062. Drama

1264 Words
Sudah pukul delapan lewat ketika kelas Laras tampil. Randi telah lama menunggu di aula, dia bahkan mengambil bukti gambar untuk ditunjukkan ke tuan putrinya yang sangat cemas itu. "Terima kasih," kata Randi, memberikan ponsel di tangannya kepada Fito. Fito mengambilnya dan mengangguk, "Santai saja," katanya. Tirai panggung terbuka, latar kerajaan yang dibangun dengan baik, indah dan cermat terlihat di mata setiap penonton yang hadir di aula. Panggung kecil yang sempit secara ajaib di ubah menjadi panggung yang begitu meriah dan penuh rasa kemartabatan. Seorang gadis dengan gaun panjang berwarna biru kuning muncul di panggung. Awal kisah Snow White adalah gadis yang malang dan menyedihkan, namun pemain karakter tersebut seolah tidak tahu apa itu arti menyedihkan, dia mengangkat kepalanya dengan kesombongan yang jelas dalam tatapannya. Menghadapi seorang ibu tiri yang telah merampas ayahnya, Snow White yang sombong itu menampilkan sikap penuh ejekan dan merendahkan. Rena yang berperan sebagai ibu tiri merasa tak berdaya menghadapi Snow White yang begitu sombong. Dia memberi isyarat dengan matanya kepada temannya itu untuk bersikap sesuai naskah yang diberikan. Sayangnya isyarat tersebut tidak sampai ke otak temannya. "Oh, kamu ibu tiriku? Menurutmu kamu paling cantik?" Laras menatap Rena dengan angkuh, lalu dia tertawa sinis. Dia mengangkat tangan kanannya, menjentikkan rambut palsunya dengan elegan. "Yakin lebih cantik dariku?" "Aku nyerah," Tiara yang ada di belakang panggung berkata dengan lesu. Dia seharusnya tahu semua ini akan terjadi. Yang lain mengangguk mendukung, namun tak punya kemampuan untuk memperingati Laras. Lagi pula siapa Laras? Dia orang yang tidak bisa mereka singgung sama sekali! "Biarkan saja, ini hanya hiburan, karakternya malah membuat drama kita menjadi menarik." Zulkifli sang ketua kelas yang berpakaian perkasa seorang pangeran mengintip dari belakang panggung dan melihat antusiasme para penonton. Tiara juga mengintip di sampingnya dan akhirnya mengangguk setuju, "Ya, mungkin ini benar-benar hal yang baik." Di atas panggung, cahaya jatuh tepat ke tubuh sang Snow White, adegan berubah ketika ibu tiri telah bertindak yang membuat Snow White dicuri dan dibuang ke hutan. Sebelumnya setiap pemain diberikan naskah lengkap untuk mereka hapal dan pelajari. Namun Laras selalu merasa dia sangat paham dengan karakter yang dimainkannya, lagi pula dongeng Snow White telah dia dengar dan tonton beberapa kali. Dan juga Tiara secara khusus mengatakan bahwa dialog tidak perlu mirip seratus persen dengan naskah, jadi Laras tidak ingin merepotkan dirinya menghapal dialog dalam naskah dan bermain sesuai keinginannya. Pemain lain yang telah menghapal naskah seluruhnya dipaksa untuk menciptakan dialog baru ketika bermain lawan Laras, mereka harus meningkatkan kemampuan akting mereka agar tidak terlihat bingung di panggung. Di deretan penonton, Randi tertawa geli, melihat tuan putrinya yang mengambil seluruh pusat perhatian. Gadis itu memang selalu seperti itu, menjadi bintang yang paling bersinar dan berkilau. "Laras sangat unik," kata Fito juga tertawa ketika mendengar dialog para pemain di atas panggung. Beberapa kali terdengar suara tawa dari penonton ketika mendengar dialog asal dari para pemain namun meski begitu jalan cerita tetap berjalan semestinya dengan alur utama sebagai penyangganya. Ketika drama berakhir, mereka menerima tepuk tangan yang meriah dan semangat dari penonton melebihi dari yang diterima kelas sebelumnya. Setiap murid dari kelas 12 IPA 2 muncul di atas panggung untuk berterima kasih dan membungkuk lalu pergi dengan senang hati. Kemudian tirai panggung tertutup kembali, menyembunyikan kemegahan di atas panggung kepada penonton. "Sepertinya mereka sangat menyukai drama kita," kata Laras sangat optimis. Mereka berjalan dari panggung, masing-masing segera bekerja membawa alat peraga dan membersihkan panggung untuk penampilan kelas selanjutnya. Mungkin hanya Laras yang tidak memiliki kesadaran diri dan berjalan begitu santai tanpa beban melihat teman-temannya kesusahan. "Bawa ini ke belakang," kata Rena, menyerahkan pohon buatan yang tidak berat kepada Laras. Meski tidak berat, pohon buatan itu sangat merepotkan karena bentuknya yang tinggi dan bercabang, Laras enggan namun tetap menerimanya, dia memeluknya begitu saja dengan cemberut. "Ya, untungnya semua berjalan lancar. Setiap detik pertunjukan tadi benar-benar menguras sel-sel otakku, bahkan mengaku hampir kacau karenanya." Tiara mendesah lega, dia membagikan minuman kepada teman-temannya dengan semangat dan riang. Laras menaikkan alisnya bingung, "Kamu bahkan tidak memiliki peran apa pun, kenapa kamu yang tegang?" tanyanya. Tiara menatap Laras dengan senyum manis, "Jika saja seseorang tidak mengubah dialog dan suasana cerita begitu saja, aku mungkin akan menjadi orang yang paling santai di sini." "Oh? Siapa yang berani-berani mengubah dialog? Apakah orang itu ingin cari masalah dengan kita?" Laras bertanya dengan angkuh, dia berdecak lidah mengungkapkan dukungannya kepada Tiara untuk menghujat orang yang hampir mengacaukan pertunjukan mereka. Tiara, "..." Dia sangat lelah. Rena tertawa terbahak-bahak, dia memukul bahu Laras dengan antusias. "Dasar temanku yang imut," katanya disela tawanya. Dia dengan gemas mencubit kedua pipi Laras. Laras menepis tangan Rena dengan kesal, mengambil dua langkah mundur menjauhi temannya yang tiba-tiba menggila itu. "Dah lah, aku mau ganti baju dan segera bertemu Randi." Dia melotot marah pada Rena sebelum berbalik menuju ke ruang ganti dan bergerak cepat namun teliti ketika mengganti gaunnya serta membuka rambut palsu yang masih bertengger di kepalanya. Setelah itu, dia bahkan menyempatkan diri memperbaiki riasan wajahnya sampai membuatnya puas dengan kecantikan dirinya sendiri. Randi sedang duduk di bagian belakang menonton pertunjukan drama berikutnya ketika Laras datang secara diam-diam ingin mengejutkannya. Dari belakang kedua lengan gadis itu bergerak perlahan lalu menutup kedua mata Randi yang fokus menatap ke depan. Randi bahkan tidak perlu berpikir untuk mengetahui pemilik tangan lembut dan kecil yang melilit kepalanya. Pemuda itu tersenyum kecil, "Apakah semuanya sudah selesai?" tanyanya sembari meriah kedua tangan yang usil itu. "Hum, begitulah," jawab Laras samar, tidak mengungkapkan bahwa teman-temannya yang lain masih sangat sibuk sementara dia telah pergi begitu saja meninggalkan mereka. "Apakah kamu sudah makan?" tanya Randi, menarik adik sepupunya untuk duduk di kursi kosong di sampingnya. "Belum," jawab Laras dengan lesu, mengelus perutnya yang datar dengan frustrasi. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahu kakaknya sembari mengeluh menggunakan nada yang menyedihkan, "Kamu tidak tahu betapa sibuknya aku dari pagi. Aku bahkan hampir lupa makan siang. Salahkan Rena yang terlalu banyak kegiatan hingga tidak mengingatkanku untuk makan. Lalu aku harus latihan berulang kali, sebagai karakter utama, peranku paling banyak dan sulit. Uh, aku sangat menderita." Randi mengusap rambut lembut gadis itu seolah sedang menghibur adik sepupunya yang sedang terluka. "Kalau begitu kita makan di rumah makan samping sekolah, jangan sampai Tuan Putri kita tersiksa karena kelaparan." Mendengar ucapan kakak sepupunya membuat Laras terkikik geli. "Jangan, ada beberapa kelas yang membuka stan kafe makanan. Ayo ke sana dan cicipi semuanya." Randi mengangguk, hanya bisa menyetujui apa yang diinginkan Laras. Kedua kakak adik bersepupu itu segera bangkit ingin keluar dari aula. Baru saja akan berbalik, Laras segera menyadari kehadiran Fito yang sedari tadi dia abaikan keberadaannya. Dia terdiam sebentar dalam ragu, kemudian berkata dengan nada penuh siasat. "Um Fito, kan? Tolong bantu aku tungguin Rena di sini, soalnya aku sudah janji akan makan sama dia. Setelah dia datang, beritahu saja kami ada di stan kafe yang dibentuk kelas lain. Terima kasih." Laras tidak memiliki kebiasaan memanggil 'Kak' kepada orang yang lebih tua darinya atau pun seniornya. Hal tersebut seringkali mendapatkan teguran dari ayahnya ketika dia masih kecil. Namun bagaimana pun dia ditegur dia tetap memanggil kakak kandungnya dengan sebutan nama saja dan begitu pun dengan kakak sepupunya, bahkan jika dia bertemu dengan kakak kelas atau senior lainnya. Untungnya Fito merupakan orang yang santai dan tidak peduli dengan senioritas, dia mengangguk dan tetap dengan nikmat menonton drama. Laras menghela napas lega. Segera memeluk lengan kakak sepupunya dan pergi ke luar dari aula dengan riang. Dia ingin hanya bersama Randi, kehadiran orang lain tampak tidak menyenangkan matanya. Melihat kepergian dua orang itu, Fito menggelengkan kepala dengan senyum tipis. Tentu saja dia tidak melewatkan senyum bahagia yang ditampilkan gadis itu, membuatnya merasa tebakannya semula merupakan kebenaran yang tak terelakkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD