Olivia duduk di sebuah kursi di balik tembok sambil menyilangkan kaki dan melipat tangan di depan d**a. Dia dapat mendengar semua percakapan di luar walaupun agak samar dan itu membuat hatinya mendidih setiap kali mantan suaminya itu membuka mulut.
"Pria br*ngsek, wanita jal*ng! Sial banget ketemu mereka di sini," umpat Olivia tanpa bisa dia tahan. Ia menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
Ting!
Di tengah suasana yang masih panas membara, ponsel Olivia berbunyi hingga membuat Olivia tersentak. Olivia mengecek ponselnya dan seketika senyum cerah muncul di wajahnya. "Ternyata pria itu tak berbohong, dia menepati janjinya," gumam Olivia seraya tersenyum puas.
Ia baru saja mendapatkan notifikasi transferan masuk dari Damian sebesar 3 miliar, seperti yang dijanjikan di surat perjanjian.
Drrtt drrrt!
Seperti berjodoh, orang yang berada di pikiran Olivia tiba-tiba menghubunginya.
"Halo,"
"Halo, sayang. Bagaimana? Apa uang 3 miliar dari sugar daddymu ini sudah kamu terima?"
Olivia tertawa kecil. "Sugar daddy? jadi kamu menganggap dirimu sebagai sugar daddy sekarang?"
"Kamu maunya manggil aku apa? aku juga nggak masalah kalau kamu mau panggil aku Daddy." Suaranya terdengar berharap. Olivia terbayang wajah nakal dan menggoda Damian yang sering dia tunjukkan.
"Uangnya sudah masuk Daddy. Makasih banyak ya daddy~ kamu puas sekarang?" Olivia mengulum bibirnya, menahan malu setelah berbicara manja. Ia melirik ke sekitarnya, memastikan tidak ada orang lain yang mendengarnya. Pipinya sudah berubah menyerupai tomat sekarang.
"Ok, baby. Sampai jumpa di rumah nanti malam sayang."
Olivia menghela napasnya setelah sambungan terputus. Ia menyentuh dadanya yang berdebar sambil termenung. 'Apa aku sungguh sudah jatuh cinta dengannya?' batin Olivia bimbang karena setiap kali ia berinteraksi dengan Damian, jantungnya selalu berdegup kencang. Degupan tak biasa yang selalu ia rasakan setiap jatuh cinta.
"Kak Oliv," seseorang menegurnya membuatnya tersentak.
"Kenapa Zi?" Olivia buru-buru menyimpan ponselnya.
Zia adalah satu-satunya karyawan yang cukup dekat dengan Olivia setelah sebulan dirinya kerja di toko roti itu. Olivia sempat membantu Zia yang juga merupakan karyawan baru sama sepertinya saat kesulitan dan Zia lebih muda setahun dari Olivia.
Zia mengambil duduk di sebelah Olivia, menatap Olivia takut-takut. "Maaf ya Kak kalau aku lancang. Tapi ... Cowok tadi itu benar mantan suami kakak?"
Olivia merapatkan bibirnya seraya menghela napas sebelum menjawab. "Iya dia mantan suamiku."
"Ohh ... Tapi kok mulutnya kasar banget ya? aku aja yang dengernya sakit hati."
"Dia memang begitu. Padahal kami bercerai karena salahnya tapi dia sama sekali tidak merasa bersalah." Olivia tersenyum miris, matanya berkaca-kaca setiap kali teringat momen menyakitkan terakhir kali dia di rumah kontrakan itu. Zia menyimak dengan baik.
Olivia menatap Zia lekat. "Kamu kalau cari cowok hati-hati ya, jangan seperti cowok tadi."
"Siap Kak!" jawab Zia dengan lantang.
Olivia tersenyum lebar. "Eh, kamu jangan manggil aku kakak dong, panggil Olivia aja. Kita 'kan juga cuma beda setahun."
"Iya juga ya Kak, eh— Olivia maksudnya. Ok deh." Keduanya terkekeh.
"Ya udah yuk lanjut kerja," ujar Olivia sambil berdiri.
"Kamu mah santai-santai aja juga nggak bakal dimarahin," kata Zia berniat bercanda.
Olivia tertawa pelan. "Selama aku masih kerja di sini, aku setara dengan kalian semua kok," ucap Olivia menonjolkan kerendahan hatinya.
***
Sementara itu Laura dan Nathan akhirnya makan di sebuah kafe. Laura menatap orang di hadapannya dengan sebelah tangan menopang dagu dan bibir dimajukan. "Kamu lagi ngapain sih, Mas? Lihat hp mulu. Pacarmu ini nggak menarik ya?"
Nathan hanya menatapnya sekilas lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
"Mas Nathan~" rengek Laura seperti kehilangan kesabaran. Dia bahkan tidak malu merengek di tempat umum seperti itu.
"Aku lagi cari berita tentang pernikahan Olivia dengan Damian," jawab Nathan tanpa menatap Laura.
Laura mengernyitkan dahinya. "Ngapain kamu cari berita tentang mereka? kamu masih cinta sama Kak Oliv?" Laura menatap Nathan dengan tatapan menuntut penjelasan. Sisi cemburunya memaksa untuk keluar, tanpa bisa ditahan.
"Siapa yang masih cinta sama dia sih. Aku tuh cuma penasaran kok bisa pria kaya raya seperti Damian mau menikahi wanita yang nggak selevel dengannya."
"Mungkin aja dia cinta sama Kak Oliv. Cinta bisa mengalahkan segalanya loh, Mas," tutur Laura lembut seraya memandang Nathan dengan tatapan penuh cinta dan senyum yang mengembang.
"Aku tidak percaya." Itu pun membuat Laura mendengus lalu memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain karena dia terus dicuekin.
"Sial!" umpat Nathan setelah beberapa saat hingga Laura kembali menoleh.
"Kenapa sih Mas?"
"Jadi, Olivia mengaku bila orangtuanya sudah meninggal," jawab Nathan yang fokus menatap layar ponsel, membaca berita yang tersebar di sosial media.
"Apa?! dia mengaku seperti itu? jahat banget nggak menganggap Mama dan Papa yang masih hidup. Walaupun hanya anak angkat tetap saja tidak tahu diri. Dasar anak durhaka!" Laura menggeram seraya menonjok telapak tangannya sendiri.
"Tapi tidak alasan lain selain itu. Mereka mengakui saling mencintai dan memiliki niat yang baik," sambung Nathan dengan dahi mengernyit.
"Aku bilang juga apa, pasti karena cinta."
Nathan menggelengkan kepalanya. "Tapi, aku masih nggak percaya dan nggak terima."
Laura menghela napas seraya memutar bola matanya malas. Dengan gerakan berani, ia merampas ponsel Nathan hingga lelaki itu mengangkat alisnya. "Kamu apa-apaan sih? kembaliin nggak?"
Laura menggeleng lalu memasukkan ponsel Nathan ke tasnya. "Nanti, kalau kita sudah selesai makan."
Nathan ingin protes tapi bertepatan dengan pelayan yang datang membawa pesanan mereka, membuat Nathan diam dan Laura tersenyum menang.
Nathan akhirnya memilih untuk makan walaupun wajahnya menunjukkan sebaliknya.
"Mas, jadi kapan kita buat baju pengantinnya? dibuat jauh-jauh hari lebih baik 'kan?" celetuk Laura setelah beberapa saat.
Nathan masih mengunyah, manik matanya bergerak pelan. "Hmm ... Nanti aku pikir lagi ya soalnya aku lagi banyak kerjaan banget sayang," jawab Nathan diakhiri dengan senyum lebar.
Laura sontak mengerucutkan bibirnya. "Kamu mah banyak alasan."
"Aku nggak banyak alasan, Laura. Aku memang lagi sibuk. Nanti, kalau udah ada waktu kosong, aku kabarin kamu ya." Nathan meraih tangan Laura di atas meja, mengusapnya lembut dan itu membuat Laura tersenyum sedikit.
"Tapi, janji ya? kamu bilang kamu mau tanggungjawab kalau aku hamil. Aku belum bilang mama loh soal kehamilanku. Kalau mama tahu aku hamil diluar nikah, bisa diusir dari rumah aku."
"Iya, iya aku janji. Kamu nggak usah khawatir."
Laura menyunggingkan senyum lega. "Ya udah kalau gitu aku ke toilet dulu. Jangan kemana-mana." Laura menatap tajam Nathan sebelum beranjak dari kursinya menuju toilet.
Saat Laura tak nampak lagi dari pandangannya, Nathan berdiri, bergerak cepat ke tempat tas Laura yang ditinggalkannya di kursi. Ia mengambil ponselnya dengan terburu-buru sambil sesekali memeriksa keadaan dan kebetulan sekali ponselnya berbunyi, layarnya menyala menampilkan nama 'Fitri sayang'
Matanya melotot sejenak lalu mengecek keadaan sekali lagi sebelum menjawab panggilan.
"Halo sayang," suaranya terdengar pelan nyaris berbisik.
"Sayang kamu di mana? kok ngomongnya pake bisik-bisik?"
"A-aku ... aku lagi di kantor lah sayang." Pandangan mata Nathan tak lepas dari lorong yang menghubungkan ke area belakang walaupun dia sedang berbicara di telepon. Jantungnya berdegup kencang.
"Ohh. Kamu sibuk nggak? Bisa jemput aku?"
"Jemput di mana?"
"Jemput di kampus. Dosen yang mau ngajar siang ini nggak jadi masuk."
"Ohh ... Eh! udah dulu ya sayang, nanti aku telepon lagi." Nathan buru-buru mengakhiri sambungannya dengan Fitri lalu meletakkan kembali ponselnya ke tas Laura setelah melihat Laura muncul dari lorong tersebut.