004. Pindah ke Asrama

1517 Words
Laras segera teringat kakak kelas yang sangat menjengkelkan yang pernah mengusiknya. Dia dengan tegas menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku suka tipe pria baik hati dan penyayang," jawabnya dengan jujur. "Paling bagus kalau bisa memanjaku," lanjutnya dengan terkikik geli. Mendengar jawaban Laras, Randi entah bagaimana tersenyum kecil. Dia menyimpan tas belanja yang diberikan adiknya itu ke dalam laci bawah meja. Bagaimana pun, hadiah itu ditakdirkan tidak akan memiliki pemilik. Dia tidak bisa memberikan hal itu kepada gadis yang disukainya. Setelah menyelesaikan misi, Laras menepuk bahu kakaknya dengan penuh rasa penenang layaknya orang paling berpengalaman. "Yakinlah tidak ada gadis yang bisa menolak pesonamu, lagi pula kamu juga bisa segalanya. Gadis itu hanya perlu berdiam diri di tempat dan bersenang-senang sementara kamu melakukan segalanya untuknya." Ketika dia mengatakan hal itu, Laras tiba-tiba menjadi iri dengan gadis yang disukai Randi. Memiliki kakak sepupunya sebagai pasangan, itu adalah kenikmatan yang tiada taraa di dunia ini! Bayangkan saja betapa serbagunanya kakak sepupunya itu, mampu melakukan apa pun dengan peluang gagal yang kecil. "Dia harus memperlakukanmu dengan baik, atau aku akan menentang kalian." Dia berbicara dengan nada cemberut, sedikit tidak rela kebaikan dan perhatian kakaknya akan terbagi untuknya dan orang lain. Dari kecil, Laras selalu bersama Randi. Dengan tingkahnya yang impulsif dan agresif, Laras telah membuat banyak masalah yang tak terhitung jumlahnya, tetapi Randi masih dengan sabar menjaga dan merawatnya dari semua masalah yang dibuatnya itu. Jika Randi memiliki seorang kekasih, kemungkinan besar pemuda itu tidak memiliki waktu lagi untuknya. Meski terdengar egois, Laras tidak menyukainya. Randi sedang mengatur meja belajarnya, sedikit melirik Laras ketika mendengar ucapan gadis itu. "Kamu sangat ingin aku memiliki kekasih?" "Tentu saja tidak! Lebih baik jika kamu benar-benar cinta mati dengan buku-bukumu saja. Apa gunanya punya kekasih, cih itu hanya merepotkan diri sendiri." Laras mencibir, duduk di kursi depan meja belajar dengan mendominasi. Dia benar-benar lupa akan dirinya dahulu yang mengejar seorang pemuda dan setiap hari berteriak ingin menjadi kekasih pemuda tersebut. Laras mungkin bisa lupa, tetapi Randi tidak. Dia menatap gadis itu dengan alis terangkat, "Sebelumnya, seseorang mengejar Kevin dan berteriak ingin menjadi kekasihnya setiap hari. Bahkan memberikan banyak hal agar Kevin menyukainya. Laras, apakah kamu tahu siapa orang tersebut? Aku sedikit lupa." Suara Randi tenang tanpa fluktuasi emosi, namun itu membuat Laras merasa lebih tidak nyaman. Dia batuk pelan dan bangkit berdiri, "Randi bodoh! Masa lalu ya biarkan saja berlalu. Jangan mengungkit yang sudah berlalu. Sudahlah, kamu menyebalkan. Pokoknya berikan saja kalung itu untuk gadis yang kamu suka. Percaya padaku, dia pasti menerimamu." Setelah berkata seperti itu, dia berbalik dan berjalan ke pintu. "Aku mau bersama Ibu Rani, kamu menyebalkan." Randi menyaksikan bagaimana Laras berjalan dengan menghentakkan kaki di setiap langkahnya, tangannya terkepal dan terayun kaku, itu membuat seluruh tubuhnya seolah berteriak dia sedang kesal. Lalu pintu kamarnya terbuka kemudian tertutup, menghalangi pandangannya dari gadis tersebut. Dia tetap di tempatnya tanpa bergerak, terus memandang pintu seolah bisa memiliki tatapan X-ray untuk dapat membuatnya melihat Laras dibalik pintu. Setelah untuk waktu yang lama, Randi mengalihkan pandangannya. Dia kembali mengatur buku-buku yang ada di atas meja dan mulai mengerjakan tugas yang belum selesai dibahas di kafe sebelumnya. Ruangan itu dominan dengan nuansa putih yang menjadikan buku-buku menjadi warna pembeda. Jendela terbuka utuh, dengan murah hati mengundang sinar matahari untuk masuk dan menerangi seluruh ruangan. Tepat saat ini, cahaya oranye dengan ribuan partikel kecil jatuh ke rak putih yang dipenuhi dengan buku-buku tebal. Membuat benda dengan ribuan ilmu pengetahuan itu menjadi lebih mencolok di antara furnitur ruangan yang hanya memiliki satu warna tetap. Sama dengan pemiliknya, seperti yang dikatakan Laras sebelumnya, begitu kaku dan membosankan. Buku-buku seolah menjadi ciri khas yang mencolok darinya. Dan seperti itulah Randi ingin orang lain melihatnya, membiarkan hal-hal membosankan darinya tampak jelas sehingga tidak ada yang tahu keinginan paling berbahaya tersembunyi dalam hatinya. Tangan pemuda itu bergerak cepat di atas papan ketik laptop, membuat serangkaian kata dengan lancar tanpa jeda yang lama. Dia tenggelam untuk waktu yang panjang dalam tugasnya, hingga akhirnya menyelesaikan semuanya. Bangkit dari kursi, dia membawa laptopnya keluar dari kamarnya, berniat untuk pergi ke ruang kerja ayahnya untuk mencetak dokumen yang baru saja dibuatnya. Di tengah jalan, dia menghentikan langkah kakinya. Menatap lurus pada seorang gadis yang tertidur pulas di sofa ruang tengah. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolah dengan atribut yang telah menghilang entah ke mana. Tidak tahu apa yang dipikirkannya, langkah kaki Randi membawanya untuk mendekat dengan gadis itu, melihatnya lebih dekat seolah terhipnotis akan sesuatu. Dia berjongkok di depan sofa, melihat diam-diam wajah tidur Laras yang tenang. Ketika gadis itu tidur, dia terlihat sangat polos dan tenang, tidak seperti ketika matanya terbuka di mana dia bisa mengatakan hal-hal untuk memprovokasinya setiap saat. Bulu mata panjang gadis itu bergetar sedikit, sepertinya belum benar-benar tertidur dalam. Tangan Randi terulur ke depan, menekan pelan ujung hidung Laras yang mungil dan menggemaskan. Dia memiliki keinginan mencubit dan menariknya, ingin melihat bagaimana reaksi gadis itu ketika kehabisan napas dan kesal karenanya. Itu pasti akan terlihat menarik. "Bodoh, aku menyukaimu." Mata Laras terbuka, dia mengerutkan keningnya dan duduk dengan perasaan pusing setelah tidur siang. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat sekitarnya dan segera menyadari bahwa dia ada di rumah keluarga Randi. Laras menguap lebar, bangkit berdiri sembari mengusap ujung hidungnya yang terasa gatal. "Ibu Rani, Randi, aku pulang!" serunya sebelum berjalan dengan sedikit linglung menuju rumahnya sendiri. Matanya sedikit tertutup, masih ada jejak kantuk yang belum terpenuhi. Dia hampir saja menabrak pintu yang belum terbuka. Dengan kesal Laras membuka pintu dan menendangnya, "Menghalangi jalan saja," gumamnya sebelum lanjut jalan. Randi menjilid tugas laporannya dan keluar dari ruang kerja ayahnya untuk kembali ke kamar. Sepanjang proses matanya akan melirik sebentar di sofa yang kini telah kosong tanpa jejak gadis itu. Rani datang dari dapur dan bertanya dengan santai, "Jadi, apakah kamu benar-benar akan mendaftar asrama?" Tatapan Randi teralihkan ke ibunya, dia mengangguk dengan tenang. "Iya, mulai minggu depan aku akan tinggal di asrama." Rani mengangguk, namun tetap berkata dengan heran, "Rumah tidak jauh dari kampus, kenapa kamu perlu tinggal di asrama?" "Di sana aku bisa lebih fokus belajar, dan juga lebih mudah untuk pergi ke perpustakaan." Rani tidak pernah meragukan keputusan Randi dan hanya mengangguk. Dia tampaknya memikirkan sesuatu dan bertanya, "Bagaimana dengan Laras, apakah kamu sudah mengatakan padanya bahwa kamu akan tinggal di asrama? Dia sangat lengket denganmu, jangan membuatnya kesal karena pergi tiba-tiba." Randi terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku akan memberitahu dia." Di malam hari ketika Randi membawa makanan untuk Laras pesanan dari ibunya, dia mengatakan dengan santai bahwa dia akan tinggal di asrama. Reaksi Laras sangat kuat, bangkit dari sofa dan menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Kamu tinggal di asrama? Kenapa? Kampus sangat dekat, bahkan lebih dekat daripada sekolahku, kenapa kamu perlu tinggal di asrama?" Laras berjalan cepat ke depan Randi, matanya terbuka lebar tertuju lurus pada pemuda itu. Seolah tidak bergeming sebelum Randi memberikannya jawaban yang memuaskan. "Lebih nyaman untuk fokus belajar di sana," jawabnya dengan tenang, berjalan menuju dapur menyiapkan meja makan untuk adik sepupunya itu. Laras mengikuti dari belakang, "Apakah kamu selama ini belum cukup fokus belajar?" tanyanya dengan pandangan tidak percaya. Kakaknya itu selalu belajar di setiap kesempatan seolah buku adalah napasnya, bagaimana mungkin dia belum cukup fokus. "Belum," kata Randi bertentangan dengan pikiran Laras. Dia bergerak alami mengatur makanan dengan rapi di meja makan serta peralatan makan untuk tuan putri kecilnya. "Lebih nyaman belajar di sana, aku bisa mudah pergi ke perpustakaan dan mencari bahan pelajaran." "Lalu bagaimana denganku?" Laras bertanya dengan cemberut. "Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Saat kamu kembali dan menemukan hanya tinggal mayatku di dalam rumah, maka jangan menyesalinya." Randi merasa bahwa kata-kata Laras lucu sehingga dia tersenyum geli, "Aku hanya tinggal di asrama, bukan pergi keluar kota atau keluar negeri. Saat ada waktu luang, aku akan kembali. Namun saat aku tidak ada, kamu harus menjaga dirimu dengan baik." Laras makan dengan lambat, masih tidak puas dengan jawaban Randi. Namun dia tahu bahwa Randi sangat cinta setengah mati pada belajar seolah setiap detik dia haus akan ilmu pengetahuan. Dia ingin menjadi egois, namun tidak ingin terlihat begitu kekanakan di usianya yang sudah hampir menginjak angka 18. "Baiklah," jawabnya dengan pelan. Dia mengaduk sup tanpa minat, "Ingatlah untuk pulang setiap libur, dan telepon aku ketika kamu di rumah." Randi melirik ke arah makanan di depan Laras, dia menambahkan lauk pauk lainnya di atas piring gadis itu. Menarik sup yang hanya dimainkan menjauh sehingga Laras bisa fokus makan nasi dan lauk lainnya. "Kamu dengar?" tanya Laras tidak puas ketika tidak mendengar jawaban dari Randi. Randi mengangguk, "Aku tahu," ucapnya. Berbeda dari sebelumnya di mana dia akan menunggu sampai Laras selesai makan, dia telah bangkit berdiri bersiap untuk pulang. "Makan yang banyak," katanya mengusap kepala gadis itu dan berjalan menjauh. Laras mengerutkan kening, menoleh untuk melihat punggung Randi yang kian menjauh darinya. Mungkin ini hanya firasatnya saja, tetapi dia merasa bahwa kakak sepupunya itu sangat aneh hari ini. Tetapi otaknya yang jarang digunakan tidak bisa mengetahui apa yang aneh dari sikap kakaknya, jadi dia menyerah untuk mencari tahu dan melihat ke piring yang penuh dengan makanan. "Dia pasti ingin membuatku menjadi gemuk," kata Laras marah, namun masih menggerakkan tangannya untuk menghabiskan makanan yang ada di atas piringnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD