"Ayo, Sayang! Cepat! Kita nggak boleh terlambat!" ujar seorang perempuan berusia hampir tiga puluh tahunan sambil menggeret tangan seorang laki-laki yang baru keluar dari mobil. Bergegas keduanya berjalan menuju ke sebuah rumah besar nan megah dengan empat pilar penyangga yang berdiameter enam puluh sentimeter yang berada di depan—menyangga sebuah kanopi di atasnya—membuat rumah itu terlihat begitu mewah dari kejauhan dengan hiasan bunga-bunga perdu yang berada di kanan dan kiri. Dari dalam rumah, terdengar suara alunan musik yang cukup membahana, nada-nada yang dimainkan oleh full band orkestra terdengar begitu merdu.
"Musiknya sudah main, Sayang! Ayo, cepat!"
"Santai saja, di pesta mana pun selalu ada musik, 'kan?" sahut laki-laki yang berjalan beriringan di sebelahnya sambil menaiki anak tangga, menuju ke pintu utama rumah tersebut.
Felicia Eleora Suryodjatmiko memasuki ruang pesta tersebut sambil bergumam, "Nice! Preeta memang selalu perfect!" Perempuan itu tampak begitu mengagumi dekorasi pesta yang berisi rangkaian bunga-bunga segar beraneka warna yang diletakkan di setiap sudut-sudut dan tengah ruangan, membuat ruangan itu terlihat semakin menarik, simpel dan elegan. Itulah ciri khas Preeta, teman arisan sosialitanya yang suka sekali menyelenggarakan pesta-pesta semacam ini.
"Bagaimana, Sayang? Apa kamu suka dengan pestanya? Dekorasinya bagus, bukan?" tanya perempuan blasteran Indonesia-Belanda itu sambil melirik ke laki-laki yang berdiri di sebelahnya lalu menyapu tatapannya ke seluruh penjuru ruangan yang mewah dan meriah. Perempuan itu berdecak kagum sambil menggelanyut manja di lengan sang suami.
Di tengah ruangan tersaji berbagai macam makanan yang lezat yang diletakkan di atas meja panjang. Di pesta itu juga ada sekelompok musikus orkestra yang memainkan berbagai macam genre musik. Dengan balutan gaun panjang warna hijau botol, berleher Sabrina yang menempel di kulitnya yang putih, membuat perempuan penggila pesta ini terlihat semakin cantik, percaya diri dan angkuh. Keangkuhannya semakin terpancar, dengan hadirnya laki-laki yang berdiri di sebelahnya yang menyandang status sebagai suami.
Sang suami, Nagarjuna Evandaru Suryodjatmiko memang bukan orang biasa, pria tampan yang berasal dari trah Suryodjatmiko yang diwarisi dari kakek buyutnya ini, bukanlah trah sembarangan. Selain sebagai trah keluarga yang disegani, trah keluarga Suryodjatmiko juga termasuk trah kaum berada yang kekayaannya tidak akan habis untuk tujuh turunan. Juna adalah keturunan keempat bersama kakak dan adiknya. Laki-laki itu sendiri mengurusi salah satu anak perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan yang berada di bawah group The Java.
Sementara itu alunan musik band orkestra yang menghibur pesta amal malam itu, tampak jadi spot utama dan mampu mencuri perhatian para tamu undangan, selain sajian menu makanan yang tersaji di sana. Saat itu salah satu pemain musik di kelompok musik orkestra Swaranada yang dipimpin oleh Wibisana, tampak gelisah dan tidak nyaman di kursinya. Berulang kali perempuan itu berusaha menyamakan nada di biola yang dimainkan agar terdengar harmonis, meskipun kondisi tubuh menuntutnya untuk berhenti. Kemampuannya memainkan berbagai macam alat musik yang ditekuninya sejak kecil, membuat gadis ini ikut bergabung dengan kelompok musik orkestra Swaranada dengan memainkan alat musik biola.
"Mel, aku ke kamar mandi dulu yaa, kebelet nih!"
Nadine Diomira bergegas melesat pergi mencari kamar kecil ketika kelompok musik mereka sedang break atau istirahat sebentar, sementara Juna yang mulai bosan dengan suasana pesta amal itu, mencoba mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. "Fel, sampai kapan pestanya usai? Aku bosan, bagaimana kalau kita pulang saja?"
"Sabar, Sayang. Pestanya 'kan baru mulai! Nggak enak 'kan sama Preeta, kalau kita tiba-tiba pamit pulang. Ayo lah nikmati pestanya, kamu mau makan apalagi? Hmm …? Aku ambilkan, ya!" Felicia berusaha membujuk sang suami agar betah berada di pesta tersebut. Namun, laki-laki itu rasanya enggan untuk berlama-lama di sana, sebuah pesta yang membosankan baginya.
"Nggak! Aku nggak mau makan lagi, perutku sudah penuh, aku mau keluar dulu, mau cari udara segar!"
"Ya udah sana, tapi jangan lama-lama, ya! Aku tunggu di sini!"
Laki-laki itu bergegas keluar dari meriah dan hingar bingarnya pesta. Dia benar-benar bosan dengan pesta seperti ini. Namun, mau tak mau Juna harus selalu menikmati pesta semacam ini, sebagai bentuk rasa pedulinya ke istri, sementara itu Nadine sedang sibuk mencari-cari kamar mandi di rumah besar tersebut.
"Maaf, apa ada kamar mandi yang lain? Saya kebelet banget, nih! Kebetulan kamar mandi yang di bawah masih dipakai semua." Gadis itu benar-benar sudah tidak tahan menahan hajatnya, kalau dia tidak bisa menemukan kamar mandi lagi di rumah itu, mungkin bisa ngompol sambil berdiri.
"Oooh ada, kamu bisa pake kamar mandi atas. Di kamar atas, mari saya antar!" Nadine bergegas mengekor di belakang asisten rumah tangga Nyonya Preeta, menuju ke kamar yang berada di atas melalui anak tangga yang melingkar hingga ke atas. Begitu sampai di sana, asisten rumah tangga itu lalu membuka salah satu kamar, di antara kamar-kamar yang lain yang berjejer yang paling dekat dengan anak tangga tersebut. "Nah, silakan! Ini kamar mandinya, saya tinggal dulu, ya!"
"Terima kasih!"
Tanpa ba bi bu lagi, gadis itu segera masuk ke dalam kamar mandi tersebut, begitu sang asisten rumah tangga itu meninggalkannya. Setelah selesai, bergegas dia keluar dari kamar mandi mewah tersebut, dilihatnya kamar itu sangat luas, ukurannya pun mungkin kira-kira dua kali kamarnya di rumah. Sesaat dia mengagumi kamar yang bergaya Victorian, selera seni Nyonya Preeta memang sangat tinggi. Selain tempat tidur dan lemari yang besar, di sana juga terdapat sofa yang menghadap langsung ke arah balkon, perempuan muda itu jadi tertarik untuk melihat-lihat sebentar, suasana luar dari arah balkon.
Ketika lagi asyik-asyiknya melihat suasana luar di balkon, tiba-tiba dari arah dalam kamar terdengar ada dua orang yang masuk ke kamar itu. Gadis itu pun panik dan segera bersembunyi di balik pintu yang terbuka, menempel di tembok. Namun, kedua orang yang baru saja masuk ke dalam kamar tidak menyadari keberadaannya di sana, Nadine sendiri juga tidak tahu siapa dua orang yang sedang dimabuk asmara ini? Mereka berdua sedang asyik b******u mesra. Dari suara desahan dan erangannya, dia bisa merasakan kalau mereka berdua sedang memadu kasih satu sama lain dengan napas yang memburu.
"Buseet! Aku benar-benar berada di tempat yang salah dan waktu yang salah, bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini? Masa aku harus nungguin mereka yang lagi asyik-asyikkan di dalam? Oooh bisa-bisa aku mati berdiri di sini!" batinnya bingung dan gelisah. Diliriknya jam yang melingkar di tangan, sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sementara sayup-sayup terdengar suara musik orkestra kembali mengalun dari dalam rumah. "Yaa Tuhan, musik orkestranya sudah terdengar lagi! Mereka pasti nyari-nyari aku, mampus aku! Aku bisa kena marah Pak Bos nih! Aduuh gimana ini?"
Gadis itu jadi semakin panik. Namun, tidak tahu harus berbuat apa? Nadine berusaha berpikir keras untuk keluar dari tempat persembunyiannya itu, tiba-tiba dilihatnya batang pohon oak yang sedikit menjulur ke arah balkon kamar tersebut. Setelah diamati baik-baik, rupanya ada dua batang pohon yang menjulur ke arah balkon kamar, yaitu atas dan bawah.
"Kenapa nggak kepikiran dari tadi? Cabang pohon ini rasanya cukup kuat kalau aku pijak dan lagi aku bisa pegangan pada cabang pohon yang di atas, okee lah ... aku siap untuk turun, bismillah!" gumamnya optimis.
Bergegas dilepasnya sepatu high heels hitam yang melekat di kaki, lalu dijatuhkan ke bawah, hingga terdengar dentuman kecil di atas daun-daun kering yang berserakan di tanah. Sesaat gadis itu terdiam untuk melihat apakah ada reaksi dari dalam kamar, akibat ulahnya menjatuhkan high heels tadi? Ternyata kedua orang yang sedang dimabuk cinta itu benar-benar tidak peduli dengan lingkungan sekitar, mereka benar-benar sudah mabuk kepayang hingga tak menghiraukan apa ada orang yang melihat mereka atau tidak!
Nadine yang sejak kecil terbiasa naik pohon mangga di depan rumah, merasa asyik-asyik saja ketika dirinya mulai naik ke atas pagar balkon yang terbuat dari tembok. Perlahan-lahan kakinya mulai bergeser ke arah batang pohon oak tersebut dengan tangannya yang juga berpegangan pada batang pohon yang menjulur di atas kepala, sementara kakinya bergeser pelan-pelan di atas pohon oak itu. Hingga akhirnya dia bisa meluncur turun ke pusat cabang pohon tersebut. Namun, untuk turun sampai ke bawah masih sangat jauh.
Nadine melongok ke bawah, rasanya tidak mungkin dia harus terjun bebas ke bawah. "Aku ‘kan bukan seorang akrobatik?" batinnya cemas. Gadis itu kembali berpikir keras, bagaimana caranya dia bisa turun ke bawah dengan aman? Tepat pada saat itu dilihatnya ada seorang laki-laki yang sedang berjalan mondar-mandir di teras depan rumah tersebut. Laki-laki itu tak lain adalah Nagarjuna Evandaru yang merasa bosan dengan suasana pesta di dalam. Juna mencoba mencari suasana baru dengan melihat-lihat taman yang berada di teras depan yang dipenuhi beberapa mobil yang terparkir di sana.
"Hey! Kamu yang di situ, bisa minta tolong?" Nadine berusaha berteriak ke arah Juna. Namun, Juna hanya sayup-sayup mendengar teriakan minta tolong. Laki-laki itu hanya menoleh ke sana kemari untuk mencari dari mana arah suara tersebut. "Hey! Aku di sini, tolong dong!"
Nadine kembali berteriak minta tolong. Namun, lagi-lagi Juna belum bisa menemukan di mana sumber suara tersebut. Laki-laki itu jadi semakin penasaran karena malam-malam seperti ini, ada orang yang minta tolong, apa dia benar-benar orang atau bukan? Dia jadi semakin ingin tahu.
"Hey! Aku di sini di atas pohon, arah jam sepuluh dari tempatmu berdiri! Hey! Aku di sini! Lihat ke atas! Ke atas pohon!"
Nadine terus saja berteriak, berusaha memberikan petunjuk ke Juna agar melihat ke arahnya dengan melambai-lambaikan kedua tangan. Laki-laki itu pun menurut dan melihat ke atas pohon arah jam sepuluh, di mana ada pohon oak besar yang berdiri di sana. Saat dia mendongak ke atas, dilihatnya ada seorang perempuan sedang bertengger di atas batang pohon. Juna kaget lalu mendekat ke arah pohon tersebut, sambil berpikir, bagaimana bisa ada seorang perempuan yang nongkrong di atas pohon? Malam-malam lagi. Dia benar-benar orang atau peri?
"Hey! Kamu lihat apa? Awas! Jangan macam-macam yaa! Rok-ku ini memang pendek, kamu memang bisa dengan mudah melihat dari bawah sana, tapi jangan macam-macam, ya!"
Nadine sadar kalau rok plisket warna maroon yang dikenakannya hanya sebatas lutut, jadi siapa pun yang berada di bawah sana pasti bisa melihat isi di dalamnya dengan mudah, tapi dia tidak mau ambil pusing, yang penting bisa turun kebawah dengan selamat.
"Bagaimana bisa kamu berada di situ?"
Juna tidak menghiraukan ucapan Nadine, dia hanya merasa heran bagaimana bisa seorang perempuan ada di atas batang pohon tersebut, padahal pohon itu sangat tinggi sekali, kurang lebih tiga kali tubuhnya yang jangkung.
"Ceritanya panjang, nanti aku ceritain! Tapi ngomong-ngomong apa kamu bisa nolongin aku turun atau membiarkan aku sampai pagi di sini?" tanya Nadine sambil memperhatikan laki-laki itu dari atas sana. Dia merasa kalau laki-laki ini bukan orang sembarangan, dari caranya berpenampilan, bisa terlihat kalau dia salah satu kaum The have.
"Ya iyalah, kaum the have! Pesta ini ‘kan diadakan oleh kaum The have, bodoh banget sih kamu, Nad! Semua orang yang ada di dalam sana juga kaum The have semua !" rutuknya dalam hati. "Tapi kalau diperhatikan lebih saksama, cowok ini cakep juga, lebih tepatnya tampan plus ganteng, wuiiih ... banyak banget aku mujinya?"
"Ya sudah, kamu bisa lompat, ‘kan? Aku akan menangkapmu di bawah sini, begitu aku selesai memberikan aba-aba, kamu bisa lompat turun, siap?" Suara Juna membuyarkan lamunannya sesaat tentang laki-laki ini, kemudian dia mengangguk mengiakan ucapannya.
"Okee! Aku siap! Siapa yang beri aba-aba, aku atau kamu? Kamu aja, ya!"
Nadine lalu bersiap-siap untuk lompat ke bawah, Juna yang berada di bawah kemudian memberikan aba-aba sambil memposisikan tangannya untuk menangkap gadis itu. Begitu pria itu selesai memberikan aba-aba, tiba-tiba suara benda berat terdengar jatuh ke tanah. Gadis itu bukannya sukses lompat ke dalam pelukkan Juna. Namun, malah menindih tubuh pria itu, sehingga tubuhnya persis berada tepat di atas tubuh sang penyelamat. Laki-laki itu merintih kesakitan, semua tubuhnya serasa remuk dan hidungnya pun sakit.
"Benar ‘kan cowok ini memang ganteng! Tepat dugaanku, kalau dilihat lebih dekat seperti ini, dia memang benar-benar tampan, siapa ya, namanya?" Nadine bukannya buru-buru bangun dari atas tubuh penolongnya, tapi malah mengagumi wajah laki-laki itu yang tampan. Bibirnya yang berwarna merah muda tampak serasi dengan kumisnya yang tipis yang menghiasi kulitnya yang putih dengan sedikit jambang halus mengitari rahang. "Benar-benar sebuah pahatan yang maha sempurna," batinnya kagum.
"Bisakah kamu berdiri? Tubuhmu menindih tubuhku ...." Suara Juna yang sedikit serak dan terbata-bata, langsung membuyarkan lamunannya kembali. Nadine baru sadar kalau tubuhnya berada tepat di atas tubuh pria tampan itu.
"Ooh ... maaf, maaf! Aku nggak sengaja, maaf -maaf ... sakit, ya?"
Gadis itu segera bangun lalu mencoba menolong super hero penolongnya untuk bangun sambil terus meminta maaf, sementara Juna hanya bisa meringis kesakitan sambil bangun dari posisinya yang telentang di tanah yang dipenuhi rumput dan daun-daun kering yang berserakan. Perempuan itu lalu berlari ke samping pohon untuk mengambil sepatu high heels-nya yang tergeletak pasrah di sana dan kembali ke tempat pria itu berdiri yang saat itu sedang mengusap-usap hidungnya dengan saputangan, rupanya hidungnya berdarah.
"Hidung kamu berdarah! Kamu harus ke rumah sakit, ayo aku antar kamu ke rumah sakit! Ayo ... ayo!"
Laki-laki menggeleng sambil mengusap hidungnya. "Nggak, nggak usah! Nggak apa-apa, aku nggak apa-apa, it's okay!"
"Nggak bisa! Kamu itu kenapa-kenapa, hidung kamu itu berdarah! You're bleeding! Sudah nurut aja sama aku, aku harus tanggung jawab sama kamu, karena aku yang bikin kamu begini, ayo ... cepet!" Akhirnya mau tak mau, Juna mengikuti saran Nadine untuk ikut dengannya ke rumah sakit karena bagaimanapun juga, luka di hidungnya benar-benar sakit dan perempuan ini sepertinya merasa sangat bersalah dan bertanggung jawab. "Biar cepet, bagaimana kalau pakai mobilmu saja? Kamu bawa mobil, ‘kan? Sebenarnya aku juga bawa mobil, cuma aku harus masuk ke dalam untuk ngambil kuncinya, jadi yang mana mobilmu? Biar aku saja yang nyetir!"
Nadine berlari-lari kecil tanpa alas kaki mencari-cari mobil Juna sambil menjinjing high heels kesayangannya. Pria itu lalu memencet kunci mobilnya, hingga mobil Maserati hitamnya berbunyi beep dan lampunya pun menyala, ketika mereka sudah tiba di parkiran mobil. Nadine lalu menyuruh penyelamatnya untuk duduk di sebelah bangku setir, sementara dia duduk di bangku setir dan tak lama kemudian mereka berdua sudah melesat pergi dari rumah itu menuju ke rumah sakit.
***
Di rumah sakit, Nadine hanya bisa berjalan bolak-balik dengan perasaan gelisah sambil menunggu sang penolong yang ternyata luka di hidungnya harus dijahit. Gadis itu jadi semakin merasa bersalah, dia merasa harus bertanggung jawab atas semua yang telah dilakukannya ke pria yang telah menyelamatkannya itu.