Chapter 2

1441 Words
Yara menunduk memandang sengit pada ponselnya di meja. Seharian ini ia menghabiskan waktu di studionya. Berangkat pagi-pagi sekali, melewatkan sarapan dan membeli sarapan sendiri di jalan. Studio ini adalah sebuah apartemen yang ia jadikan tempat kerja dan markas untuk ia, Kira dan Zen. Walau tidak terlalu besar tapi Yara sangat menyukainya. Tentu karena ia membeli apartemen ini dengan hasil kerja kerasnya sendiri. "Oi, oi," Zen mendadak muncul, dengan gaya khasnya sekarang yang selalu membawa kamera ke mana-mana. Ia memakai kaos hitam yang dilapisi kemeja bermotif berlengan pendek, celana jeans sobek dan sepatu sneakers. Tak lupa ransel merah yang sudah dipakainya sejak kelas tiga SMA yang tidak bisa dibilang bagus lagi. Tapi Zen selalu menyebutnya sebagai ransel keberuntungan dan tidak pernah mau ia ganti. Yara sama sekali tidak pernah mempermasalahkan penampilan atau hal apa pun mengenai Zen. Toh, ia sendiri tipe orang yang tidak memedulikan penampilan. Paling Kira yang selalu memprotes dan mengatai mereka terlihat seperti gembel karena selalu memakai celana jeans sobek. "Oi, Yara, oi," ulang Zen sambil melambaikan sebelah tangan di hadapan Yara karena ia tidak mengacuhkannya. Yara mendesis tanpa memandangnya. Masih memusatkan seluruh perhatin pada ponsel di meja. "Apa, sih, yang kau lakukan?" Tanya Zen heran. Ia menarik kursi dan mendudukan diri, lalu ikut menunduk memerhatikan ponsel Yara. "Si b******k itu," Yara mendesis lagi, kali ini jelas terdengar marah. Zen langsung mengerti. Tentu Yara sudah menceritakan tentang perjodohannya. Dan kenyataan bahwa Samuel lah yang dijodohkannya juga, baik Kira mau pun Zen sama-sama tahu banyak hal mengenai Yara. Begitu pun sebaliknya. "Ada apa dengan Sam?" Yara mendesis keras, membuat Zen tersentak dari kursinya. "Jangan sebut namanya!" "Baiklah, baiklah..." Zen meletakkan kameranya hati-hati di sisi lain meja, melepas ransel dan meletakannya juga di sana. Tiba-tiba terdengar suara bantingan pintu dan suara Kira yang membahana memenuhi ruangan. "Jangan mulai sebelum aku datang!" Pintu dibanting lagi dan ia berlari menuju Yara dan Zen. Tidak mengacuhkan pemandangan ganjil di antara mereka. "Apa? Apa yang sudah aku lewatkan?" Tanyanya dengan napas tersengal. "Astaga, demi Tuhan, Zen! Ganti ranselmu, kenapa, sih?" Ia menggulirkan mata pada ransel di meja. Zen menyipitkan mata dan memindahkan ranselnya di meja lain dengan hati-hati seolah Kira bisa kapan saja menerkam benda itu. "Aku baru datang tahu," dengusnya. Kira menghela napas lega. Menarik kursi di meja bundar itu dan duduk. "Baiklah, bisa kita mulai sekarang. Jadi bagaimana kelanjutannya?" Ia mengalihkan pandangan pada Yara yang masih menunduk memandang ponsel. "Ada apa?" Yara mendengus. Kemudian dengan sangat terpaksa mengangkat wajah memandang Kira. "Belum ada kelanjutannya," ia berkata dengan marah. "Si b******k itu meminta nomor ponselku tapi belum menghubungiku sampai sekarang!" Zen dan Kira bertukar pandang heran. "Kau tahu, kau jadi terdengar seolah kau mengharapkannya," celetuk Zen tanpa dipikir terlebih dulu. Yara berpaling padanya, menyipitkan mata dan memandang sengit. "Mana bisa dibilang begitu! Aku hanya... Hanya kecewa, kau tahu! Maksudku, aku sangat membencinya sejak dulu dan bagaimana bisa malah dia yang dijodohkan denganku, ini tidak masuk akal!" Kira menghela napas sabar. "Apa?" Yara langsung berbalik padanya. "Aku hanya bernapas," kata Kira tenang. Yara mengenyakkan diri pada sandaran kursi. "Padahal aku sangat membencinya, aku bahkan tidak bisa melupakan dia seumur hidupku." Tentu saja. Baik Zen dan Kira menghabiskan seumur hidup mereka bersama Yara untuk mendengar semua hal tentang Samuel yang setidaknya dua kali seminggu Yara sebut. Mereka berdua pun sama-sama cukup tahu banyak tentang Samuel. Dia cukup terkenal di lingkungan mereka. Walau tidak pernah sekali pun satu sekolah, tapi mereka masuk di universitas yang sama. Dan Samuel memang tipe orang yang terkenal dengan semua jejak keonarannya di masa lalu. "Well, sejujurnya kau seperti menyukai Sam," kata Kira kalem. Yara melotot padanya. "Kau juga?" Ia mendecak. "Demi Tuhan, ada apa, sih dengan kalian." "Ya, jika kau selalu membicarakan seseorang setiap hari sepanjang tahun, sulit untuk tidak dikatakan tidak suka, bukan?" Zen melirik Kira mencari pembelaan. Tapi Kira tidak mengacuhkannya. Yara menghela napas lelah. "Aku sangat membencinya, dan tidak ada yang akan berubah dari itu." Zen mengedikkan bahu. "Lalu apa yang akan kau lakukan? Kabur dari rumah?" Kira langsung melotot padanya. Zen yang seketika sadar sudah kelepasan bicara segera tutup mulut. Namun Yara tidak menunjukkan reaksi apa pun. "Tapi, kurasa bisa saja kau memang benar-benar membencinya," kata Kira hati-hati. Berharap terdengar biasa saja. Zen mencibir karena ia tidak konsisten. "Maksudku," Kira melanjutkan tanpa mengacuhkan Zen. "Itu hal yang wajar tentu," ia seperti kehabisan kata-kata di penghujung kalimat. Membuatnya terlihat seperti ikan yang kehabisan napas. Zen segera menimpali. "Mungkin saja Samuel memiliki sisi baik yang lain, kan?" "Mungkin saja," ujar Yara masih terlihat tak bertenaga, bersandar dan memandang keluar jendela tanpa minat. Zen dan Kira saling pandang lagi. Memaksa satu sama lain untuk mengatakan sesuatu yang lebih baik. "Kalian tahu, apa kalian pernah berpikir bahwa si b******k itu hanya mempermainkanku?" Kira mengernyit tak mengerti, ia memandang Zen lagi berharap mendapat penjelasan tapi Zen terlihat sama tidak mengertinya dengan dirinya. "Kenapa begitu?" Akhirnya Kira bertanya. "Dia bahkan tidak mengingatku." Kira mengangguk mengerti. Setidaknya sudah puluhan kali Yara mengulang bagian itu. Bahwa Samuel bahkan tidak mengingat dirinya, itu jelas membuat Yara kecewa walau ia tidak mau mengaku. "Dia memang tidak mengenal kita, kan?" Zen memandang bolak balik pada dua temannya. Setengah takut jika salah bicara lagi. Yara memberengut dan diam saja. Benar, pikirnya. Samuel memang tidak mengenal dirinya kan? Dia hanya kebetulan melihat wajah jelek Yara dan jijik akan hal itu. Yara mendengus marah. Ia baru akan menyumpah saat mendadak suara dering ponselnya terdengar. Yara tersentak meluruskan tubuh. Memandang penuh perhatian pada ponsel dan sadar benar jantungnya berdegup gila-gilaan. Sebuah nomor asing. Pasti si b******k itu, kan? Awas saja, berani-beraninya dia menghubungi Yara! Yara mengambil benda itu dengan kasar dan menempelkannya pada telinga. Menunggu orang di seberang bicara lebih dulu dengan wajah sangar. Kira dan Zen nampak antusias juga. Memandang Yara dengan tatapan tak sabar dan ingin tahu. "Halo?" Ucap suara di seberang. Yara menahan napas sesaat sebelum menjawab dengan marah. "Apa?" "Oh, maaf. Maaf sudah mengganggu waktumu." "Omong kosong macam apa lagi..." Yara bergumam dengan mulut terkatup. "Aku hanya ingin memastikan, ah, tidak. Maksudku, bisakah kita bertemu?" Yara berhenti menggumam. Sebelah alisnya terangkat, setengah menatap ponsel seolah tidak percaya pada apa yang ia dengar. "Maaf, maksudku, mau kah kau bertemu denganku?" "Untuk apa?" Suara Yara bergetar, akibat campuran marah dan gugup yang mendadak menyerang. Bertemu berdua saja dengan Samuel? Gila. Sungguh gila. "Tentu ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu, mmm, calon tunanganku," suara Sam terdengar gugup di akhir kalimat. Yara berharap bisa mendengus dengan sepenuhnya marah, tetapi ia malah setengah tertawa. Ia sendiri tidak tahu kenapa. "Kapan? Jangan mengira kau bisa sewaktu-waktu mengajakku keluar, aku bukan pengangguran, aku punya banyak kesibukan!" "Oh," Samual terdengar syok. "Tentu, maaf. Jika kau bisa sekarang juga?" Ia terdengar memohon. "Karena hari ini aku harus mendatangi sebuah meeting dan beberapa hal lain lagi, aku tidak yakin akan memiliki waktu luang sampai malam ini." Cih, sok pamer, pikir Yara sebal. "Baiklah, katakan di mana!" Setelah Sam mengatakan alamatnya, hubungan terputus. Yara sengaja tidak mengucapkan salam penutup atau apa. Biar tahu rasa dia! Enak saja memintanya bertemu, mendadak pula! Memang dia pikir dia siapa! "Bagaimana?" Mata Kira membulat sempurna, benar-benar terlihat tak sabar sekarang. "Dia mengajakku bertemu sekarang juga!" Yara menyentak berdiri. "Tidak tahu diri benar! Dia pikir dia siapa bisa bersikap seenaknya begitu!" Yara berjalan cepat menyeberangi ruangan. Mengambil kunci mobil, memasukkan dompet dan ponsel ke dalam ransel mungil hitam dan memakainya. "Apa karena perjodohan ini dia jadi seenaknya begitu? Dipikir aku mau dijodohkan dengannya?" Ia berbalik menatap Zen dan Kira satu persatu. Kira memaksakan senyum yang terlihat aneh sekali. Sementara Zen tanpa alasan terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan semangat hidup. Yara tidak mengacuhkan mereka. "Lihat, kan. Bagaimana bisa aku tidak membencinya setengah mati. Setelah dia merusak harga diriku, membuatku jadi seperti ini lalu sekarang bersikap seenak jidat!" Ia lanjut mengomel sendiri sambil terus melangkah keluar. Kemudian menghilang dari balik pintu diiringi suara debuman kasar. Kira dan Zen saling pandang dalam hening untuk beberapa saat. "Toh, dia tetap pergi juga, kan?" Tanya Zen putus asa dan tak habis pikir dengan tingkah temannya yang satu itu. Kira mengangguk. Mengerjap-ngerjapkan mata kemudian mengalihkan pandangan menerawang. "Terkadang aku yakin Yara sebenarnya menyukai Samuel," ucapnya setengah melamun. Zen menghela napas dalam. "Mana bisa kau membicarakan seseorang sepanjang hidupmu tanpa merasa menyukainya? Samuel itu memang pembuat onar, tapi selebihnya dia sangat tampan. Aku sering mendengar dia suka bergonta-ganti pacar. Yah, dengan wajah seperti itu siapa juga yang mau menolak? Walau tidak setampan aku, sih. Sayang sekali, kan?" Seketika Kira tersadar dari lamunan dan langsung mendesis jijik. "Perlukah kita menghentikannya?" Zen bertanya tanpa mengacuhkan tatapan jijik Kira. "Dia bisa mengoceh sepanjang jalan, loh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD