Sorot Sinis

1284 Words
Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu dan tak akan pernah menjadi masa depan. Jadikan masa lalu sebagai pelajaran berharga dalam hidup itu lebih baik. Membuang masa lalu dan mulai dengan kegiatan berbelanja pagi menjelang siang walaupun Ai bosan, sebab suami dan kakaknya itu benar-benar tidak memperbolehkannya untuk membawa barang-barang. Bahkan, beberapa kali saat melewati tempat duduk, Ai diminta untuk duduk agar tidak terlalu capek. Ai merasa mereka itu sungguh lebay. Capek darimana? Orang dari tadi kerjaannya hanya duduk saja. Ambil beberapa keperluan, entah suami atau kakaknya itu langsung ambil alih. Merasa tak bisa berbuat apa-pa, Ai berjalan-jalan sendiri mencari sesuatu yang menggugah seleranya. Ia memilih beberapa cemilan untuk persediaan di rumah. Cemilan untuk menemani rasa bosannya. Brukkk. Ai tak sengaja bertabrakan dengan seorang wanita cantik namun kekurangan bahan. "Maaf, Mbak." "Oh iya gak pa-pa. Aku juga minta maaf, karena gak lihat-lihat jalannya." "Gak pa-pa, Mba." "Mari, Mbak," pamit sesembak itu. Ai mengangguk dan kembali memilih beberapa makanan lainnya. "Ya ampun, bumil! Di cari-cari eh ternyata dia asik di sini. Pilih-pilih apa, Sayang?" "Apih! Bikin kaget saja, sih!" "Maaf, hehe. Cari apa?" "Cemilan. Boleh, 'kan?" "Hm … boleh … tapi gak boleh terlalu banyak ya." "Baiklah. Makasih, Apih." "Sama-sama, Sayangku." Selesai memilih cemilan, pasangan suami istri itu mencari dimana keberadaan si kembar. Ternyata kedua gadis itu masih memilih buah, luar biasa sekali buah yang dibeli begitu banyak. Ai menggelengkan kepala aja, berpikir siapa yang akan menghabiskan semua makanan itu. "Sayang, duduk di sini dulu ya." "Iya, Pih." Ya Allah, terimakasih atas kado terindah yang diberikan untukku. Sungguh, aku sangat bahagia memiliki suami yang luar biasa siaganya. Dia menyayangiku dengan tulus dan penuh perhatian. Semoga selalu seperti ini, untuk sekarang, esok, lusa dan selamanya, doa Aina dalam hati. Kesakitan di masa lalu, Engkau ganti dengan kebahagiaan yang melimpah. Aku sungguh sangat merasa bahagia saat ini. Semoga kedepannya kebahagiaan ini terus mengalir dan tak pernah berhenti karena sesuatu hal, harapannya lagi. Nak, lihat sayang. Itu Apihmu sangat menyayangi Amih. Sudah pasti Apihmu juga sangat menyayangi dan mencintaimu, Nak. Bahkan mungkin nanti sayang dan cintanya akan lebih ke kamu. Cepat tubuh besar dan sehat ya, Nak. Amih dan Apih menunggumu, gumam Aina mengelus perutnya yang masih rata. "Bumil, habis kemana?" tanya Ama. "Jajan, Kak." "Jangan banyak jajanan gak sehat! Pokoknya sekarang kurangi makanan tidak sehatnya. Ini kami beli banyak makanan sehat, tunggu sini ya. Masih ada yang mau kami beli," ucap Mimi melenggang pergi bersama Ama meninggalkan Ai yang masih melongo karena ucapannya. "Loh? Si kembar kemana lagi?" "Mih, hei?" panggil suaminya. "Amih ... Kenapa sayang? Amih melamun?" "Hah? Gak, Pih." "Yakin?" "Iya, Sayang. Aku sedang merasa sangat bahagia saja, di amanahkan anak dan suami yang luar biasa baik. Lalu orang-orang di sekitar yang sangat menyayangiku dengan sepenuh hati." "Apih yang lebih sangat bahagia. Memiliki kalian adalah anugerah yang sangat luar biasa. Kalian adalah harta, kehidupan dan kebahagiaan, Apih. Maka dari itu, Apih akan selalu berusaha untuk membuat kalian tersenyum dan bahagia. Janji Apih sebagai seorang suami dan calon orang tua, akan membuat kalian selalu bahagia tanpa pernah sedikitpun memberikan duka dan kekecewaan." Sederhana, bukan? Ya, jelas! Bahagia itu sungguh cukup sederhana sekali. Saling mencintai dan menyayangi sayu sama lainnya sudah cukup membuat bahagia. Saling mengerti dan mendukung satu sama lainnya juga sudah cukup bahagia. Bagi Ai, kehadiran Angga dan buah hati mereka sudah cukup membuat hidupnya penuh warna. Warna-warni kehidupan mulai ia rasakan, tangis haru bahagia sebentar lagi akan selalu menghiasi hari-hari mereka. Dulu, sebelum menikah Angga pernah berjanji akan menjaga Ai dengan segenap hati dan jiwa raganya. Sekarang, prioritas utamanya adalah keluarga. Keluarga kecil yang akan menambah anggota baru, malaikat bagi keluarga harmonis ini. Malaikat kecil yang akan menghiasi hari-hari mereka semakin indah dan bermakna. Mereka berjalan sambil bercanda dan tanpa menyadari dari arah lawan ada juga yang berjalan tanpa melihat di depannya. Ai kembali bertabrakan dengan sesembak, ia hampir saja terhuyung ke belakang dan Angga sigap menahan tubuh istrinya agar tak terjatuh. Ia langsung menoleh dan menatap tajam pada sesembak itu, namun seketika tatapan tajamnya itu berubah menjadi terkejut. Angga kembali mengalihkan pandangan pada sang istri. "Sayang, gak pa-pa? Ada yang sakit?" tanya Angga khawatir. "Gak ada, Pih. Aku cuman kaget, kok. Tenang ya," ucap Ai tulus mengusap lembut punggung tangannya. "Ma-maaf," ucap seseorang yang bertabrakan dengan mereka. "Oh tidak apa-apa. Mbaknya gak pa-pa?" tanya Ai khawatir. Ai mengerutkan dahi saat melihat sesembak itu menatap lekat suaminya. Ada rasa bingung dan penasaran, ia bertanya-tanya apakah keduanya saling kenal. "Mbak? Mbaknya gak pa-pa?" tanya Ai lagi melambaikan tangan tepat di wajahnya. "Ah, iya. Gak pa-pa, sekali lagi aku minta maaf ya. Aku lagi buru-buru, mari," pamitnya meninggalkan Ai yang merasa bingung, tapi berbeda dengan Angga raut keterkejutan sangat terlihat jelas. "Angga," gumam sesembak itu dengan suara yang sangat pelan hingga hanya dia saja yang mendengarnya. "Pih, kenapa?" "Hah? Kenapa apanya, Mih?" "Kok mendadak diam?" tanya Ai penuh curiga. "Ah gak pa-pa. Aneh aja, dia kok langsung pergi pas ditanya." "Iya ya, Pih, wanita aneh! Diajak ngobrol, malah ngeluyur pergi! Ah, manusia jaman sekarang kadang sudah hilang adab sopan santunya ya, Pih." "Iya, Mih. Sudah ah, tidak usah diambil pusing. Ayo kita jalan lagi, cari kemana kedua kakakmu itu pergi. Sejak tadi, gak selesai-selesai berbelanja. Heran! Sebenarnya belanja apa mereka selama ini!" "Haha, sabar ya, Pih. Harap maklum, mereka memang begitu kalau belanja, lama!" Mereka kembali melangkah sambil bergandengan tangan dengan mata yang meneliti setiap sudut swalayan tersebut untuk mengetahui dimana keberadaan si kembar. Tapi, tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang memperhatikannya dari jauh. Sorot mata kedua pasang mata terlihat sinis dan tak suka, mereka mengepalkan kedua tangannya seakan tak terima dengan senyum yang terpancar dari pasangan suami istri itu. Angga dan Ai melihat si kembar dari jauh dengan segala macam barang. Angga hanya menggelengkan kepala saja, si kembar mempercepat langkah mereka sambil tersenyum mendekati Angga dan Ai. "Astaghfirullah … kalian belanja macam apaan, ini?" pekik Angga. "Eh? Haha. Lah, ini 'kan buat Ai juga, Angga! Kamu 'kan uangnya banyak, jangan pelit, lah!" "Loh … loh … aku bukan pelit! Belanjaan dua kali lipat dari ini juga aku sanggup. Tapi, pertanyaannya adalah apakah harus sebanyak ini?" "Harus!" jawab mereka serempak. "Siapa yang akan menghabiskan?" "Ai!" "Gila! Masa iya aku menghabiskan semua ini, Kak! Bisa mendadak gendut aku nanti, ya Allah, Kak." "Ai, kamu itu harus banyak makanan bergizi! Sudah nurut saja," balas Ama. "Sudahlah, Mih! Percuma debat sama mereka! Gak akan menang!" "Ya sudahlah, Pih!" Si kembar hanya nyengir saja, Ai hanya menggelengkan kepala saja. Selesai berbelanja mereka segera pulang ke rumah, karena nanti sore akan kontrol ke dokter kandungan. "Nanti sore jadi, Pih?" "Mau kemana?" tanya Mimi kepo. "Ke Dokter kandungan, Kak." "Angga, ikut ya," pinta Ama tiba-tiba. "Kemana?" tanyanya polos "Ya ke dokter kandunganlah! Gimana sih, kamu!" sergah Mimi. "Gak usah!" tolaknya. "Loh kenapa? Kamu pelit banget, sih!" "Nanti kalian itu ribet! Mengganggu juga pastinya!" "Gak!" jawab mereka serempak. "Kami janji gak akan ribet, gak akan ganggu! Boleh ya, Angga? Please," mohon Ama. "Boleh ya, Angga. Kami ingin tahu perkembangan calon ponakan kami. Boleh ya! Jangan pelit! Angga 'kan baik," rayu Mimi. "Dilarang juga percuma, 'kan? Kalian akan tetap maksa ikut. Lalu untuk apa minta izin?" jawab Angga datar. "Pokoknya kami janji tidak akan merepotkan atau sebagainya. Iya 'kan, Kak?" "Iya, Ama. Jadi boleh 'kan, Angga?" "Heum." "Ye! Makasih, Angga!" teriak mereka histeris. Ah, percuma juga melarang kedua gadis itu, mereka akan tetap memaksakan keinginan mereka. Pokoknya, kedua gadis itu selalu punya seribu satu cara untuk bisa merayu Angga agar diizinkan untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan Ai. Mobil melaju pesat menuju ke rumah, sesampainya di rumah, Mbok langsung membantu membawakan barang-barang. Mbok sempat terkejut karena melihat belanjaan yang super duper banyak itu. Mbok sampai melongo dan menggelengkan kepala saja melihat semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD