Bab 1-Pesona Abyasa
Jana berdiri di ambang pintu rumah megah itu, hatinya berdegup kencang. Ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai pelayan di kediaman keluarga Gumilar. Di usianya yang baru menginjak dua puluh dua, hidupnya tak memberinya banyak pilihan. Ia harus bertahan, meskipun harus bekerja di tempat yang penuh orang asing.
Seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan ekspresi tegas. "Jana, kamu mulai hari ini, kan? Aku Bu Sari, kepala pelayan di rumah ini. Kerjamu harus rapi, cepat, dan tidak membuat masalah. Paham?"
"Iya, Bu. Saya mengerti," sahut Jana sopan.
"Bagus. Tugasmu membantu di dapur, membersihkan ruang utama, dan—" Bu Sari tiba-tiba menghentikan ucapannya, menoleh ke arah pria yang baru saja turun dari tangga besar di tengah ruangan. Tatapan tajamnya membuat seluruh ruangan seakan menegang.
Abyasa Gumilar.
Pria itu memiliki aura yang sulit diabaikan. Setelan kemeja hitamnya tersetrika rapi, lengan tergulung hingga ke siku, memperlihatkan urat-urat di tangannya yang kekar. Tatapannya tajam, dagunya kokoh, dengan raut wajah yang menunjukkan d******i mutlak. Jana tahu siapa dia—suami dari Nyonya Renata Gumilar, pemilik rumah ini sekaligus pria yang memegang kendali atas segalanya.
Abyasa berjalan santai, melewati mereka tanpa sepatah kata pun. Namun, matanya sempat berhenti di wajah Jana. Sebuah tatapan singkat, tetapi cukup untuk membuat jantung Jana berdebar kencang. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang membuatnya merinding sekaligus penasaran.
“Jangan menatap langsung ke matanya terlalu lama,” bisik Bu Sari begitu Abyasa menghilang di balik lorong. “Dia bukan tipe orang yang suka diperhatikan.”
Jana menelan ludah dan mengangguk pelan. Namun, dalam hati, ia tahu bahwa tatapan pria itu bukan sekadar ketidaksengajaan.
----
Jana mulai terbiasa dengan rutinitasnya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Jana melirik jam dinding di dapur, menunjukkan hampir pukul sebelas. Semua penghuni rumah sudah tidur, hanya lampu-lampu kecil yang menyala di beberapa sudut untuk menerangi koridor.
Ia baru saja selesai membereskan dapur ketika Bu Sari, kepala pelayan rumah ini, mendekatinya. "Jana, antarkan teh ke ruang kerja Pak Abyasa," perintah Bu Sari sambil menyerahkan nampan berisi cangkir porselen dan teko kecil.
Jana mengangguk. Ini pertama kalinya ia mendapatkan tugas ini, biasanya hanya pelayan senior yang mengurusnya. Dengan hati-hati, ia membawa nampan, langkahnya pelan menuju ruang kerja tuan rumah yang terletak di ujung koridor.
Di depan pintu kayu besar itu, ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pelan. "Permisi, Pak Abyasa, saya mengantar teh."
Tak ada jawaban. Hening.
Pintu sedikit terbuka, seolah memang tidak tertutup rapat. Jana ragu sejenak, lalu dengan perlahan mendorongnya lebih lebar. Sekilas, ia bisa melihat Abyasa duduk di belakang meja kerja besar, satu tangan menyangga kepalanya. Kemejanya terbuka di beberapa kancing atas, memperlihatkan sedikit dadanya yang bidang. Matanya terpejam, ekspresinya lelah.
Jana menelan ludah, merasakan kegugupan yang aneh. Pria itu memancarkan aura yang berbeda dari orang-orang di rumah ini. Sosoknya maskulin, kuat, tetapi juga terlihat seperti seseorang yang sedang menanggung banyak beban.
Ia melangkah masuk, mendekat dengan hati-hati. "Pak Abyasa?"
Kali ini, kelopak mata itu terbuka. Tatapan tajamnya langsung mengunci ke arah Jana, membuatnya seketika kaku di tempat.
“Kau pelayan baru?” suara Abyasa rendah, berat, dan serak karena lelah.
Jana mengangguk. “Iya, Pak.”
Pria itu menggeser posisinya, bersandar di kursi dengan tangan kini bertumpu di sandaran. Ia mengamati Jana dengan tatapan yang sulit dibaca, mengukurnya dari ujung kepala hingga kaki. Bukan dengan cara yang kasar atau meremehkan, tetapi seperti seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang menarik perhatiannya.
“Nama?”
“Jana.”
Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka. Jana merasakan jantungnya berdebar tidak wajar. Ini hanya percakapan biasa, tetapi ada sesuatu dalam cara Abyasa menatapnya yang berbeda.
“Kamu terlihat beda,” gumam pria itu pelan.
Jana mengerutkan kening. “Maaf, Pak?”
Abyasa hanya tersenyum samar, samar sekali hingga sulit dikatakan itu benar-benar senyum. Ia mengulurkan tangan, mengambil cangkir teh dari nampan dan menyesapnya perlahan. Pandangannya tidak lepas dari Jana.
“Kamu boleh pergi.”
Jana mengangguk cepat, lalu berbalik menuju pintu. Namun, sebelum benar-benar keluar, ia bisa merasakan tatapan Abyasa masih mengunci punggungnya. Aura pria itu begitu menekan, dingin, membuat udara dalam ruangan terasa lebih berat.
Dengan sedikit gemetar, Jana menutup pintu di belakangnya. Begitu berada di luar, ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa tidak normal. Berada di dekat pria itu terlalu lama seperti berdiri di tepi jurang—berbahaya, tapi entah mengapa dia merasa menarik.
Dia menempelkan telapak tangan di dadanya, merasakan detak yang masih berdegup kencang. Mengapa hanya dengan tatapan saja, pria itu bisa membuatnya segugup ini? Dia tidak munafik mengakui bahwa Abysa memang pria yang tampan. Hanya orang bodoh yang tidak terpesona dengannya.
Jana buru-buru melangkah pergi sebelum pikirannya semakin liar. Ia harus fokus dengan pekerjaannya. Pria seperti Abyasa bukan seseorang yang boleh ia pikirkan lebih jauh.
Namun, di dalam ruangannya, Abyasa masih duduk di tempatnya. Pandangannya tetap terarah pada pintu yang baru saja tertutup. Matanya menyipit sedikit, ekspresinya sulit ditebak. Ia bukan pria yang tertarik pada banyak hal, tetapi ada sesuatu tentang Jana yang mengusik pikirannya.
Tanpa sadar, jarinya menelusuri tepian cangkir teh yang masih hangat.
-----
Keesokan paginya, Jana sudah mulai terbiasa dengan ritme pekerjaannya di rumah keluarga Gumilar. Ia bekerja dengan cekatan, memastikan setiap sudut rumah tetap bersih dan rapi sesuai standar yang ditetapkan oleh Bu Sari.
Pagi itu, ia mendapat tugas membersihkan perpustakaan—ruangan besar dengan rak-rak tinggi yang dipenuhi buku-buku tebal berjejer rapi.
Jana mengambil lap dan kemoceng, lalu mulai membersihkan debu yang menempel di rak buku. Beberapa bagian terlalu tinggi untuk dijangkau, jadi ia menarik kursi kayu yang cukup kokoh ke tengah ruangan dan naik ke atasnya. Dengan hati-hati, ia menggapai bagian atas rak, menyapu debu yang menumpuk di sana.
Fokusnya penuh pada pekerjaannya, tidak menyadari bahwa pintu perpustakaan telah terbuka dan Abyasa berdiri di ambang pintu, mengamati punggungnya dengan tatapan yang sulit ditebak.
Jana bergerak sedikit ke samping, mencoba membersihkan bagian rak yang lebih jauh. Namun, keseimbangan kursi sedikit goyah. Ia tersentak, berusaha mengembalikan keseimbangannya, tetapi terlambat—kursi bergeser, dan tubuhnya kehilangan tumpuan.
Jana terjatuh.
Dalam sepersekian detik, sebelum tubuhnya menyentuh lantai, sebuah tangan kuat menangkapnya. Ia terkejut, mendapati dirinya jatuh dalam pelukan seseorang—d**a bidang dan lengan kokoh menyangga tubuhnya dengan mudah.
Saat matanya mendongak, tatapan Abyasa sudah lebih dulu mengunci pandangannya.
Sejenak, waktu terasa melambat. Jarak mereka terlalu dekat, napas mereka bercampur dalam keheningan perpustakaan. Jana bisa melihat dengan jelas setiap detail wajah pria itu—mata tajamnya yang menelisik, rahangnya yang tegas, dan ekspresi dingin yang entah mengapa terasa lebih intens saat ini.
Jana menahan napas, merasa jantungnya berdebar kencang dalam diam.
Abyasa tidak segera melepaskannya. Matanya mengamati wajah Jana dengan seksama, seolah sedang membaca sesuatu yang hanya bisa ia pahami. Detik-detik berlalu dalam sunyi, sebelum akhirnya ia berbicara dengan suara rendah.
"Apa kamu selalu seceroboh ini?"
Jana tercekat, lalu buru-buru berusaha melepaskan diri dari genggamannya. "Ma-maaf, Pak... Saya tidak sengaja."
Abyasa menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya menurunkannya perlahan ke lantai. "Hati-hati lain kali," katanya singkat.
Jana mengangguk cepat, wajahnya terasa panas. Ia buru-buru mundur selangkah, merapikan bajunya dan berusaha mengendalikan dirinya yang masih terasa tegang.
Abyasa tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatapnya sejenak, lalu berbalik pergi tanpa suara, meninggalkan Jana yang masih berdiri kaku di tempatnya.
Jana memejamkan mata, menghela napas panjang.
Kenapa ia merasa seolah udara di ruangan ini mendadak lebih tipis?