Kebucinan Yang Hakiki

1008 Words
Pasangan suami istri sudah bersiap dan senyum indah terpancar dari keduanya. Bahagia terukir indah dalam hidup mereka. Angga mempersiapkan apa saja yang diperlukannya nanti, setelah siap ia memeluk istrinya yang masih menautkan diri di hadapan cermin. "Sudah cantik istriku." "Pih, jika nanti aku hamil besar dan badan berubah jadi gendut, apa kau masih tetap menyayangi dan mencintaiku seperti ini?" "Jelas! Tubuhmu berubah itu karena aku, karena sudah melahirkan anak-anak kita kelak. Kenapa kamu berbicara seperti itu, Mih? Seharusnya, kita menyambut bahagia kedatangan calon bayi, kita." "Bukan, bukan maksud tak bahagia. Hanya penasaran saja, apa Apih tetap bertahan dan setia pada Amih atau justru sebaliknya." "Sudah, ah. Tak usah memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi! Itu gak baik! Bisa mempengaruhi pikiran buruk agar naik ke dasar pikiran kita lalu menciptakan sesuatu yang buruk." "Maaf ya, Pih. Mungkin ini pengaruh hamil, jadi pertanyaan yang muncul justru aneh-aneh." "Iya gak pa-pa, Sayang. Apih maklumi, tapi jangan diulang lagi, ya. Apih gak suka mendengarnya karena sampai kapanpun tak akan pernah punya niat untuk meninggalkanmu, Mih." "Makasih, Pih. Makasih karena sudah menerima segala kekurangan aku tapi kau jadikan semuanya menjadi kelebihan." "Sama-sama, Sayang. Sudah, jangan berpikir macam-macam ya, kasihan adik bayinya. "Sudah selesai siap-siapnya?" "Sebentar lagi." "Baik." Di kamar si Kembar, mereka juga tengah bersiap-siap. Mereka berdua akan ikut serta untuk melihat keponakan barunya. Rasanya tak sabar sekali untuk segera usg dan melihat perkembangan calon janin. "Kak, sungguh aku merasa tak sabar untuk melihat calon janin, Ai." "Iya, sama kakak juga. Semoga kehamilannya yang sekarang baik-baik saja, mendatangkan keberkahan dan kedamaian di setiap waktu ya, Ama." "Aamiin ya Rabb. Semoga kehamilan Ai yang sekarang kuat dan dirinya juga semakin kuat." "Pokoknya, doa terbaik kita panjatkan untuknya." "Iya, Kak." "Sudah selesai belum?" "Sudah. Ayo kita keluar." Si kembar melangkah bersama keluar dari dalam kamar, namun nahas. Baru saja keluar kamar eh sudah disuguhkan pemandangan yang menyesakkan d**a. Mereka hanya menggelengkan kepala saja melihat kebucinan pasangan suami istri itu. Dimanapun dan kapanpun, bergandengan tangan seakan tak boleh terlupakan oleh mereka berdua. Ya, seperti sekarang ini. Keluar dari kamar dengan kemesraan yang membuat si kembar keki. Mereka keluar kamar dengan tangan Angga melingkar di pinggang Ai dengan sangat posesif. "Masih dalam rumah! Bisakan kalian berdua tak mengobral kebuncinan yang hakiki di hadapan kami berdua?" sungut Mimi. "Sungguh, kalian membuat hati kami para jomblo meronta-ronta karena geli melihat kebucinan kalian!" sahut Ama. "Eh? Kalian sudah siap rupanya," jawab Angga santai. "Kalian ini, begitu saja baper! Makanya punya pasangan, dong!" ledek Ai. "Ya nanti punya pasangan tapi gak mau sebucin kalian, ah!" sahut Ama. "Lah? Kenapa memangnya kak Ama?" "Karena kebucinan kalian membuatku jengah hu hu hu," jawabnya mendramatisir. Menyebalkan memang, tapi ucapan polosnya itu justru membuat pasangan suami istri tertawa. "Jangan tertawa! Karena tak ada yang lucu, Ai, Angga!" sungut Ama. "Hahaha, maaf, Kak. Maaf ya, aku refleks ketawa. Kak Ama lucu sekali, jadi kami tertawa," jawab Ai. "Sudah kubilang, kau tidak akan pernah menang melawan mereka Ama! Sudah, terima takdir saja lebih baik!" "Sudah ayo kita berangkat," ajak Angga. Mereka mengangguk setuju, melangkah dengan pasti menuju parkiran tapi bertepatan dengan suara adzan maghrib berkumandang. Langkah mereka terhenti dan kembali duduk terlebih dahulu di ruang tamu. Mendengarkan adzan maghrib yang terdengar sangat syahdu. "Shalat dulu saja kali, ya. Biar gak keburu-buru nantinya. Lagi pula, belum tahu juga apa bisa dilakukan tindakan cepat atau tidak. Ayo kita shalat dulu," ajak Ai. "Apih sudah mendaftarkan lebih dulu sih, sebenarnya. Jadi, kalau kemungkinan tindakannya lama itu tidak mungkin." "Tapi, ya lebih baik shalat dulu deh agar hati kita tenang dan tidak buru-buru," lanjut Angga. "Ya sudah, ayo," jawab Mimi. "Ama tunggu di sini ya, gak bisa ikut shalat." "Oke deh." Mereka bertiga kembali lagi masuk ke dalam inti kamar mereka. Mbok sudah lebih dulu menyelesaikan shalat maghribnya dan berjalan menuju ruang tamu untuk menemani Ama. "Non, mau pada kemana, memang?" "Loh? Memangnya Mbok gak tahu?" Ia menggeleng lemah. "Kalau Mbok tahu, ngapain tanya 'kan?" "Oh iya juga ya, hehehe. Mau ke klinik, periksa kehamilan Ai." "Klinik atau rumah sakit, Non?" "Eh? Ya gak tshu denk, pokoknya antara kedua itu." "Ya sudah, hati-hati kalau begitu." "Iya, Mbok. Mbok mau ikut?" "Gak ah. Di rumah saja, nanti Mbok tunggu kabar baik dari kalian sana ya. Semoga anak dan Amihnya sehat." "Aamiin, Mbok." Mereka bertiga sudah selesai shalat maghrib berjamaah langsung melangkah kembali menuju ruang tamu dan berpamitan dengan Mbok lalu bergegas keluar rumah. Lagi, pasangan suami istri benar-benar bucinnya sangat luar biasa. Ama dan Mimi sampai tak habis pikir dengan keduanya. "Rangkul terus! Merangkul terus, takut tubuh istrinya melayang-layang di udara," seloroh Ama. Angga yang di sindir seperti itu justru semakin mengeratkan rangkulannya bahkan tangannya pindah ke pinggang dan menarik istrinya agar mereka jalan berdampingan. "Ya Allah, bukannya dilepas malah pindah ke pinggang!" seu Ama menepuk keningnya pelan. "Pegangan terus, jalan raya masih jauh Bapak, Ibu. Perhatiannya untuk tidak selalu berpegangan tangan di depan jomblo, sungguh itu sangat membuat gerah!" kelakar Mimi. "Kalian ini, kenapa, sih? Syirik saja!" jawab Ai memutar bola matanya malas. "Huh! Bukan syirik," celetuk Mimi. "Lalu, apa namanya kalau bukan syirk?" "Jengah!" sahut keduanya. Angga hanya menggelengkan kepala saja melihat ketiga wanita itu berdebat hal yang tak penting. Jika dibiarkan saja maka akan semakin panjang dan semakin lama saja mereka untuk kontrol kandungan. "Masih mau berdebat? Lalu kapan jalannya?" tanya Angga berkacak pinggang. "Sudah ayo, Pih! Kita pergi, tinggalkan saja si kembar kalau masih iri dengan kebucinann kita." Ai ngeluyur pergi. "Huuh! Aina!! Untung saja, Sayang!!" pekik Mimi yang berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya kasar. "Iya, Kak! Untung Sayang ya." "Sayang banget malah ya, Ama!" Ama mengangguk seraya menyetujui ucapan Mimi. Mereka bergegas masuk ke dalam mobil. Lagi, mereka menggunakan satu mobil agar lebih cepat dan tidak buang-buang waktu. Lagi, si kembar harus menerimanya, menerima hati mereka akan selalu gonjang-ganjing melihat kemesraan Ai dan Angga yang setiap waktu selalu ditunjukkan. Pokoknya, mereka itu merasa dunia hanya milik mereka berdua dan yang lain ngontrak. Untuk duduk saja, Angga selalu saja berceloteh untuk hati-hati dan sebagainya. Jiwa jomblo meronta-ronta melihat pasangan itu. Mobil melesat meninggalkan rumah sederhana namun sangat menenangkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD