Tiga Minggu

1244 Words
Pasangan tak hanya membutuhkan cinta dan kasih sayang tapi juga waktu. Maka luangkanlah waktumu walaupun hanya sebentar, untuk bisa pergi bersama. Seperti hari ini, mereka akan pergi bersama ke rumah sakit. Sebelumnya, Angga sudah membuat janji terlebih dahulu bersama dokter kandungan yang ternyata adalah sahabat sejawatnya juga. Ia sengaja mengatur waktu lebih dulu agar ketika sampai di rumah sakit tak harus menunggu waktu lama lagi. Awalnya, Ai itu menolak dan bicara jangan memanfaatkan sebuah pertemanan untuk kepentingan sendiri, namun Angga jelaskan pada istrinya bahwa saat ini kepentingannya adalah antara dokter dan pasien. Lagi pula, yang membuat janji terlebih dahulu itu pasti banyak dan alasannya sama agar tidak terlalu menunggu lama. Lagi pula, Dokter Adi tak keberatan terlebih lagi sahabat sejawatnya yang datang untuk memeriksakan calon buah hatinya. Malah, beliau menyambutnya dengan sangat baik karena ikut senang mendengar kebahagiaan yang hadir dari sahabatnya itu. Adi Sunjaya adalah salah satu sahabat jaman masa kuliah dulu. Mereka kuliah di dalam satu universitas yang sama hanya saja setelah lulus S1 keduanya terpisah untuk mengambil spesialis. Angga mengambil prodi Dokter Spesialis Anak, sedangkan Adi mengambil prodi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi atau bahasa gampangnya SpOG. Mobil Angga melaju dengan kecepatan sedang dan tak butuh waktu lama mereka sampai di pelataran rumah sakit. Mereka berempat keluar dari mobil secara bersamaan dan berjalan santai menuju ruangan Dokter Adi. Karena situasinya masih sepi, jadi tanpa menunggu lagi Ai dan yang lainnya di persilahkan masuk untuk melakukan usg. Dengan wajah penuh gembira kedua sahabatnya itu ikut masuk ke dalam ruangan. Ai langsung merebahkan tubuhnya di brankar rumah sakit dan Dokter Adi langsung memeriksannya. "Silahkan Ibu Ai, nanti dibantu asisten saya." Ai mengangguk, entah kenapa hatinya merasa takut bercampur bahagia. Sholawat tak pernah lepas dari hatinya. "Bagus ya, sudah terlihat kantungnya. Dan perkembangannya bagus," ucap Adi sambil memperhatikan monitor di atas mereka. "Makannya dijaga ya, Bu. Jangan lupa buah-buahan dan vitaminnya juga." "Sebelumnya, ada riwayat keguguran ya?" "Iya, Dok." "Baik. Kalau begitu, diusahakan Bu Ai untuk tidak melakukan hal yang berat ya. Untuk sementara waktu bedrest dulu hingga kandungannya kuat. Sebab, ada riwayat keguguran jadi khawatir jika nanti terlalu capek dan melakukan hal-hal yang berat justru akan berpengaruh pada janin." "Tuh 'kan, Ai! Makanya nurut!" sergah Ama tiba-tiba. "Hus, Ama, diam! Belum selesai diperiksa itu!" tegur Mimi. "Iya, Kak. Gak pa-pa, biar pikiran Ai itu terbuka bahwa memang kondisi dia tidak baik-baik saja seperti sebelumnya." "Iya, udah, diem!" "Rajin minum air putih ya," ucap Adi mengakhiri pemeriksaan. Ai dibantu turun dan kembali duduk di tempatnya. "Jadi semua normal, Di?" "Alhamdulillah, normal Angga. Kandungannya sudah masuk minggu ke tiga. Harus benar-benar dijaga dan tidak boleh sedikit pun capek, sebab ada riwayat keguguran dan khawatir akan mempengaruhi janin nantinya. Ya pokoknya, kamu tahu yang baik untuk anak dan istrimu." "Makasih ya, Di." "Sama-sama, Angga. Dan satu lagi, jangan kaget jika nanti melihat perubahan hormon Ibu hamil apalagi moodnya bisa naik turun, jadi buatlah selalu bahagia agar anak dan ibunya juga bahagia." "Baik, Adi." Mereka bertiga masih terlihat obrolan, Ai hanya diam memperhatikan ketiga orang yang sangat menyayanginya itu bertanya saling bergantian. Namun pikirannya Ai tiba-tiba melalang buana. Ia mencoba mengingat kembali kapan terakhir datang bulan dan sepertinya memang sudah hampir satu bulan tak juga kunjung datang bulan. Ia tersenyum lalu mengusap lembut perutnya sambil berdoa. Semoga kamu tumbuh kembang menjadi anak yang baik ya, Nak. Anak yang sholeh dan sholehah. Bantu Amih ya, Nak. Bantu Amih agar selalu menjagamu dengan baik. Kita berjuang bersama ya, Nak. Bismillah, kebahagiaan kita sudah berada di depan mata, ucapnya dalam hati. Tenang ya, Nak. Tenang di dalam rahim Amih, bertahan dan kuat ya, Nak. Lahirlah dengan sehat, Nak. Kau adalah pelipur lara Amih setelah kedua kakakmu yang sudah lebih dulu tak ada. Bantu Amih agar bisa menjagamu selama sembilan bulan dan melahirkan dengan tenang, senang dan bahagia. Ayo utun, Sayang. Kita berjuang! ucapnya menyemangati diri sendiri. Mereka bertiga seperti tak puas bertanya karena terus-menerus memberi pertanyaan pada Adi. Tapi dengan sabar, dokter itu menjawab semua pertanyaan si kembar bahkan pertanyaan tidak masuk akal juga ditanyakan. Jelas-jelas kandungan masih berumur tiga minggu, tapi mereka memberi pertanyaan yang bikin Ai menggelengkan kepala. "Kira-kira jenis kelaminnya apa, Dok?" tanya Ama polos. "Belum tahu, karena masih tiga minggu baru ada kantongnya saja. Nanti jika ingin mengetahui jenis kehamilannya itu saat usia kandungan masuk delapan belas minggu sampai dua puluh satu minggu. Tapi, itu juga belum tentu terlihat, sebab melihat posisi janinnya. Apakah janinnya ingin memperlihatkan atau justru malu dan akan memberi kejutan nantinya." "Delapan belas minggu sampai dua puluh satu minggu itu kira-kira berapa bulan, Dok?" tanya Ama lagi. "Kurang lebih usia kandungan empat menuju lima bulan." "Wah, sepertinya biar afdol kita harus bawa Ai kontrol dan usg setiap bulan, nih," seloroh Mimi. "Boleh. Itu lebih baik, jadi kita bisa benar-benar bisa mengikuti perkembangannya." "Kalau begitu, nanti kami akan ingatkan tiap bulan ya, Angga!" "Iya, boleh." "Angga, kalau kamu ingin jenis kelaminnya apa?" "Apa saja, Mimi. Perempuan atau laki-laki tidak jadi masalah, yang terpenting bayi dan ibunya sehat juga bahagia." "Ah, Angga gak asik! Ini 'kan lagi tebak-tebakkan!" seloroh Ama. "Iya memang! Nyebelin!" sungut Mimi. "Ya benar dong, Kak! Perempuan atau laki-laki sama saja, yang penting sehat. Syukur Alhamdulillah jika nanti ternyata kembar laki-laki dan perempuan. Adil deh, kalian gak akan berdebat lagi masalah jenis kelamin," sahut Ai. Si kembar masih benar-benar belum puas dengan jawaban pasangan suami istri itu. Keduanya hanya menanggapi dengan memutar bola matanya malas. Ai dan Angga hanya menggelengkan kepala saja. Mereka sudah cukup lama berada di dalam dan bertanya macam-macam. Angga mengajak mereka untuk keluar karena kasihan jika pasien yang lain sudah datang dan menunggu lama. "Sudah, ayo! Pasiennya pasti banyak, jangan membuang waktu Dokter Adi. Kita keluar sekarang," ajak Angga. "Makasih ya, Di. Kami permisi." "Iya sama-sama." "Sampai bertemu dalam pertemuan selanjutnya, Dok," ucap Mimi lalu mereka melangkah keluar dari ruangan setelah membuat kekacauan dan huru hara di dalamnya. *** Mereka duduk lebih dulu sambil menunggu obat dan vitamin yang sudah diresepkan oleh Adi. Mimi menyuruh Adi yang pergi menebus obat sedangkan si kembar yang menjaga Ai. Tanpa berdebat, lelaki itu melangkah pasti ke salah satu tempat pengambilan obat. Beberapa perawat dan teman sejawat menyapanya dan sekedar basa-basi menanyakan keberadaan Angga padahal ia sedang lepas dinas. Dengan penuh bahagia, ia memberitahu bahwa istrinya saat ini tengah mengandung. Dari jauh ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-gerik Angga dan menguping pembicaraannya dengan beberapa teman sejawatnya itu. Hatinya terasa sesak dan panas, ia tak terima dengan kebahagiaan yang hadir di dalam hidup Angga. Dendam di dalam hatinya membara seperti kobaran api. Melihat Angga berlalu dari hadapan teman-temannya, ia keluar dari tempat persembunyian dan berjalan hingga mereka berpapasan. Angga tak menyadari seseorang itu, tiba-tiba saat mereka sudah dekat, seseorang itu pura-pura terpeleset hingga Angga refleks menolong tapi dalam keadaan memeluk. Seseorang lainnya yang memang sudah diperintahkan langsung mengambil beberapa gambar mereka berdua seakan-akan memang sengaja berpelukan. Seseorang itu pun sengaja memeluk Angga erat dengan alasan takut jatuh, padahal ia justru menghirup dalam-dalam aroma tubuh lelaki muda itu. Ia merindukan pelukan erat dan juga aroma tubuh Angga yang selalu menjadi candu baginya, dulu. Sekarang, ia seakan ingin menuntaskan sakaunya terhadap aroma tubuh Angga yang menjadi candu baginya. Ia masih memeluknya namun Angga berusaha melepaskannya dengan paksa. Mau tidak mau, pelukan itu terlepas. "Maaf," ucapnya lembut bahkan terkesan dibuat-buat. "Iya gak pa-pa," ucap Angga membantu ia berdiri dengan benar dan belum menyadari siapa gerangan yang ada di hadapannya itu. "Kamu," ucap mereka bersamaan saat menyadari siapa yang berada di hadapan mereka semua saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD