian besar orang memiliki waktu luang untuk ingat olahraga. Hanya saja meski di sekitarnya tampak banyak orang dengan beberapa suara yang mengelilinginya, Laras terus merasa sangat sunyi. Dia seharusnya sudah terbiasa sendiri, terlebih lagi telah lima tahun lebih dia tinggal seorang diri di rumah yang luas dan besar. Awalnya itu menakutkan, tetapi tekadnya selalu sangat kuat sehingga dia dengan keras kepala tetap bertahan di rumah yang besar dan sunyi itu. Namun Laras tidak pernah terbiasa untuk sendiri, dan juga dia tidak suka merasa kesepian. Untungnya Laras membawa earphone, dia menyalakan musik dan memasang earphone di telinganya. Lagu yang menyenangkan terdengar, setidaknya sedikit melegakan perasaan Laras. Setelah istirahat beberapa saat, dia bangkit dan kembali berjalan mengikuti jalur tunggal di depannya. Tak jauh darinya, Randi berdiri dengan tenang dengan pohon yang mengaburkan sosoknya. Tatapannya terkunci pada sosok Laras, seolah semua orang di sekitarnya menghilang yang hanya menyisakan dirinya dan gadis itu. Setelah melihat Laras bangkit dan lanjut berjalan, Randi masih berdiam diri. Tangan pemuda dengan wajah tenang itu bergerak berirama, gerakan bawah sadar ketika dia berpikir. Tak lama kemudian, dia juga berjalan dengan langkah yang besar dan cepat hingga mencapai posisi Laras dalam sekejap. Laras awalnya menunduk, berjalan sembari bermain dengan ponsel. Ketika ada seseorang di sebelahnya, dia akan melangkah ke samping untuk memberi jalan. Keningnya yang halus mengernyit saat orang di sebelahnya tidak kunjung berjalan melewatinya. Laras mengangkat kepalanya, menoleh ke samping untuk melihat siapa orang kurang ajar yang begitu berani mendekatinya. Namun tatapan kesalnya segera lenyap, matanya terbuka lebar dengan kejutan menyenangkan. "Randi!" serunya semangat, dia segera mendekati kakak sepupunya itu dan memegang lengannya dengan keluhan. "Aku mengirimmu pesan dan kamu tidak membalasnya, menyebalkan." "Aku menuju kemari, untuk apa membalasnya?" kata Randi, mengulurkan tangannya untuk melepaskan earphone dari telinga Laras. "Jangan sering menggunakannya, tidak baik untuk telingamu." Laras bergumam tidak peduli, senyuman yang manis masih menghiasi bibirnya membuat wajahnya menjadi cerah dan bersinar di bawah cahaya matahari yang lembut. "Ternyata kamu kemari, apakah kamu juga berpikir aku akan datang ke sini?" "Tidak," elak Randi. Namun Laras tertawa keras, "Pembohong. Jika bukan untuk aku, untuk apa kamu kemari? Jangan mengatakan bahwa kamu ingin jogging di sini, kampusmu sangat luas, bahkan banyak orang luar datang ke sana untuk sekadar jogging." Randi tidak mengelak lagi, namun dia tidak memberi kepastian. Hanya berjalan tenang, membiarkan Laras memegang lengannya dan menuntunnya kemana pun gadis itu suka. Dia ingin menjauh dari Laras, membiarkan perasaannya terkikis sedikit demi sedikit. Namun setiap saat, dia tidak bisa mengeraskan hatinya untuk menjauh dari Laras. Laras seperti magnet, menariknya untuk mendekat bahkan jika dia ingin menjauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD