007. Makan Bersama

1931 Words
Sebuah tangan terjulur ke bawah, mengambil ponsel yang memiliki bekas layar yang retak membentuk jaring laba-laba. Meski tampak telah rusak parah, ponsel itu seolah enggan menyerah dan masih dapat hidup sampai detik ini. Hanya saja layar sentuhnya sedikit tidak merespons terhadap sentuhan jari manusia. Randi menatap ponsel itu dengan helaan napas berat, dia sedikit mengernyitkan keningnya, berpikir dalam diam dan akhirnya menyerah. Dia tidak suka melihat Laras kesal karenanya, namun dia tidak bisa terus berada di samping Laras dengan pikirannya yang buruk. Itu tidak adil untuk gadis itu. Mata Laras memerah ketika dia berusaha menemukan taksi dan pulang ke rumah. Dia adalah gadis yang emosional, mudah menjungkirbalikkan emosinya. Dengan sedikit senggolan dari ketidakpedulian Randi, sukses membuat Laras merasa patah hati. Sampai di rumah, dia langsung menuju ke kamarnya dengan sentakan kaki yang kuat. Sembari berjalan, dia akan menjatuhkan benda-benda yang dilewatinya hingga menimbulkan suara yang lantang ketika terbentur dengan lantai yang keras. Randi selalu menjadi kakak yang menjaga dan merawatnya di sisinya. Kapan pun itu, Randi seolah memiliki radar untuknya dan segera muncul ketika dia membutuhkan. Terlebih lagi Laras dari kecil selalu bergantung pada kakak sepupunya itu, membuatnya mengembangkan sikap ketergantungan yang erat. Tiba-tiba diabaikan seperti itu, Laras merasa seperti ditinggalkan. Gadis itu menangis di tempat tidurnya dengan memeluk selimut. Berulang kali bibirnya yang mungil menggerutu mengutuk kakak sepupunya dengan berbagai hinaan yang bahkan dia sendiri tidak begitu mengerti. Ketika dia lelah, barulah dia tidur dengan nyaman. Benar-benar nyaman hingga membuatnya lupa bahwa dia belum makan siang dan mengabaikan perutnya yang menggerutu lapar. Sudah sangat sore ketika Laras terbangun. Dia sedikit pusing saat membuka matanya dengan enggan. Tubuhnya masuk ke dalam dilema, antara lapar dan kantuk. Dia lapar hingga membuatnya lemas ingin tidur, namun dia tidak nyaman tidur ketika perutnya lapar. Seolah terjebak dalam soal yang begitu sulit melebihi soal Matematika, Laras tidak tahu harus memilih makan atau lanjut tidur. Namun dia belum sempat untuk memilih ketika menyadari ada orang kedua berada di dalam kamarnya. Laras tersentak, segera menoleh dan menyadari bahwa itu kakak sepupunya. Laras menghela napas lega, menjadi lebih santai namun wajahnya memasang ekspresi cemberut. "Kenapa kemari, bukannya kamu sibuk?" Randi meletakkan ponsel baru di atas meja nakas samping tempat tidur, itu adalah ponsel dengan merek yang sama yang Laras hancurkan siang tadi dengan warna dan tipe yang sama pula. "Aku sudah memindahkan nomor dan data-datamu di sini," katanya dengan suara rendah. Kemudian dia mengangkat pandangannya untuk bertemu dengan mata penuh keluhan milik adik sepupunya, "Keluar dan makan, aku sudah memanaskan makanan untukmu." Sifat Randi sangat alami dan seperti biasanya, Laras menyipitkan matanya menatap kakak sepupunya itu dengan curiga. Pada akhirnya rasa lapar menang, Laras bangkit dan mengikuti Randi dari belakang menuju ruang makan. "Kenapa mengabaikanku?" tanya Laras tiba-tiba. Kelopak mata Randi sedikit bergetar, namun sikap dan tindakannya tetap tenang ketika mengatur makanan untuk tuan putrinya yang manja. "Aku tidak mengabaikanmu," elaknya. "Kamu mengabaikanku," kata Laras, kali ini tanpa tanda tanya seolah menyatakan fakta. "Jangan bicara omong kosong, aku tidak mengabaikanmu." Randi menghela napas, mendorong pelan bahu gadis itu untuk duduk dengan patuh di depan meja makan. "Makan yang banyak, lain kali jangan lupa makan siang." "Aku ingin makan siang denganmu! Jika kamu tidak mengabaikanku, bagaimana mungkin aku melupakannya?!" Mata Laras memerah ketika berteriak kepada Randi, tatapannya dipenuhi keluhan seperti binatang kecil yang dianiaya. "Mentang-mentang sudah memiliki kekasih, adiknya dilupakan begitu saja. Benar saja, seseorang akan berbeda ketika mereka jatuh cinta." Ketika Laras mengatakan seperti itu, dia seolah diyakini oleh ucapannya sendiri. Benar saja, semenjak Randi memiliki sosok yang disukainya, Randi selalu sibuk dan jarang pulang. Bahkan dia tidak bisa mengangkat panggilan darinya. Dengan kepintaran otak Randi, tidak mungkin baginya kesulitan dalam belajar. Laras yakin bahwa semua kesibukan Randi kali ini karena kakak sepupunya itu sudah mulai mengenal cinta. Randi duduk di samping Laras, dalam diam mendengarkan keluhan gadis itu sembari menambahkan lauk pauk ke piring depan Laras. Setelah Laras mengutarakan semua keluhannya dan menatapnya dengan tajam seolah menunggu pembelaan dirinya, Randi merasa kesulitan karenanya. "Aku sudah bilang, aku tidak punya kekasih. Belajar yang benar, jangan biarkan hal aneh terus tinggal di kepalamu." Randi mengangkat tangannya, menjentikkan jarinya di kepala Laras dengan pelan. "Makan," pintanya. Laras menggosok kepalanya dengan cemberut, melotot dengan tindakan Randi. "Lalu kenapa mengabaikanku?" tanya Laras sembari makan dengan patuh. Meja makan sangat panjang dan luas, bisa menampung lima belas orang sekaligus. Namun kedua insan itu duduk berdampingan hanya mengisi sebagian kecil ruang saja yang membuat sisanya tampak kosong. Yang satu makan dengan perlahan, yang satunya lagi dengan tenang mendistribusikan lauk pauk ke piring orang lain. Selain suara dari mereka, ruang makan sangat sunyi dan sepi, terlalu luas untuk hanya dimiliki oleh dua orang saja. Karena hal ini juga Laras jarang makan di meja makan ketika sedang sendiri, dia kebanyakan makan di ruang tengah sembari menonton televisi dengan volume suara yang besar. Namun ketika ada Randi, itu setidaknya meredakan kesunyian di ruangan yang luas ini, menambahkan jejak kehidupan yang membuat Laras dapat menghembuskan napas lega. Laras masih menunggu jawaban dari Randi dengan tidak sabar, namun Randi terus mengelak dari tuduhan Laras. "Ada banyak tugas yang harus aku kerjakan saat ini. Sebelum tugas-tugasku selesai, tugas baru seringkali muncul. Itu membuatku tidak punya waktu memeriksa ponsel." Randi datang dengan alibi tugas kuliah lagi. Laras belum pernah kuliah, jadi dia tidak tahu seberapa rumitnya tugas kampus itu. Dia hanya merasa bahwa itu pasti sangat sulit jika bahkan seorang Randi mengatakan seperti itu. Jadi mau tidak mau, Laras mempercayainya. Gadis itu mengangguk dengan cemberut, menatap ke arah Randi dengan pandangan enggan. "Oke, aku percaya padamu. Karena kuliah sesulit itu, aku tidak ingin kuliah." Tangan Randi gemetar sehingga membuat kuah sayur yang disendoknya sedikit tumpah ketika mendengar ucapan Laras. Dia meletakkan tangannya dan menatap gadis di sampingnya dengan tatapan tak berdaya. "Tidak sesulit itu, dan juga kamu bisa memilih jurusan yang sesuai dengan minatmu. Jangan menyerah semudah itu," katanya mencoba memberi pencerahan kepada gadis yang minim ambisi itu. Laras berdecak lidah. "Tidak, aku tidak ingin belajar. Cukup kamu yang paling pintar di keluarga kita, aku dengan baik hati menyerah untuk mengambil posisimu." Randi tersenyum, dia mengulurkan tangannya mengelus rambut lembut Laras. "Baiklah, Laras yang baik hati silakan makan yang banyak, aku harus kembali ke kampus." "Sekarang?" tanya Laras terkejut. "Aku belum selesai makan," gumamnya dengan tidak puas. Randi bergumam pelan, menarik tangannya dari rambut Laras. "Jaga dirimu baik-baik," katanya. Terlepas dari keluhan di mata Laras, Randi bangkit berdiri dan pergi menjauh meninggalkan gadis itu. Tangan Laras yang memegang sendok berhenti bergerak, dia menoleh ke belakang untuk memperhatikan kakak sepupunya yang kian menjauh dan menghilang dari sudut pandangannya. Suasana hatinya yang baru saja membaik segera menurun drastis, wajahnya kembali cemberut, melanjutkan makan tanpa semangat sama sekali. Di malam hari, Laras pergi ke bandara untuk menjemput kakaknya— Rifaldi. Meski Rifaldi melarangnya dan memintanya untuk menunggu di rumah saja, Laras tetap keras kepala untuk pergi ke bandara. Sudah pukul setengah sembilan, ketika jadwal penerbangan dari kota D ke kota B sampai. Laras mencari dengan semangat dan bertemu dengan kakaknya yang sangat lembut dan penyayang. Segera Laras berlari dan memeluk Rifaldi begitu dia mengenalinya. "Aku menunggu sangat lama," kata Laras dengan membawa sedikit keluhan. Rifaldi membalas pelukan adiknya, dia tersenyum oleh kata-kata Laras. "Aku memintamu menunggu di rumah," katanya dengan tak berdaya. Laras menggelengkan kepala, segera melepaskan kakaknya dan berjalan beriringan untuk keluar dari bandara. "Itu sangat lama, lagi pula tidak ada yang bisa aku lakukan, jadi aku datang saja menjemputmu." Mereka keluar dari bandara dan Laras segera menyadari bahwa dia melupakan sesuatu, dia menoleh kanan kiri dan segera menatap Rifaldi dengan senyum manis tanpa dosa. "Aku lupa memesan sopir untuk membawa mobil, tadi aku minta tumpangan ayah Raka, kebetulan dia akan pergi kerja." Rifaldi tersenyum, tidak terkejut sama sekali. Lagi pula dia tidak mengharapkan Laras untuk melakukan semua hal dengan baik, jadi meski Laras mengatakan akan menjemputnya, Rifaldi sudah memesan mobil untuk dirinya sendiri. "Tidak mau pesan taksi saja?" tanya Laras, melihat ke wajah kakaknya yang tersenyum, dia merasa bahwa pasti sedikit melelahkan untuk berkendara. Namun Rifaldi menggelengkan kepala menolak, dia mengambil kunci mobil dari seseorang dan berkendara untuk pulang bersama adiknya. Selama perjalanan, Rifaldi terus bertanya tentang kehidupan adiknya di kota ini, meski dia sendiri telah menyelidiki secara menyeluruh, dia tetap ingin mengetahui detailnya dari mulut saudarinya langsung. Laras menjawab dengan lancar, tidak menyembunyikan sedikit pun kepada kakaknya, dia bahkan mengeluh untuk beberapa hal. "Akhir-akhir ini Randi sangat sibuk, benar-benar sibuk, itu menyebalkan. Rifaldi, apakah kamu juga sangat sibuk ketika kuliah? Sibuk sampai tidak bisa melihat ponsel?" "Ya, sangat sibuk. Ketika kuliah, tugas akan menumpuk tanpa henti. Jangan terlalu menyulitkan Randi, jika kamu membutuhkan sesuatu, kamu bisa memanggilku." Rifaldi menjawab dengan lembut, suaranya pelan dan lambat, tampak sangat menenangkan ketika mendengarnya. Mendengar ucapan Rifaldi, Laras sedikit termenung. Semua orang mengatakan seperti itu, berarti Randi benar-benar sibuk. Laras menghela napas lega, karena itu berarti Randi tidak berniat untuk mengabaikannya. Hal itu menenangkan hatinya yang gelisah. "Bagaimana jika kita singgah makan dulu, di rumah jangan mengharapkan makanan enak." Dia memberi ide, kemudian mengangkat ponselnya untuk mencari restoran yang baik yang akan mereka lalui. "Kamu belum makan?" Rifaldi sedikit terkejut, dia memeriksa jam tangannya sepintas dan itu telah jam sembilan lewat. Laras berkedip, "Aku ingin makan malam denganmu, jadi aku belum makan sama sekali. Bagaimana? Apakah kamu merasa terharu?" Rifaldi membelokkan mobil di kawasan restoran bintang lima, dan berhenti tepat depan gedung besar dan tinggi. "Sangat terharu, tetapi lain kali jangan menungguku dan melewati waktu makanmu. Apa yang akan terjadi jika kamu sakit perut? Ayo turun makan," katanya. Laras mengangguk, namun tidak diketahui apakah dia akan menuruti ucapan kakaknya itu atau tidak. Rifaldi menyerahkan kunci mobil kepada pelayan di depan pintu masuk untuk mencari tempat parkir. Dia menuntun adiknya untuk masuk dan ingin memesan ruang makan pribadi. Tetapi Laras segera menolak, dia suka makan di ruang umum dengan berbagai pengunjung di sekitar yang menambah kesan ramai dan harmonis. Karena telah meninggalkan Laras seorang diri di rumah, Rifaldi merasa bersalah kepada adiknya dan terbiasa mengikuti keinginannya. Jadi dia memesan meja di ruang makan umum dan memberikan menu untuk adiknya. "Apakah kamu memiliki kesulitan yang tidak kamu ceritakan selama tinggal sendiri?" tanya Rifaldi dengan tenang. Laras mengangguk, dia mengembalikan buku menu kepada pelayan ketika selesai memesan dan menoleh ke arah kakaknya. "Aku punya banyak kesulitan, tetapi apa gunanya aku mengatakannya kepada kalian, kalian tidak ada di sekitar untuk membantu. Selalu berkata menyayangiku, tetapi kalian bahkan tidak ingin tinggal bersamaku. Apa rasa sayang itu, aku merasa itu hanya kata-kata tanpa perasaan sama sekali." Dia tidak ragu untuk mengungkapan isi hatinya langsung, lagi pula Laras bukan orang yang suka memendam kekesalannya sendiri. Jika dia suka dia akan berkata suka, dan jika dia kesal dia akan berkata bahwa dia kesal. Bukan hanya untuk Rifaldi— kakak kandungnya, dia juga berani untuk berkata seperti itu di depan ibu dan ayahnya. Berbicara dengan nada keluhan dan tuduhan, mungkin saja mereka akan menyesal meninggalkannya dan memilih untuk kembali tinggal di rumah yang telah dia jaga seorang diri beberapa tahun ini. Namun keinginannya sangat sulit untuk diwujudkan. Rifaldi menatap adiknya dengan rasa bersalah yang memuncak dalam tatapannya. "Kenapa kamu tidak ikut denganku ke kota D? Aku bisa merawatmu secara langsung di sana." Laras tidak bergeming, dia membalas tatapan kakaknya dengan tegas. "Kenapa kamu tidak tinggal denganku di kota B? Kamu bisa merawatku secara langsung di sini," balasnya dengan tatapan menantang. "Kamu tahu aku tidak bisa," desah Rifaldi, menjangkau adiknya dan mengelus puncak kepalanya. Laras cemberut, dia sudah merapikan rambutnya untuk waktu lama dan tidak ingin berantakan. Namun dia tetap diam dan membiarkan kakaknya mengelus kepalanya, entah bagaimana semua orang tampaknya sangat suka menyentuh kepalanya. "Kalau begitu aku juga tidak bisa," balas Laras dengan cemberut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD