Bab 1 - Selingkuh
Ruangan kecil itu terasa lebih dingin dari biasanya. Olivia, perempuan cantik berambut panjang lurus tanpa poni itu duduk, kedua tangannya bertaut, bergetar halus di pangkuannya.
Di seberangnya, Pak Surya sang HRD menarik napas panjang sebelum membuka percakapan.
"Olivia, terima kasih sudah datang," ucapnya pelan, suaranya terdengar berat.
Olivia mengangguk, meski hatinya sudah terasa tak tenang sejak pagi tadi. "Ada apa ya, Pak?"
Ada jeda sejenak sebelum Surya membuka suaranya kembali. Surya menyodorkan sebuah amplop putih, matanya menatap Olivia dengan rasa bersalah. "Perusahaan sudah resmi dinyatakan pailit sejak minggu lalu. Kita tidak punya pilihan lain. Semua divisi akan dihentikan operasionalnya."
Olivia meraih amplop itu dengan tangan gemetar. Kata-kata pemutusan hubungan kerja langsung menusuk dadanya begitu lembaran itu ia buka. Dunia seolah menyempit.
"Kami sangat menyesal, Liv." Nada suaranya tulus. "Ini bukan karena performa kamu. Tidak ada yang salah dengan performa kamu selama bekerja di sini. Tapi, perusahaan sudah tidak sanggup bertahan."
Udara seperti menghilang dari paru-parunya. Olivia menelan ludah, napasnya tercekat, kata-kata yang ingin dia sampaikan tak terlontar.
"PHK efektif mulai akhir bulan. Hak-hak kamu tetap kami proses. Kurator sudah menjadwalkan pendataan aset, jadi pesangon akan dibayarkan setelah itu." Pak Surya menatapnya dengan mata merah, seakan ia sendiri sedang berjuang menahan emosi. "Saya tahu ini berat. Kalau kamu butuh rekomendasi kerja atau dokumen pendukung, saya akan bantu."
Olivia mengangguk pelan. "Baik, Pak." suara itu keluar hampir seperti bisikan.
Begitu ia menutup pintu ruangan HRD, napasnya tercekat. Koridor kantor yang dulu terasa hangat kini terasa asing. Langkahnya terasa berat, seolah tiap langkah membawanya menghadapi kenyataan pahit.
Di lift, barulah air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah, tanpa suara. Dunia di luar masih berjalan seperti biasa, tapi bagi Olivia ... semuanya baru saja runtuh.
Ia kembali ke ruangannya, melihat rekan sesama kerjanya sedang mengemas barang-barang dengan wajah tertekuk. Ia menelan ludahnya, matanya tak sengaja bertemu pandang dengan seorang wanita berambut pendek berponi. Tanpa banyak bicara, mereka saling merangkul dan berpelukan.
"Liv, jangan lupain aku ya," gumam perempuan itu seraya mengusap-usap punggung Olivia.
Olivia menarik badannya, mengernyitkan dahinya. "Kenapa kayak mau pindahan. Kita baru kena PHK, Tata."
Tata mengusap ujung matanya. "Iya tahu, tapi 'kan kita jadi nggak bisa ketemu setiap hari lagi huhu ...." Tata mulai mendramatisir keadaan, ia kembali menarik Olivia dalam pelukannya lalu meraung keras tapi anehnya tak ada setetes air mata pun yang keluar.
"Janji saling kabar ya setelah ini. Jangan ngilang kamu."
"Iya iya, aku janji." Mereka kembali melepas pelukan setelah beberapa saat. "Ya udah yuk beres-beres."
***
Olivia tiba di rumah saat menjelang malam. Dia turun dari motor, berjalan gontai dengan tatapan kosong, semangat hidupnya sudah menghilang entah kemana.
Saat membuka pintu, pintu langsung terbuka. 'Loh, kok nggak dikunci. Apa Mas Nathan udah pulang?' pikirnya was-was.
Olivia, perempuan cantik berusia 25 tahun, sedari kecil tinggal di panti asuhan namun akhirnya diadopsi oleh keluarga sederhana saat usianya menginjak 5 tahun. Kini ia telah menikah dengan seorang pria pilihan orangtua angkatnya karena ia dianggap beban yang harus segera keluar dari rumah. Sekarang ia tinggal dengan suaminya di sebuah rumah kontrakan kecil dan sama-sama bekerja keras demi bertahan hidup. Namun sayangnya di pernikahan yang baru menginjak 6 bulan itu Olivia tak pernah merasakan kebahagiaan. Olivia terlalu sering menjadi sasaran kemarahan suaminya, menerima perlakuan kasar yang membuatnya semakin kehilangan dirinya sendiri.
Olivia melangkah pelan memasuki rumah yang gelap, tangannya meraba-raba sekitar mencari tombol lampu.
Ctek!
'Kalau Mas Nathan udah pulang, kenapa lampu belum dihidupkan? apa dia ketiduran?' tatapannya sekarang mengarah ke pintu kamar di ujung sana.
Ia melangkah pelan, berusaha tidak menimbulkan suara menelusuri lorong menuju belakang. Namun sayup-sayup dia mendengar suara yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.
"Ahh ... Mas, lebih cepat lagi ...."
Sumpah. Olivia langsung merasa jijik ketika mendengarnya. Tubuhnya bergetar hebat. Dia tahu pasti suara apa itu dan semakin dekat dengan kamar mereka, semakin besar pula suaranya. Suara wanita itu terdengar tak asing di telinganya.
"Ahh ... hmpphh ...."
Air menggenang di pelupuk matanya, dadanya terasa sesak, ia menelan ludahnya dengan susah payah lalu berdiri di balik pintu, mendengar semua erangan menjijikan yang memekakkan telinga, ia menutup mulutnya merasa tak percaya suaminya tega mengkhianatinya.
Olivia masih berdiri di depan pintu kamar. Suara di balik pintu semakin jelas, semakin menusuk, semakin menghancurkan seluruh sisa kekuatan yang ia punya setelah melewati hari yang berat.
Beberapa saat kemudian, ia menarik napas dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu.
Ceklek!
Dua kepala langsung menoleh. Keduanya berhenti bergerak dalam posisi menempel tanpa sehelai benangpun. Pemandangan menjijikan yang pernah Olivia lihat seumur hidupnya, sampai membuat matanya sakit.
Nathan membelalakkan mata, tetapi bukan ekspresi menyesal atau panik yang muncul. Justru seolah kesal, marah karena aktivitasnya diganggu.
"Laura. Aku nggak percaya kalau ini kamu," suaranya tercekat seolah tak percaya.
Adik tiri angkatnya, satu-satunya orang dari keluarga angkatnya yang pernah bersikap manis padanya. Gadis itu kini menatap Olivia tanpa malu, seolah yang dilakukannya sekarang adalah hal yang wajar.
"Ups!" Laura menyeringai. "Kamu pulangnya terlalu cepat, Kak."
Olivia mengigit bibirnya, kedua tangannya terkepal kuat. Kata-kata dari adik tirinya membuatnya semakin kesal.
Nathan berdiri dari kasur, meraih handuk dengan gerakan kasar lalu menutupi bagian bawahnya. Sementara Laura menutupi tubuhnya yang polos dengan selimut. "Apa-apaan sih kamu? Nggak bisa ketuk pintu dulu? Orang lagi sibuk, malah diusik."
Plak!
Olivia tak bisa menahan dirinya. Ia menumpahkan semua amarahnya dalam satu tamparan keras di pipi suaminya. Ia menatap Nathan dengan ekspresi jijik. "Sibuk katamu huh! sibuk selingkuh maksudmu?!"
Nathan mendengus, "Terus kenapa? Ini juga salahmu. Kamu itu nggak bisa melayani aku! di ranjang selalu kaku, nggak pernah bikin aku puas."
Kata-kata itu menghantam d**a Olivia. Olivia menyentuh dadanya, merasa tubuhnya limbung. Laura hanya duduk santai di kasur, memainkan rambutnya seolah sedang menonton pertunjukan.
"Oh, jadi selama ini kamu hanya mencari kepuasan? Kalau kamu hanya mencari kepuasan, tidak usah repot menikah. Bercintalah setiap hari dengan jalang jalang di luar sana!" Olivia kehilangan kesabaran. Selama pernikahan jarang sekali ia memaki suaminya. Jangankan memaki, berkata keras saja tidak pernah. Tapi kali ini Nathan benar-benar keterlaluan. Ia juga kecewa dengan adik tirinya. Ia bahkan sempat melirik Laura ketika mengatakan kata 'jalang' seolah kata itu ditujukan padanya.
Nathan melipat tangan, tatapannya meremehkan. "Terus? sekarang Kamu mau apa? berharap aku berlutut dan minta maaf sama kamu gitu?"
Ada jeda singkat yang menggantung di udara. Nafas Olivia berat, tapi di tengah semua itu ada sesuatu yang berubah.
"Aku mau cerai, Mas." suaranya kini stabil dan tegas.
Nathan tertawa kecil kemudian tersenyum miring seolah kata-kata yang dilontarkan istrinya hanyalah sebuah lelucon.
Nathan menyeringai lebar. "Bagus! Justru itu yang aku tunggu. Kamu pikir aku masih mau hidup sama cewek nyusahin dan nggak bisa muasin aku kayak kamu? Silakan, cepet urus. Aku bebas."
Tanpa kata lagi, Olivia berbalik. Air matanya jatuh, tapi langkahnya mantap.
Nathan berbalik, melangkah cepat ke lemari pakaian lalu mengeluarkan sebuah tas besar yang penuh dengan pakaian Olivia. Ia menyeret tas itu keluar kamar lalu melemparnya ke dekat kaki Olivia.
"Bawa pakaian-pakaian lusuh milikmu ini bersamamu." Tanpa menunggu reaksi dari Olivia, dia kembali masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras.
Olivia berlutut, memungut tas besar itu dengan tangan gemetar dan air mata berlinang. Olivia tidak menyangka bila suaminya bahkan sudah mengemas barang-barang miliknya seolah dia sudah menunggu lama momen ini. Kepalanya terangkat, tatapannya tertuju pada pintu kayu yang baru saja tertutup itu, menatapnya miris. 'Lihat saja Mas, suatu hari nanti kamu akan berlutut di hadapanku, memohon aku kembali. Dan saat itu terjadi, aku tidak akan menoleh ke arahmu lagi.'