061. Cemas

1320 Words
"Ingat datang ke sekolahku pukul 7 malam! Jangan terlambat, kamu tidak akan melihat tuan putrimu ini tampil." Laras berkata dengan nada tegas tanpa menerima penolakan apa pun. Gadis ini kini memakai gaun selutut yang berwarna merah muda, dia tersenyum mengalahkan sinar matahari pagi yang menerpa tubuhnya, membuatnya tampak berada dalam lingkaran cahaya. Hanya butuh sepasang sayap, dan dia akan terlihat seperti bidadari. Kini gadis itu berdiri di samping mobil hitam di depan jendela pengemudi yang terbuka. Pemuda di depannya mengangguk perlahan, "Oke," katanya. Laras mengangguk puas, dia berbalik dan berjalan dengan riang ke gerbang sekolahnya namun seolah teringat sesuatu, dia kembali menoleh ke arah Randi. "Oh iya, bawa temanmu juga agar kamu tidak bosan sendiri." Randi masih menurutinya, "Um," gumamnya. Laras berpikir sejenak, merasa tidak ada yang perlu dikatakan lagi, dia tersenyum dan berbalik untuk masuk ke dalam gerbang sekolahnya. Hari ini adalah hari Sabtu, karena acara festival tahun baru, sekolah dengan berat hati meliburkan para siswanya sehari dari kegiatan belajar mengajar sehingga para murid tersebut dapat memiliki banyak waktu mempersiapkan segalanya. Randi menatap punggung gadis itu hingga akhirnya menghilang dari sudut pandangannya, barulah saat itu dia menyalakan mesin mobil dan pergi menuju kampusnya sendiri. Laras yang memakai gaun merah muda tampil sangat cantik dan indah, dia menarik perhatian setiap orang untuk menatap ke arahnya. Tentu saja gadis itu menyadari tatapan setiap orang, namun itulah yang diinginkannya. Bersikap tidak mengetahui sekitarnya, dia berjalan dengan pandangan ke depan, mengangkat dagunya dan melangkah anggun bak model di atas karpet merah. "Ras, kemari, bantu aku angkat ini." Rena dari kejauhan melihat sosok Laras dan segera memanggilnya untuk datang dengan menunjuk dua dos air mineral yang diletakkan di atas lantai. Laras membuat ekspresi tertegun, dia menunjuk dirinya sendiri dengan tidak percaya. "Kamu memintaku mengangkat dos air? Itu kan tugas laki-laki," katanya, menolak dengan tegas. "Iya memang, tapi mereka kelamaan, nanti nanti mulu. Ayo bantu aja sekalian kita ke kelas." Rena menggunakan lengannya yang kuat mengangkat salah satu dos air mineral, kemudian dia menatap Laras dengan isyarat mengikutinya. "Turunin, turunin airnya," desak Laras, memukul bahu Rena agar mengikuti ucapannya. "Kamu masih gadis, tidak baik angkat yang berat-berat gini." "Apaan sih, sekali sekali tidak apa-apa," kata Rena namun karena desakan dari verbal dan fisik oleh Laras, dia akhirnya menurunkan dos minuman itu. "Kalau kita tidak gerak, minuman ini tidak akan pindah tempat." Laras mengangguk, kemudian dia menoleh ke sekitar dengan tatapan memindai. Saat ini banyak murid telah datang dengan memakai baju favorit mereka, masing-masing bersenang-senang dan bekerja untuk festival yang akan datang. Di halaman sekolah, tepatnya di lapangan utama, banyak murid yang sedang mendekor tempat sehingga menjadikan tempat yang cocok dalam acara yang meriah. "Eh, dua orang kemari!" Laras mengangkat tangannya yang lentik, dengan angkuh menggerakkannya secara isyarat untuk memanggil dua murid yang kini ada di lapangan. Dua murid tersebut ingin menolak, namun melihat sosok Laras, mereka bergegas pergi menghampiri, lagi pula tidak yang tidak mengenal Laras yang berasal dari keluarga terpandang dan berpengaruh di negara ini. "Bantu kami bawa kedua kotak air ini ke kelas 12 IPA 2 ya," katanya. Mereka berdua mengangguk setuju dan dengan mudah mengangkat kotak air tersebut lalu berjalan menuju ke kelas 12 IPA 2 yang ada di lantai tiga. Laras dan Rena dari belakang mengikuti mereka, memperhatikan kedua pemuda itu dengan sesekali mengobrol santai di antara teman. Sesampainya di kelas, Laras memberi isyarat kepada temannya itu dengan matanya yang segera dipahami oleh Rena. Rena selalu membawa uang tunai pada dirinya, dia mengambil dua lembar uang lima puluh ribu dan menyerahkannya kepada Laras. "Hanya ini?" tanya Laras penuh ejekan, kemudian dia memberikan kepada dua pemuda itu. "Upah kalian," katanya. Kedua pemuda itu sudah mengetahui betapa mudahnya tangan Laras memberikan uang kepada orang lain, mereka tidak menolak dan dengan senang hati menerimanya begitu saja. Lagi pula bagi Laras uang tersebut bahkan tidak ada apa-apanya di matanya. Melihat kepergian kedua pemuda itu, Rena berdecak lidah, "Dasar orang kaya," katanya dan segera berbalik untuk ikut bergabung mempersiapkan properti drama mereka. Laras memasang wajah jijik, "Seolah kamu tidak kaya," katanya dengan dengusan kesal. Mengikuti kegiatan sibuk para murid, musik yang semangat dan riang diputar di speaker membuat suasana menjadi lebih meriah. Setiap orang seolah memiliki energi maksimal dan bekerja lincah mengatur semuanya membuat sekolah yang formal segera berubah menjadi tempat kegiatan acara yang meriah dengan dekorasi yang ramai. Ada beberapa kelas yang akan mementaskan drama, mereka akan dilakukan secara berurutan di aula sekolah. Urutan tampil awalnya menjadi keributan karena saling menolak untuk setuju, hingga akhirnya cara lotre mendamaikannya. Kelas 12 IPA 2 akan tampil kedua setelah kelas 11 IPS 5, meski begitu para murid dari kelas 12 IPA 2 telah sibuk mondar mandir mengatur segalanya dengan gelisah. Para pemain dalam drama pun telah didandan sedemikian rupa dengan memakai kostum mereka yang unik. Laras secara pribadi menyewa perias wajah yang profesional untuk kelas mereka. Tentu saja teman-teman sekelasnya tidak bisa membayangkan betapa banyaknya uang yang dikeluarkan Laras demi kelas mereka, membuat Laras semakin disanjung dan mendapatkan kehormatan terbesar di kelas. Menuju malam, Laras yang memakai gaun panjang Snow White dengan memakai wig rambut pendek kini berjalan gelisah di belakang panggung. Tangannya memegang ponsel dan berusaha menelepon kakak sepupunya berulang kali. Namun Randi tidak mengangkatnya membuat Laras curiga bahwa kakak sepupunya itu tidak akan datang kemari. "Aku curiga dia telah mengetahui rencanaku," gumamnya sembari berjalan mondar mandir hampir mengelilingi ruangan. "Rencana apa yang kamu buat?" Tiara yang ada di sekitarnya bertanya dengan bingung. Laras akan menjawab namun segera menghentikan mulutnya, dia hampir mengira yang bertanya tadi adalah Rena yang membuatnya hampir mengatakan segalanya begitu saja. "Tidak, kamu tidak akan mengerti." Laras melambaikan tangannya acuh tak acuh dan kembali menatap ponselnya dengan khawatir. Dia mengirim bom pesan ke Randi, penuh ancaman dengan huruf kapital yang tebal. Lama dia menunggu, tidak ada balasan dari Randi. Laras berdecak kesal, ingin sekali pergi ke kampus kakak sepupunya dan menarik Randi untuk datang kemari sekarang juga. Rena yang baru saja datang setelah mencari cermin untuk properti drama menatap temannya dengan tatapan aneh. "Kamu kenapa lagi?" Laras menoleh memastikan bahwa yang bertanya Rena sebelum berkata dengan menggebu-gebu. "Randi belum juga datang! Aku sudah meneleponnya berulang kali dan ternyata ponselnya tidak aktif. Aku juga mengirim banyak pesan, tetapi tidak dibalas sama sekali. Entah apa yang dilakukan orang itu lagi. Jika dia sampai tidak datang, aku Tidka akan bicara lagi dengannya." Rena mengangguk, "Baiklah, tolong letakkan cermin ini di sana, agar tidak terpisah dengan yang lainnya. Takut hilang," katanya. Laras menerima cermin itu, berjalan dan meletakkan seperti yang dikatakan Rena. Kemudian dia tersadar, dan dengan kesal berbalik. "Kamu berani tidak menanggapi kata-kataku?" tanyanya kesal. "Tenang saja, Kak Randi pasti datang. Apa yang membuatmu cemas begitu?" Rena berkata dengan santai, kemudian dia pergi untuk mengurus yang lain. Laras akan marah kembali namun dering ponselnya menginterupsi kata-kata yang akan dia ucapkan. Nomor asing yang belum tersimpan dalam kontak ponselnya kini memanggilnya. Laras mengerutkan kening dan langsung menolaknya. Namun panggilan itu datang untuk kedua, ketiga, bahkan sampai keempat kali. Dengan kesal Laras mengangkatnya, "Ini siapa sih?" tanyanya dengan suara lantang. "Ini aku," jawab seseorang di seberang panggilan. Meski tanpa sebutan nama dan dari nomor yang tak dikenal, Laras segera mengetahui pemilik suara itu. Wajah kesalnya sedikit memudar digantikan dengan wajah cemberut yang antusias. "Aku meneleponmu dari tadi tetapi tidak pernah tersambung. Aku mengirim banyak pesan dan kamu tidak membalas satu pun. Jika kamu tidak ingin datang, katakan saja. Aku akan ke sana menarikmu kemari secara paksa." terdengar suara tawa rendah dari pemuda. Kemudian diganti dengan kata-kata penenang, "Maaf, ponselku kehabisan daya." "Lagi?" kata Laras. "Kenapa kamu selalu lupa untuk mengisi daya ponselmu sih?" "Iya, lain kali aku tidak akan lupa. Sekarang aku ada di depan sekolahmu, aku akan segera ke aula, jangan khawatir." Randi masih berbicara dengan nada tenang, tampak memiliki sedikit kelembutan karena senyum dapat ditemukan dalam suaranya. Setelah mendengarnya barulah Laras benar-benar tenang. Dia memutuskan panggilan dan menghela napas lega. "Aku bilang juga apa kan," Rena datang dengan membawa kotak berisi alat peraga berjalan melewati Laras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD