Chapter 3

2308 Words
Sam mendudukkan diri di meja terdekat yang bisa ia jangkau dari pintu masuk restoran. Pikirannya kacau dan segala hal buruk dan tidak menyenangkan yang ia rasakan tergambar dengan jelas dalam raut wajahnya. Sam mendesah keras tanpa ia sadari. Sejak hari pertemuan pertamanya dengan Yara, Sam juga tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Terlebih tentang kebencian yang secara terang-terangan dilontarkan gadis itu kepadanya. Ia jelas tidak mengerti. Jika kebenciannya disebabkan perjodohan mungkin ia bisa memaklumi, tapi meski begitu tidak tahu kah Yara bahwa dirinya juga korban dari perjodohan ini? Sam mendesah keras lagi tanpa sadar, tak hentinya bergerak-gerak gelisah di kursinya sampai membuat beberapa orang memerhatikan dirinya. Yah, apa pun alasan kebencian Yara terhadap dirinya, yang terpenting ia sudah mencoba untuk membicarakan hal itu dengannya sekarang. Sam mendadak diam dan termenung. Ia tahu sejak awal ia juga merasakan sesuatu yang aneh terhadap gadis itu. Fakta bahwa ia merasa pernah bertemu gadis itu sebelumnya juga tidak bisa ia abaikan dan pikiran itu semakin mengganggu kepalanya yang serasa hampir pecah karena harus memikirkan segala sesuatu mengenai perusahaan juga. Sam memejamkan mata lantas memijat pelipisnya dengan sebelah tangan. Benar-benar tidak menyadari kegelisahannya telah menarik perhatian banyak orang. Ia jadi teringat pada sang kakak. Sosok yang selama ini mengemban semua tugas dan tuntutan dari orang tua mereka. Ternyata begini... ternyata begini rasanya... Sam tak berbohong betapa ia merasa menyesal karena pernah merasa iri pada sang kakak atas seluruh perhatian yang ia terima dari ayah mereka. Sementara ia sendiri dianggap bagai bayangan yang kasat mata. Ya, sejak kecil seluruh perhatian dari sosok ayah yang Sam idam-idamkan tak pernah ia dapatkan. Karena itu, ia sering mencoba menciptakan keributan agar mendapat sedikit perhatian ayahnya. Sam tersenyum masam. Tentu saja, hasilnya sia-sia. Dan tanpa perhatian dari sang ibu, ia yakin dirinya pasti sudah terjerumus pada hal yang lebih buruk. Ibunya tak pernah benar-benar marah atas segala kenakalan yang ia lakukan. Hanya saja dia memberi batasan tertentu mengenai hubungan dengan lawan jenis. Dan dengan seluruh cinta dan kasih sayang yang ibunya berikan, mana mungkin Sam tidak menurutinya? Semenjak kepergian sang kakak, Sam jadi memahami betapa berat kehidupan Ryo selama ini. Menjadi CEO sama sekali tak mudah. Menjadi anak tunggal keluarga Sato sama sekali tak mudah. Dan yang tersulit dari semua hal yang ada adalah saat Sam juga harus menggantikan posisi sang kakak pada perjodohan ini. Bagaimana bisa? Hari itu ia bertanya sesaat setelah orang tuanya menyampaikan perkara perjodohan. Bagaimana bisa dirinya yang bahkan bergandengan tangan dengan seorang gadis saja belum pernah, harus bertunangan dan menikah secepat ini? Ditambah lagi fakta bahwa gadis yang dijodohkan dengannya sangat membencinya, membuat Sam semakin merasa tertekan. Ia terus bertanya-tanya apa salah dirinya? Dan tidak bisa tidak membayangkan kehidupan pernikahan yang dingin dan kaku dengan Yara. Sam mendesah keras lagi tanpa sadar. Ia jelas tidak menginginkan pernikahan semacam itu. Ia juga tidak ingin anak-anaknya kelak merasakan apa yang ia rasakan. Yah, bukan berarti ia membenci Yara juga. Sejujurnya gadis itu cantik, dan sesuatu dalam dirinya membuat Sam merasakan perasaan nostalgia yang aneh, tetapi menyenangkan. Ah, andai saja Yara tidak terang-terangan menunjukkan kebenciannya. Mungkin segalanya akan terasa lebih baik sekarang. Sam menjatuhkan pandangan pada meja. Menatap kosong pada cangkir kopi yang utuh. Uapnya sudah tidak mengepul lagi. Sekarang pikirannya teralih pada Ryo lagi. Sosok kakaknya yang terlihat begitu sempurna yang ia akui sangat ia kagumi juga. Sam sendiri nyaris tak percaya saat secara tiba-tiba sang kakak, untuk pertama kalinya dalam hidup menentang ucapan ayah mereka. Terlebih dengan jujurnya mengatakan bahwa ia telah menghamili seorang gadis. Kening Sam berkerut saat membayangkan kalimat itu. Ryo, seseorang yang bahkan tak pernah terlihat keluar dengan gadis mana pun tiba-tiba mengaku telah menghamili seseorang. Bagaimana bisa Sam mempercayai hal itu pada awalnya? Ia hanya mengira Ryo hanya berusaha untuk menghindari perjodohan. Tetapi begitu melihat kesungguhan dalam mata sang kakak, Sam langsung mengerti bahwa Ryo tidak berbohong. Sam termenung lagi. Bertanya-tanya sendiri siapakah gadis itu? Sosok yang berhasil meluluhkan hati Ryo Sato yang tak pernah terlihat peduli pada perempuan? Sam mendesah lelah. Ia merasa sudah cukup untuk memikirkan masalah sang kakak. Toh sejak awal ia sudah mengambil langkah untuk mencari jejak sang kakak. Bagaimana pun, Sam tidak akan memutus hubungan dengan Ryo. Karena seumur hidup Ryo juga sangat baik pada dirinya. Jadi mana mungkin ia akan membiarkan Ryo di saat terburuk seperti ini. Sam mengalihkan pandangan, apakah Ryo sudah bertemu dengan gadis itu dan calon bayinya? Ia tersenyum tanpa sadar, senyuman kecil yang sedih. Apa pun itu Sam hanya berharap agar sang kakak selalu bahagia. Di mana pun dia berada sekarang. Sam meyakinkan diri ia akan berhasil menemukan keberadaan sang kakak dan membantunya untuk bangkit kembali secara finansial. Yah, dalam beberapa hal ayah mereka memang b******k. Mengusir Ryo tanpa memberinya uang sepeser pun padahal Ryo lah yang sudah membangkitkan perusahaan mereka selama ini. Sam tak habis pikir, tapi Sam setengah yakin Ryo masih memiliki uang simpanannya sendiri. Ya, ia yakin itu. Karena Ryo sangat lah pintar... dia adalah sosok laki-laki yang sempurna. -- Yara mengembuskan napas berat saat ia sadari dirinya merasakan kegugupan yang aneh. Ia menatap kedua tangannya sesaat lalu mencengkeramnya kuat-kuat. Berhenti bergetar seperti i***t, katanya pada diri sendiri. Lantas ia kembali mendongak dengan berani dan masuk ke dalam restoran yang Sam katakan. Hal pertama yang ia lihat adalah sosok Sam di meja terdekat yang tengah tersenyum. Seketika Yara merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Sam tidak menyadari kehadirannya. Ia menunduk memandang meja, dan senyuman kecil itu terlihat sedih. Eh, mungkinkah ini... Mungkinkah Yara bersimpati pada si b******k itu? Yara segera menggeleng keras-keras dan melanjutkan langkah. Yara tak suka jika harus menyapa lebih dulu. Dan untungnya Sam mengangkat wajah tepat beberapa langkah sebelum ia mencapai meja. Tapi lagi-lagi, kesedihan yang sekilas terpancar jelas dari matanya membuat Yara ikut sedih. Ia sedih karena mengira Sam membenci perjodohan ini dan perjodohan ini membuatnya tertekan dan sedih begitu. Seburuk itu kah dirinya? Setidak suka kah itu Sam pada dirinya? "Yara," Sam tersenyum, kali ini senyuman manis yang menyentuh matanya. Dan segala kesedihan tadi seolah lenyap begitu saja. Yara mengangguk sekali. Lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Sam. "Eh?" Sam mengernyit heran sesaat sementara Yara tidak memerhatikan. Ia jelas terkejut pada perubahan sikap Yara. Bahkan belum lama ini Yara marah-marah di telepon, tapi sekarang ia tidak menunjukkan kebenciannya sama sekali. Terlebih, tanpa sepenuhnya Sam sadari. Tepat saat ia melihat gadis itu berjalan mendekat, dengan begitu tiba-tibanya segala beban dan kesedihan yang ia rasakan seolah menguap. Tapi kenapa bisa seperti itu? Ia tidak tahu. Lalu hanya satu kesimpulan aneh yang ia sendiri bingung apakah benar demikian. Apakah dirinya memang sangat ingin melihat Yara lagi? Sam berdeham setelah sadar keheningan yang cukup lama di antara mereka. "Mmmm, kau ingin memesan sesuatu?" Tanyanya sebelum memberi isyarat pada pelayan. Tanpa memandangnya Yara menjawab. "Tidak, katakan saja apa keperluanmu dan aku akan segera pergi setelahnya." Sam mendapati dirinya kecewa. "Oh..." Ia terdiam lagi untuk beberapa saat. Butuh waktu untuk merangkai kembali semua kata-kata yang telah ia siapkan selama ini. Sam juga memutuskan untuk mengatakan yang sejujur-jujurnya mengenai Ryo, tak peduli sang ayah mengijinkannya atau tidak. Karena Yara adalah istri masa depannya, maka ia tidak ingin ada rahasia apa pun di antara mereka. "Yara," ucap Sam, yang ia dapati lebih sulit dari yang dibayangkan. "Yang akan aku bicarakan adalah mengenai perjodohan kita." "Mmmm, ya," sahut Yara tak acuh. Sam mengernyit sedih, hatinya terasa sakit dengan tanggapan itu. Kemudian tanpa sadar ia mendesah keras lagi. Yara sedikit terkejut lantas menoleh tanpa disadari. Menatap kesedihan dalam raut wajah itu lagi dan ikut mengernyit. Ia sudah ingin menanyakan pertanyaan itu yang rasanya seolah sudah ada diujung mulut. Tapi selalu saja, setengah dirinya tak berani untuk mengungkapkannya. Ia takut mendengar jawaban Sam jika memang dirinya benar-benar tidak menyukai perjodohan ini... Tidak menyukai Yara... "Aku," Sam memulai lagi, namum kali ini terlihat begitu kesulitan. Ia sadar benar ia tidak bisa mengatakan apa pun mengenai hal-hal seputar hubungan jika Yara tetap membenci dan tidak menganggap dirinya. Lalu mendadak membahas Ryo rasanya juga tidak menyenangkan, Yara bisa saja semakin membenci dirinya kan? Karena mau dibandingkan bagaimana pun juga Ryo jauh di atas dirinya. Eh, tunggu, mendadak Sam tersadar. Alasan kenapa Yara membencinya... Sam berpikir sembari berusaha menyambungkan satu hal dengan yang lain. Akankah alasan Yara membencinya karena bukan Ryo yang jadi dijodohkan dengannya? Wah, tunggu, kenapa ia merasa sangat kecewa begini? Sam menghela napas menyakitkan. "Jadi Yara, akankah kau kecewa mengenai ini?" Yara tak berhasil menyembunyikan keterkejutan dan kesedihan yang mendadak meluap dalam dirinya. Jadi benar... jadi benar Sam sangat tidak menyukai dirinya... "Maksudku tentang Ryo." "Eh?" Apa ia tidak salah dengar tadi. Sam ikut bingung melihat keterkejutan Yara. "Ryo, kakakku," Sam mengulangi karena mengira Yara tidak mendengar. "Kakakmu?" Baiklah sebenarnya apa yang tengah Sam bicarakan? "Ya, kakakku, yang batal dijodohkan denganmu," Sam merasa lidahnya kaku saat mengucapkan kata-kata itu. "Hah?" Yara terkejut dengan keras. Untungnya dengan cepat ia berhasil menguasai diri. "Kakak...." ia bergumam tanpa sadar. Sampai kemudian mendadak teringat. "Astaga, kakak? Kau memiliki kakak?" "Hah?" Sam ikut terkejut dengan keras, yang pastinya membuat orang-orang disekitar mereka berpikir, apakah mereka berdua tuli? "Te-tentu saja aku memiliki kakak," sahut Sam linglung. Jadi jika bukan karena sang kakak lantas apa yang membuat Yara terlihat begitu membenci dirinya? "Kenapa kau ikut terkejut begitu?" Omel Yara, yang anehnya justru membuat Sam senang. "Jadi dugaanku benar, astaga," Yara menggeleng-gelengkan kepala tak menyangka. Sam nyengir, tapi segera sadar dan kembali memasang raut wajah serius. "Intinya, Ryo yang sebenarnya akan dijodohkan denganmu," ah rasa-rasanya Sam ingin menggigit lidahnya sendiri. Ia tidak suka mengatakan hal itu. Yara mendenguskan tawa aneh. "Bukan aku tapi kakakku." "Hah?!" Sam terkejut dengan keras lagi. Yara tidak bisa tidak tertawa karena reaksinya yang lucu. "Ayolah jangan terus terkejut begitu, kita jadi seperti orang t***l," Yara tahu benar orang-orang memperhatikan mereka dengan tatapan aneh. "Oh, maaf," Ryo berdeham sekali dan membenarkan posisi duduk. Masih belum sepenuhnya mempercayai apa yang barusan ia dengar. Kenapa bisa jadi seperti ini? Kebetulan? Ah tidak, ini takdir. Takdir macam apa ini? Sama-sama menggantikan sang kakak? Rasanya aneh... "Jadi, kau sungguh-sungguh tentang itu?" Sam berusaha menunjukkan raut wajah bersimpati, walau sebenarnya ia sangat lega karena Yara lah yang dijodohkan dengan dirinya. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa. "Ya," sahut Yara, ia menatap langsung mata Ryo. Seolah berharap bisa membaca pikirannya juga. "Apa kita benar-benar menggantikan posisi kakak kita?" Tanyanya, kali ini dengan raut wajah serius. Sam tersenyum masam sesaat. "Ternyata begitu," sahutnya. "Takdir yang aneh," Yara bergumam pada dirinya sendiri. "Jadi... kenapa kau harus menggantikan posisi kakakmu?" Tanya Yara setengah enggan, karena ia sendiri juga tak ingin menceritakan perihal sang kakak yang kabur dari rumah. Raut wajah Sam berubah. "Sejujurnya aku memang berencana menyampaikan semua ini sejak awal. Maksudku aku tidak ingin ada rahasia dalam hubungan kita." Sesuatu seolah menendang perut Yara, ia mengernyit seketika. Hanya perasaannya atau memang Sam menganggap hubungan mereka serius? "Tapi, mungkin ini juga aib keluargaku," Sam melanjutkan. "Yah, meski begitu kau akan tetap menjadi bagian dari keluarga jadi tidak ada salahnya." Sial. Apa-apaan kata-kata itu? Apakah wajah Yara memerah sekarang? "Secara tiba-tiba kakakku mengatakan bahwa ia telah menghamili seseorang." Yara berharap tak terlihat seterkejut itu, ia takut menyinggung perasaan Sam. Tapi di luar dugaan Sam tersenyum kecil seolah mengatakan tidak apa-apa. "Terlepas dari hal yang dikatakannya, kakakku adalah orang yang baik." Yara mengangguk lamban. "Mmmm, dan sekarang. Kakakku keluar dari rumah. Ayah mengusirnya." Oh... Yara merasa tak enak mendengar hal ini. Ia benar-benar tak mengerti kenapa hal yang mereka berdua alami begitu mirip. "Lalu bagaimana dengan kakakmu?" Tanya Sam setelah keheningan panjang. Yara bergeming. Perlukah ia bercerita juga? Tapi bagaimana pun juga, Sam sudah menceritakan semuanya. "Kakakku, kakakku menolak perjodohan ini dan kabur dari rumah." Sam nampak menyesal dan menunjukkan simpatinya. Yara memaksakan seulas senyum yang jadi terlihat aneh sekali. "Kau tahu, kakakku sangat cantik dan sebagainya. Dia pintar dan pandai melakukan banyak hal, tidak seperti aku." Sam mengernyit. Yara mengalihkan pandangan. "Yah, pokoknya begitu lah... dan aku, aku memaklumi jika kau tidak menyukaiku atau bahkan membenciku. Karena aku sama sekali tak bisa dibandingkan dengan kakak." Sesaat Sam merasa seolah melihat bayangan dirinya dalam diri Yara. Kemudian sadar, rupanya mereka sama-sama memiliki masa yang sulit karena kakak mereka. "Tapi aku sama sekali tidak membencimu," ucap Sam sungguh-sungguh. Yara menatapnya untuk beberapa saat. Meski tak sepenuhnya ingin menerima ucapan Sam dengan begitu mudahnya, tapi ia akui ia tidak menemukan kebohongan dalam mata itu. Karena Yara diam saja Sam jadi bingung, mungkinkah kata-katanya salah? "Tidak, kau tidak menyukaiku," ucap Yara dengan wajah datar, ia kembali teringat pada saat Sam kecil yang mengatakan membenci dirinya. Dan kenangan itu mengembalikan kebencian Yara terhadapnya. Sam mengerjap heran. "Tapi-" "Ya, kau tidak menyukaiku. Kuduga bahkan kau tidak mengingatku." Sam tidak langsung menjawab, ia menatap mata Yara lurus-lurus berusaha mencari sesuatu dibaliknya. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah?" Ia bertanya dengan hati-hati. Yara tersenyum aneh sekali. "Entahlah, tiap orang memiliki pendapat yang berbeda kan." Sebelum Sam sempat bicara lagi ponselnya mendadak berdering dan ia tidak memiliki pilihan lain selain menjawab telepon dari pak Sao, sekretarisnya yang menjelaskan Sam sudah kehabisan waktu dan harus segera kembali ke kantor. Setelah selesai Sam memasukkan kembali ponselnya dan mendesah keras tanpa dimaksudkan begitu. "Maaf Yara aku-" "Ya, aku tahu," kata Yara tanpa memberi Sam kesempatan untuk menjelaskan. Ia sendiri bangun dan membenarkan posisi ranselnya. "Aku juga permisi kalau begitu." Sam ikut bangkit secepat kilat. "Yara kita harus membicarakan ini lain kali," ucap Sam, memohon. Yara berbalik acuh. "Ya, ya, terserah saja, tapi aku juga sibuk." Sam memandang kepergian Yara dengan perasaan terluka. Ia berpikir pada akhirnya mereka bisa menjadi dekat, ia tidak mengerti kenapa sikap Yara berubah tiba-tiba seperti itu lagi. Yah, pada akhirnya, sekali lagi, Sam menghabiskan sepanjang hari untuk menerka-nerka apa salah dirinya pada Yara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD