005. Surat Undangan Orang Tua Murid

1860 Words
Itu pagi yang indah untuk tidur, hujan tiba-tiba saja mengguyur kota menjadikan seluruh langit menjadi gelap dan suhu udara menurun. Laras terbungkus di bawah selimut tebalnya, merasa kesal dengan alarm ponselnya yang berdering tak tahu diri. Dia mematikan alarm lagi dan hal itu berbunyi kembali seolah tahu bahwa sang pemilik belum keluar dari zona nyaman tempat tidur. Bulu mata gadis itu bergetar sebelum kelopak matanya terbuka setengah memperlihatkan sepasang mata yang masih meninggalkan jejak kantuk yang kuat. Tangannya meraba di sekitar bantal dan akhirnya menemukan benda persegi yang sedari tadi terus menggemakan dering tanpa henti. Laras berniat mematikan alarm menyebalkan itu namun ketika dia melihat layar ponselnya, dia menyadari bahwa itu bukan alarm melainkan panggilan telepon dari teman sebangkunya atau mungkin disebut teman terdekatnya atau bisa juga disebut teman yang tidak dianggapnya. Dia menggerakkan jari-jarinya untuk menjawab panggilan, lalu menjatuhkan ponselnya ke kasur setelah menyalakan speaker. "5 menit lagi bel masuk, dimana mayatmu?" tanya Rena dengan santai, tampaknya dia sedang makan keripik karena dari sela-sela ucapannya terdengar suara mengunyah yang renyah. Saat Rena selesai berbicara, mata Laras terbuka seutuhnya. Dia terduduk dan menoleh ke jam dinding untuk menemukan bahwa Rena tidak menipunya. Dia menggeram kesal dan kembali menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Aku sakit, katakan itu pada setiap guru yang masuk mengabsen." Rena tertawa kecil, tampaknya tidak mempercayainya namun masih bekerja sama dengan kebohongannya. "Oke, sakit apa?" Laras berpikir sejenak, "Flu, demam, sakit perut, sakit gigi, pusing kepala, dan batuk berdahak." "Surat dokternya?" Rena bertanya lagi, tangannya terulur ingin mengambil keripik namun menemukan kemasan cemilannya telah habis hanya meninggalkan serpihan keripik yang telah hancur. Rena mengumpulkannya di tangannya dan memakan semuanya dengan bersih. "Hei, surat dokternya mana?" tanyanya lagi. Laras mengusap wajahnya di bantal, dia berdecak lidah. "Aku sakit di pagi hari, tidak sempat meminta surat keterangan dokter. Apakah alasannya sudah cukup?" "Cukup," jawab Rena. Kemudian suara bel masuk terdengar dan ditransmisikan ke telepon. "Sudah masuk, aku matikan dulu. Jangan lupa minum obat atau pergi ke rumah sakit, nanti aku akan datang menjengukmu sepulang sekolah." Laras mencibir ketika mendengar kata-kata Rena, "Jangan lupa bawa sesuatu jika ingin menjenguk orang sakit." Rena hanya tertawa dan segera memutuskan panggilan. Suara gemuruh guntur terdengar dari langit, hujan terus menerus mengeluarkan suara menabrak jendela, ditambah lagi ruangan saat ini memiliki pencahayaan yang remang akibat kurangnya cahaya dari sinar matahari pagi, saat-saat paling pas untuk terus melanjutkan tidur. Hanya saja setelah dibangunkan oleh Rena, kantuk Laras telah menyebar tanpa sisa. Tubuhnya masih ingin tidur, namun otaknya sangat aktif dan tidak membiarkan kesadarannya menghilang. Dia akhirnya dengan enggan keluar dari zona nyaman tempat tidur dan berjalan menuju ruang tengah. Menjatuhkan dirinya di sofa yang empuk dan memutar televisi dengan volume suara yang keras. Tangannya mengangkat ponsel untuk menghubungi Randi. Namun meski nada dering tersambung terdengar, teleponnya tidak juga terjawab. Laras mengulanginya berulang kali dan berulang kali juga hanya mendapatkan jawaban yang sama dari operator wanita bahwa panggilannya tidak dijawab. Akhirnya dengan kesal Laras mengirim pesan kepada kakak sepupunya itu, kedua jempolnya bergerak lancar di papan ketik layar sentuh, lalu mengirim pesan dan melempar ponselnya ke sampingnya. [Laras: Aku akan mati kelaparan dan kamu tidak peduli. Saat kamu ke rumahku nanti, jangan kaget jika hanya melihat tulangku saja yang tersisa.] Setelah lima menit dia mengirim pesan itu, Laras mendengar suara langkah kaki orang lain yang mendekat dari ruang depan. Dia mengangkat kepalanya dan melihat bibinya— Rani datang dengan rantang makanan. "Kamu sudah sarapan? Ini ada bubur ayam, makanlah yang banyak." Rani berkata dan meletakkan rantang etalase di atas meja. Laras mengangguk dengan semangat, "Ibu Rani tahu saja aku lapar. Aku pasti menghabiskannya! Kemana Randi, dia tidak menjawab teleponku." "Randi baru saja menelepon, sepertinya dia sangat sibuk. Saat kuliah, banyak tugas yang harus dikerjakan, jadi kamu juga harus memaklumi kakakmu." Rani mengelus rambut lembut Laras yang berantakan, suaranya sangat lembut yang memberikan efek menenangkan bagi pendengar. Laras memperbaiki kerah piyamanya, mengangguk dengan pelan dan mulai membuka tutup rantang sehingga aroma menyenangkan dari bubur ayam meluap mengisi ruang tengah. "Kalau begitu kamu makan," kata Rani sebelum melangkah pergi ke pintu depan. Laras menghela napas panjang, memaksakan dirinya bangkit berdiri untuk mengambil peralatan makan dari dapur. Sembari bergerak, dia mengomel tidak puas tentang kakak sepupunya itu. "Bisa menelepon Ibu Rani, tetapi tidak bisa meneleponku. Sejak kuliah, dia benar-benar bertingkah sebagai orang tersibuk di dunia padahal masih semester satu. Bagaimana jika dia telah semester dua atau tiga, dia pasti akan lupa memiliki adik sepupu bernama Laras." Laras menghabiskan harinya di ruang tengah dengan bermain menonton drama televisi yang cukup populer tahun ini. Di tengah menonton, dia tertidur setengah jam dan terbangun lagi untuk melanjutkan aktivitasnya menonton televisi. Ketika dia bosan, terkadang dia akan bermain ponsel atau meminta dibuatkan cemilan oleh Bi Ina yang telah datang untuk bekerja. Hidup di rumah yang besar dan luas, Laras tentu tidak bisa membersihkannya seorang diri. Meski pun dia bisa, dia tidak akan mau melakukannya. Jadi dia masih sangat membutuhkan seorang pembantu rumah tangga untuk membersihkan rumah, namun meski begitu, dia menolak kebaikan keluarganya yang ingin menyewa pembantu rumah tangga penuh waktu untuk merawatnya. Jadi bi Ina hanya datang bekerja dari jam delapan pagi hingga siang hari saja. Selebihnya, Laras akan memikirkan bagaimana cara bertahan hidup atau bergantung pada keluarga di rumah tetangga. Di meja kaca depan sofa telah dipenuhi berbagai cemilan dan minuman manis. Laras tanpa sadar menghabiskan semuanya ketika merasa sangat bosan. Hingga tak terasa waktu berlalu begitu saja dan bi Ina yang dari tadi bekerja tanpa henti pamit untuk pulang. Laras mengangguk, melirik ke jam dinding dan bangkit dari sofa dengan menguap lebar. Tinggal di rumah merupakan hal yang paling membosankan dan menyiksa. Itu membuat Laras menjadi gelisah dan frustrasi. Dia baru saja akan naik ke kamarnya ketika mendengar suara bel depan rumahnya berbunyi. Laras berbalik arah dan berjalan ke depan, ketika dia membuka pintu, dia melihat Rena berdiri dengan keripik kentang di tangannya. "Menjenguk orang sakit," katanya dengan senyum jail, tangannya yang memegang sebungkus keripik kentang terulur ke arah Laras. "Ini sesuatu untukmu," katanya. Laras memegang sebungkus keripik di tangannya dengan tatapan kosong, "Apa ini?" tanyanya dengan apatis. Dengan kekayaannya saat ini, jangan sebungkus keripik ini, dia bahkan bisa membeli pabrik keripik jika dia mau. "Bukankah kamu memintaku membawa sesuatu ketika menjenguk orang sakit? Nah itu sesuatunya." Rena menjawab tanpa beban sama sekali, kepalanya terulur mengintip ke dalam rumah. Ketika dia tidak melihat siapa pun di dalam, Rena masuk dengan santai tanpa rasa canggung ketika seseorang bertamu di rumah orang lain. "Oh iya, aku ke sini juga untuk menyampaikan amanat dari wali kelas kita yang tercinta— Bu Tia." Dia duduk di sofa, membuka tas sekolahnya dan mengeluarkan surat dengan kop resmi. Laras berjalan mendekat, dia duduk di samping Rena dan menerima surat itu. "Ini apa?" tanyanya sembari menatap surat di tangannya. "Surat itu diberikan untuk dibaca, bukan hanya untuk kamu lihatin saja." Rena berdecak lidah, namun masih menjelaskan kepada Laras. "Surat undangan rapat orang tua. Sepertinya sekolah berencana mengadakan semacam les untuk kelas dua belas dan meminta persetujuan orang tua murid dulu." Laras mengangguk, dia mengangkat ponselnya dan mengambil foto surat itu. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Rena dengan penasaran. Laras tersenyum licik, "Kirim ke orang tuaku, mereka pasti akan merasa sangat bersalah karena tidak bisa hadir sebagai waliku." Ketika dia mengatakan itu, dia benar-benar langsung mengirim foto surat tersebut ke ayah dan ibunya. Rena memperhatikan tindakannya dan hanya menggelengkan kepala, dia membuka bungkus keripik yang dibawanya dan memakannya tanpa peduli bahwa itu adalah 'sesuatu' yang dibawanya untuk menjenguk orang sakit. "Kamu sepertinya senang orang tuamu merasa bersalah untukmu." "Tentu saja," kata Laras tidak mengelak sama sekali. "Biarkan saja mereka menyesal karena telah meninggalkanku sendiri." Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Panggilan dari nomor kode negara asing masuk, Laras segera menjawabnya. "Ibu sudah bangun? Sangat pagi," katanya. Ibunya saat ini tinggal di luar negeri dengan perbedaan waktu yang besar. Seharusnya saat ini, di tempat ibunya masih sangat dini. "Ya, baru saja selesai merancang sketsa." Suara wanita dari ponsel terdengar pelan dan berat, tampaknya sedang kelelahan. "Apakah itu surat dari sekolahmu?" Laras melirik ke surat resmi dari sekolah yang ada di tangannya, "Ya, surat undangan orang tua murid." "Kamu tahu Ibu tidak bisa hadir," kata Asri dengan desahan pelan, sangat mengetahui sifat licik anaknya itu. Laras bergumam, "Ya, karena itu aku mengirimnya. Siapa tahu Ibu tertarik mengambil tiket perjalanan pulang segera untuk menghadiri rapat orang tua murid itu." "Laras, bagaimana jika kamu meminta agar Ibu Rani-mu yang menjadi walimu? Atau pindah saja ke sini bersama Ibu." "Oke, aku akan memberitahu Ibu Rani." Laras berkata dengan cemberut. "Ibu sudah memiliki banyak uang, untuk apa kerja begitu keras. Istirahat saja yang banyak, jangan sampai kelelahan." "Baiklah, setelah ini Ibu akan lanjut tidur." Laras bergumam, "Love you, Mom." "Love you, my baby." Baru saja Laras menurunkan ponselnya, panggilan masuk kembali datang dari kontak berbeda. Kali ini dari kakak kandungnya tercinta— Rifaldi. Laras mencibir karena ayahnya tidak meneleponnya secara langsung dan malah meminta kakaknya untuk melakukan itu. "Halo Laras, ayah memintaku untuk memanggilmu. Dia ingin bertanya apakah bibi dan paman tidak ada di rumah?" tanya Rifaldi dengan suara lembut dan lambat. Dia selalu menjadi orang yang begitu menenangkan sama seperti setiap suara yang keluar dari mulutnya, tampaknya tidak akan ada sesuatu yang bisa membuatnya marah sedikit pun. Laras mendengus, "Kenapa tidak meneleponku sendiri dan malah memintamu yang melakukannya?" Dia bertanya dengan cemberut, namun kakaknya masih tetap menjadi orang yang dia sayangi sehingga dia masih dengan senang hati mengobrol dengannya. "Ibu Rani ada dan Ayah Raka tidak ada, tetapi surat undangan itu kan awalnya untuk orang tua atau wali murid. Karena aku masih memiliki orang tua, aku memberitahu mereka. Kenapa setiap saat mereka melempar semua tugas ke orang lain?" Rifaldi tampak tak berdaya ketika berbicara kepada Laras, "Bagaimana jika kamu pindah saja sekolah di kota D. Ada banyak sekolah yang bagus di sini, mereka juga memiliki seragam yang indah, kamu pasti suka." "Jangan katakan itu, aku tidak akan terpancing. Aku akan terus tinggal di sini. Ingin menjagaku? Maka tinggal di sini bersamaku!" Laras mengayunkan kedua kakinya, matanya tampak terpaku di kertas undangan untuk orang tua wali murid untuk waktu yang lama dengan tatapan kesal. Rifaldi terdiam sesaat, dia mengetahui emosi adiknya sehingga suaranya yang lembut menjadi lebih lembut lagi. "Akhir pekan nanti, aku akan datang menemuimu." "Baiklah, jangan berbohong." Suasana hati Laras langsung membaik ketika mendengarnya, dia bahkan mulai tersenyum kembali. Tampaknya begitu mudah untuk memanipulasi emosi gadis itu. Rifaldi tersenyum, "Baiklah, jika ingin sesuatu, katakan saja." "Aku ingin kamu mengatakan pada ayah jelek itu, jika ingin mengatakan sesuatu maka katakan secara langsung padaku! Menjadikanmu sebagai perantara seolah dia tidak memiliki ponsel untuk menelepon sendiri. Dasar ayah jelek!" Setelah panggilan berakhir, Rifaldi menatap ayahnya yang duduk di sofa tunggal tak jauh darinya. "Laras memintaku untuk menyampaikan pesan pada Ayah." Gunawan membaca koran tampak tak peduli, namun masih bertanya dengan menggunakan suara enggan. "Apa yang anak nakal itu katakan?" tanyanya dengan tatapan melirik ke arah putranya, dia ingin tampil seolah tidak ingin tahu, namun tatapannya mendesak Rifaldi untuk bicara. "Jika ingin mengatakan sesuatu katakan secara langsung, jangan jadikan Rifaldi perantara seolah tidak memiliki ponsel sendiri. Dasar ayah jelek." Rifaldi berkata dengan tenang tanpa jejak emosi kekesalan Laras, namun Gunawan memiliki firasat putranya itu memendam kekesalan untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD