006. Pulang dengan Aman

1901 Words
"Surat dari sekolah," kata Laras memberikan surat undangan rapat untuk orang tua atau wali murid kepada Rani. Kepalanya terjulur menoleh kanan kiri dengan santai saat dia berkata kepada bibinya, "Ini sepertinya membahas masalah les atau sejenisnya. Jika bisa tolak saja. Ibu Rani kan tahu bagaimana aku tidak bisa hidup berdampingan dengan belajar. Sudah cukup aku harus masuk sekolah pagi hingga siang, kenapa harus menambah kelas sore lagi?" Rani tertawa pelan ketika mendengar ocehan keponakannya itu. Dia mengambil surat dari tangan Laras dan membacanya dengan serius. "Ini bagus untukmu, kamu sudah kelas dua belas dan harus lebih fokus belajar. Laras cemberut, mengerutkan keningnya untuk melihat ke sekitar. "Apakah Randi tidak akan pulang?" "Bukankah dia memberitahuku bahwa dia mulai tinggal di asrama?" Rani tidak terlalu memperhatikan ekspresi Laras. Dia fokus dengan surat di tangannya dan sesekali berpikir untuk setuju dengan kegiatan pelajaran tambahannya ini atau mengikuti kemauan Laras. Mendengar pertanyaan retoris dari ibu Rani-nya, dia menjadi lebih kesal. Menyerah mencari Randi, dia duduk tepat di samping Rani. "Kenapa harus tinggal di asrama sih?" gumamnya dengan kesal. Di telinga Rani, Laras terdengar seperti adik kecil yang kesal tidak memiliki teman bermain karena kakaknya sibuk. Lagi pula dari kecil Laras selalu bergantung pada Randi, jadi tidak heran gadis kecil itu kini merasa sangat kehilangan dengan Randi yang hanya tinggal di asrama. Bagaimana pun setiap saat, Laras terbiasa dengan kehadiran Randi ketika dia butuhkan. "Randi akan datang di akhir pekan ketika dia tidak sibuk," kata Rani mencoba menghibur Laras. Namun Laras tidak merasa terhibur sama sekali, "Kenyataannya Randi telah menjadi orang tersibuk di dunia." Setelah dia mengatakan itu, terdengar suara deru mobil mendekat dan berhenti, seolah sedang diparkir di dalam garasi. Beberapa saat kemudian pintu depan terbuka tanpa beban. Perilaku itu mencerminkan khas pemilik rumah. Laras menegakkan tubuhnya, lehernya terjulur ke depan untuk mengantisipasi seseorang yang datang. Namun begitu melihat bahwa yang tiba adalah Raka, semangat Laras langsung mengempis seperti balon yang ditusuk ujung jarum. "Kenapa? Tidak senang melihatku?" tanya Raka masih dalam balutan seragam kepolisiannya dengan lambang yang terpasang menambah kerumitan seragam itu. Laras segera terkikik sembari menggelengkan kepala. "Tidak, aku hanya berpikir yang datang adalah Randi, aku siap berlari dan mencekiknya." Kemudian dia bangkit berdiri, mengambil tas dari tangan Raka, lalu bersikap genit. "Ayah Raka baru pulang setelah satu abad bekerja, apakah masih ingat nama gadis cantik dan imut ini?" Menghadapi sikap centil Laras, Raka ikut bermain dengannya dan berpura-pura berpikir keras. "Hum, sepertinya tidak." Laras mendengus, namun tidak memiliki dendam. Dia dengan semangat membuka tas Raka untuk memeriksa isi di dalamnya. Dia paling suka membuka hadiah kado atau tas orang lain yang datang dari perjalanan jauh. Itu menarik baginya ketika melihat sesuatu yang baru dan tak terduga setiap kali dia membukanya sendiri. Antisipasi itu membuat Laras merasa candu. "Kali ini Ayah Raka membawa apa?" tanyanya dengan senyum lebar, meski begitu dia tidak menunggu jawaban sama sekali. "Apakah kamu berpikir aku ke luar kota untuk jalan-jalan?" Raka menggosok keras kepala Laras hingga membuat rambut gadis itu menjadi berantakan sebelum berjalan menuju ke kamar utama diikuti oleh Rani. Laras melirik ke pasangan itu, dia berdecak lidah. "Lihatlah pasangan romantis ini," gumamnya dan kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Pada hari Sabtu, diumumkan bahwa kelas dua belas akan mengikuti les di sore hari setelah diskusi panjang dengan orang tua murid. Laras mendengarnya dan menghela napas panjang. Benar saja, Ibu Rani dan Randi pantas menjadi ibu dan anak, mereka tidak pernah melepaskannya dalam persoalan belajar. "Kenapa Ibu Rani tidak menolak saja sih," katanya dengan gelisah. Dia tidak suka belajar, terlebih lagi les tambahan pasti akan sangat ketat. "Bukankah itu bagus? Membantuku dari harus mengeluarkan uang banyak untuk mencari guru les privat." Rena di sebelahnya tidak memiliki kecemasan yang sama dengan Laras sedikit pun. Dia dengan santai makan keripik sembari bermain dengan ponsel pintarnya. "Oh iya, besok kita mau kemana?" Laras melirik tidak puas ke arah Rena, dan juga mengangkat ponselnya untuk membuka forum Universitas B. Akhir-akhir ini dia akan selalu membuka forum itu saat dia memiliki waktu senggang, tampaknya itu sudah menjadi bagian dari banyaknya hal yang ingin dia jelajahi di internet. Lagi pula itu semua salah kakak sepupunya— Randi yang sampai sekarang tidak ada kabar. Sejak tinggal di asrama, Randi tidak ada berita sama sekali. Terkadang Laras akan meneleponnya di pagi hari, namun tidak diangkat. Sepulang sekolah dia akan meneleponnya, dan juga tidak diangkat. Malam hari dia akan meneleponnya, dan tetap tidak diangkat. Laras mulai bertanya-tanya, apakah menjadi mahasiswa membutuhkan 24 jam untuk belajar? Setiap kali dia bertanya kepada bibi dan pamannya yang merupakan orang tua Randi, jawaban mereka tetap sama bahwa Randi sibuk dengan belajar dan tugasnya. Laras mendengus keras, tidak mempercayainya sama sekali. Sayangnya Laras menjelajahi forum kampus tempat Randi melanjutkan pendidikan, namun kabar dari Randi tidak terlihat lagi. Terakhir kali Laras melihat Randi di forum ini ialah postingan foto Randi dengan gadis lain, selanjutnya dia tidak mendapatkannya. Padahal mereka hanya terpisah beberapa kilometer saja tetapi tampaknya telah terpisah dunia. Laras merenung dan segera lampu menyala di otaknya. Mereka hanya terpisah beberapa kilometer, tidak jauh sama sekali. Randi sibuk, namun Laras tidak sibuk sama sekali. Randi tidak bisa pulang, Laras bisa menemuinya sendiri! Laras merasa dia sangat cerdas dan mulai merancang rencananya yang bagus itu. Dia tersenyum sangat lebar dan mulai terkikik bangga pada dirinya sendiri. "Hei, aku tanya. Besok kita akan pergi kemana? Jika tidak, maka aku akan tidur hingga siang hari." Rena mengguncang lengan Laras untuk menarik gadis konyol itu dari khayalan absurdnya. "Tidak, besok kakakku akan datang, aku harus bersamanya." Laras menggelengkan kepalanya, dia ingat Rifaldi akan pulang besok dan dia harus menghabiskan waktu yang langka bersama di rumah. "Kak Randi?" tanya Rena dengan anggukan kepala. "Bukan, ini Rifaldi." Laras meralat ucapannya. "Kalau Randi, aku yang akan menemuinya sebentar. Mari lihat apakah dia berani untuk bertingkah sok sibuk lagi." Rena tidak ingin terlibat dalam kehidupan keluarga Laras yang rumit dan hanya menganggukkan kepala. "Oke, berarti besok aku bebas tidur hingga siang hari. Jangan menggangguku bahkan jika dunia diguncang monster sekali pun." "Oke, bahkan jika kiamat sekali pun, aku tidak akan mengingatkanmu." Laras dengan mudah mengangkat tangannya untuk memberi isyarat OK. Sepulang sekolah, Laras duduk di halte dan mulai memesan taksi online. Rena di sampingnya mengangkat alisnya dan memperhatikan tindakan sahabatnya itu. "Tidak naik taksi bersama?" tanyanya. "Boleh, emang kamu mau ikut ke kampusnya Randi?" tanya Laras setelah memesan taksi. Rena segera menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku ingin tidur siang." Untuk memperjelas kata-katanya, dia juga memesan ojek online untuk dirinya sendiri. Berbeda ketika dia bersama Laras, dia akan memesan taksi, namun jika dia seorang diri, dia tidak akan peduli kendaraan apa yang digunakannya untuk pulang. Namun di sisi lain, Laras tidak setuju. Dia segera merebut ponsel Rena dan mengalihkan pilihan dari ojek ke taksi sembari mengomel. "Sekarang sangat panas, radiasi matahari di detik-detik berbahayanya. Dan juga banyak debu, kuman, dan bakteri. Lebih aman naik taksi. Kamu wanita tetapi tidak mencoba menjaga dirimu dengan baik. Ck ck, pantas saja kamu masih jomblo." Rena mengambil ponselnya kembali, menatap kosong ke layar ponselnya yang telah sukses memesan taksi. Dia melirik ke arah Laras dan tersenyum sangat ramah. "Katakan itu lagi padaku setelah kamu tidak jomblo lagi, aku menolak direndahkan dengan orang sederajat." Sebuah mobil berhenti di depan mereka, Laras memeriksa plat mobilnya dan segera tahu bahwa itu adalah taksi pesanannya. "Aku duluan, dasar bawel." Laras segera melangkah untuk masuk ke dalam mobil. Dia memegang ponselnya dengan ragu, berpikir apakah harus menghubungi Randi atau tidak. "Biarkan saja jadi kejutan," katanya akhirnya dengan kekehan ringan. Namun begitu sampai di Universitas B, dia melihat begitu luas kampus dengan berbagai bangunan berderet, Laras merasa pusing. Dia tidak tahu Randi ada di bangunan mana, terlebih lagi dia tidak bisa mengenali setiap gedung. Laras terdiam sejenak kemudian mencoba keberuntungannya, dia menghentikan seseorang yang berjalan melaluinya. "Eh, tunggu. Apakah Anda mengenal mahasiswa semester satu yang bernama Randi Anditara?" Mahasiswa itu langsung mengangguk, Laras sedikit terkejut dengan jawabannya. Dia hanya bertanya iseng, tetapi tidak menyangka bahwa orang yang secara acak dia hentikan benar-benar mengenal kakak sepupunya. "Benarkah? Apakah Anda teman dekatnya? Oh tidak tidak, dia kutu buku dan tidak berteman. Kalau begitu Anda teman satu jurusannya?" Laras bertanya dengan semangat, dia sudah mulai merencanakan bagaimana akan mengejutkan Randi dengan tahu keberadaannya. Mahasiswa itu menatap Laras sejenak seolah menatap orang bodoh, "Tidak sama sekali, tetapi siapa orang di sini yang tidak mengenalnya?" Laras kesal dengan tatapannya dan melotot marah, "Ambil tatapanmu itu!" katanya kesal dan kemudian berbalik pergi. Dia tidak percaya bahwa Randi bisa terkenal dengan sifatnya yang acuh tak acuh pada hal lain, terlebih lagi ketika sekolah menengah dulu, Randi hanya suka terkurung di perpustakaan dan ruang kelas. Hanya saja menjadi ketua OSIS membuat para murid secara tidak sengaja harus mengenalnya. Apakah sekarang Randi mengambil jabatan menjadi ketua serikat atau semacamnya? Laras berpikir dan menghentikan orang lain lagi dan jawaban mereka tetap sama. Mereka mengenal Randi tetapi mereka bukan siapa-siapanya. Dia berkeliling di sekitar seperti anak kehilangan induknya untuk mencari Randi, namun tidak bisa bahkan untuk bertemu dengan sehelai rambut pun. Akhirnya Laras menyerah untuk memberi kejutan dan menelepon langsung kakak sepupunya. Dia duduk di bangku panjang pinggir jalan dan menelepon Randi berkali-kali, namun tidak kunjung dijawab. "Sibuk apa sih dia?!" Laras memiliki keinginan yang kuat melempar ponselnya dengan keras ke tanah. Beruntung dia masih membutuhkan ponsel ini, sehingga dia menunda keinginannya itu. Akhirnya Laras mengambil foto sekitar lalu mengirimkannya kepada Randi dengan sebuah pesan. [Laras: Aku seorang anak yang hilang namun tidak ada yang berniat menemukanku. Bagaimana jika aku diculik, pastikan jangan menyesalinya.] Setelah itu, Laras langsung menerima panggilan telepon dari Randi. Dia melihat layar ponsel dan mengangkatnya panggilan dari kakak sepupunya itu. "Bisa membaca pesan tetapi tidak bisa mengangkat teleponku sebentar saja," cibirnya. "Kamu benar-benar datang kemari?" tanya Randi langsung, mengabaikan sindiran dari Laras. Laras mendengus keras, dia mengayunkan kakinya yang tergantung lima sentimeter dari tanah. "Ya, aku sangat merindukan kakak sepupuku tetapi dia tidak merindukanku. Aku berniat datang menemuinya, tetapi dia bahkan tidak mau mengangkat telepon dariku! Sudah, abaikan saja aku terus! Jangan sampai aku mengganggu kegiatan sibukmu itu." Itu yang dikatakannya, namun dia tetap duduk di tempat. Dia sangat lelah berjalan di sekitar kampus yang luas ini, lalu emosinya dipancing oleh Randi yang benar-benar berani mengabaikan telepon darinya. Laras dapat mendengar suara pintu terbuka dan tertutup dari sisi Randi, disertai dengan langkah kaki yang cepat. Laras dapat yakin bahwa Randi menuju ke tempatnya saat ini, jadi dia bisa tenang. "Sudahlah, jangan menemuiku, aku tidak mau lagi bertemu denganmu." Laras berkata dengan cemberut, mulutnya berbicara ingin menghentikan Randi, tetapi dirinya sendiri telah menunggu dengan tidak sabar. Yang tak terbayangkan bagi Laras, suara langkah kaki benar-benar berhenti setelah dia mengatakan itu. "Kalau begitu pulanglah dengan aman," suara kakak sepupunya yang selalu tenang terdengar. Laras melebarkan matanya tidak percaya, "Randi, aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki ucapanmu sekarang juga!" serunya dengan keras, mengabaikan orang-orang sekitarnya yang menatap ke arahnya. "Jika kamu ingin pulang, maka pulanglah dengan aman." Randi kembali mengulangi ucapannya, tidak mengambil kesempatan untuk memperbaikinya. Mungkin saat ini matahari siang hari terlalu menyengat sehingga Laras merasa sangat panas. Dia bangkit berdiri dan berteriak keras, "Sialan!" Dia melempar ponselnya dengan keras ke tanah lalu berjalan pergi dengan langkah tegas menuju pintu gerbang di bagian barat kampus, berbeda dari tempat dia masuk. Beberapa orang terkejut, menatap ponsel dengan merk terkenal yang tidak bisa dimiliki oleh sebagian besar orang tergeletak di tanah tampak tak ada artinya sama sekali. Jika saja mereka tidak melihat logo merk yang terpampang jelas, maka mereka mungkin berpikir itu hanyalah ponsel murahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD