Bab 1 - Awal Godaan

1105 Words
Alena tidak pernah membayangkan, hujan sore itu akan menjerumuskannya pada sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar basah kuyup. Payung kecil yang ia bawa patah diterpa angin, jas hujan ketinggalan di rumah, dan Keandre—pacarnya—belum juga pulang dari latihan basket kampus. Dengan rambut menempel di pipi, baju melekat di kulit, ia akhirnya nekat menekan bel rumah pacarnya. Pintu terbuka. Bukan Keandre. Seorang pria berdiri di ambang pintu, kemeja putihnya digulung rapi di lengan, tubuh tegap dengan aura yang langsung menekan udara di sekitarnya. Darren—ayah Keandre. Tatapannya tenang, nyaris dingin, tapi justru membuat d**a Alena berdegup kacau. “Sendirian?” suara Darren rendah, dalam, seperti bariton yang bergetar sampai ke tulang. Alena meremas tas selempangnya. “Iya, Om. Keandre masih di kampus. Saya nunggu di sini nggak apa-apa, kan?” Darren menyingkir, memberi jalan. “Masuklah. Kamu basah kuyup, nanti sakit.” Alena melangkah ragu. Aroma kopi dan kayu yang lembap langsung menyergapnya. Rumah itu terasa hening, hanya suara hujan di luar yang memantul di kaca-kaca besar ruang tamu. Ia duduk di sofa, tubuh kaku, mencoba menenangkan detak jantungnya. Darren menuangkan kopi hitam. Gerakannya tenang, presisi, membuat Alena merasa seperti sedang diperhatikan lebih dari seharusnya. “Kamu sering main ke sini?” tanyanya sambil menyerahkan cangkir hangat. “Kadang. Kalau Keandre ngajak belajar bareng,” jawab Alena, suaranya lirih. Darren menatapnya sebentar. “Dan sekarang kamu sendirian… di rumah saya.” Nada itu terdengar biasa. Tapi Alena menangkap sesuatu di baliknya—perhatian yang tidak biasa. Ia buru-buru menunduk, menyesap kopi, meski tenggorokannya kering. “Kalau kedinginan, ambil jaket Keandre di kamarnya,” ucap Darren. Alena mengangguk, bangkit, melangkah cepat ke kamar Keandre. Saat melewatinya, bahunya tanpa sengaja menyentuh lengan pria itu. Sentuhan sekilas, tapi cukup membuat tubuhnya bergetar. Darren hanya menoleh singkat. “Hati-hati, Alena. Kebiasaan kecil bisa menimbulkan salah paham.” Kalimat itu menancap dalam kepalanya saat ia membuka lemari Keandre. Tangannya gemetar saat meraih jaket hitam, lalu buru-buru mengenakannya. Hangat, tapi bukan itu yang ia rasakan. Hatinya justru makin panas oleh tatapan Darren yang seolah masih melekat di kulitnya. Ketukan pelan di pintu membuatnya terlonjak. “Alena.” Suara itu. Dalam. Tenang. Memaksa. Pintu terbuka, Darren muncul. Kali ini tanpa kemeja luar, hanya kaus abu-abu tipis yang menempel di tubuhnya. Bahunya sedikit basah, mungkin baru mengecek halaman depan. “Jaketnya kebesaran,” ucapnya datar, tatapannya menyapu tubuh Alena dari atas ke bawah. Alena buru-buru menarik resleting jaket hingga ke leher. “Nggak apa-apa, Om. Yang penting hangat.” Darren masuk. Pintu ditutup. Dikunci. Suara ‘klik’-nya terdengar terlalu jelas. “Om…” suara Alena bergetar. “Kenapa dikunci?” “Supaya tenang. Hujan deras, rumah sepi. Tidak ada yang mengganggu.” Ia menarik kursi, duduk menghadapnya. Tatapannya menusuk, membuat ruang itu menyempit. Alena mencoba mengalihkan dengan pertanyaan. “Om sering lihat saya ke sini?” “Sering.” Darren menyandarkan siku di lutut, tubuh condong ke depan. “Saya juga sering perhatikan kamu. Diam-diam.” Alena tercekat. “Kenapa… Om perhatikan saya?” Darren menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Karena kamu berbeda.” Kata-kata itu membuat perutnya meringis, entah oleh rasa takut atau sesuatu yang lebih rumit. Ia menunduk, tapi Darren berdiri, langkahnya pelan, mendekat. “Kamu tahu, ada hal-hal yang seharusnya tidak terjadi,” ucapnya pelan. “Tapi justru itulah yang paling sulit dihindari.” Alena meremas ujung jaket. “Om maksudnya apa?” Darren tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, lalu tertawa kecil, datar. “Ah… mungkin kamu terlalu muda untuk mengerti.” Tiba-tiba ponsel Alena bergetar. Notifikasi dari Keandre. Ia buru-buru membukanya. Keandre Sayang, aku kejebak hujan. Motor nggak bisa jalan, jas hujan juga nggak bawa. Tunggu di rumah ya. Ngobrol aja sama Papa dulu, biar nggak bosan. Alena menggigit bibir. Lega, tapi kalut. Itu berarti… ia akan lebih lama berdua dengan Darren. Pria itu melirik layar ponselnya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Jadi dia titipkan kamu pada saya.” Alena nyaris kehilangan kata. “Kurang lebih, begitu…” Tapi Darren tidak tertawa. Tatapannya tetap menusuk. “Apa yang kamu suka dari Keandre?” Pertanyaan itu menghantamnya. “Suka? Maksudnya?” “Dari semua laki-laki seumuranmu, kenapa pilih dia? Karena dia populer? Jago basket? Atau… karena dia hanya terasa aman?” Alena berusaha menenangkan diri. “Saya suka dia karena dia baik. Sederhana.” Darren mendekat satu langkah. “Baik, sederhana. Tapi masih anak-anak. Belum tahu bagaimana menghadapi dunia.” Alena ingin membantah, tapi kalimat itu justru membuatnya goyah. Ada sesuatu dalam nada suara Darren—keyakinan, wibawa, misteri—hal yang tidak pernah ia temukan pada Keandre. Saat Darren menunduk sedikit, jarak mereka menipis. Jemarinya terangkat, menyentuh dagu Alena dengan lembut tapi tegas. “Alena…” suaranya rendah. “Kenapa kamu gemetar?” Alena menelan ludah, mencoba mengalihkan pandangan. “Saya… nggak apa-apa, Om.” Tapi Darren menahan dagunya, memaksanya kembali menatap. “Kamu tahu ini salah.” Alena ingin mengangguk. Ingin berteriak. Tapi bibirnya justru berbisik pelan, seolah keluar begitu saja. “Tapi… kenapa saya nggak bisa menghindar?” Hening. Hanya hujan deras di luar. Darren menatapnya lama. Senyum samar terbit di wajahnya. “Karena kamu penasaran.” Dan sebelum Alena sempat berpikir, bibir pria itu sudah menyentuh bibirnya. Tenang, terukur, tapi sarat kuasa. Alena membeku. Lalu tubuhnya justru merespons, gemetar, tapi tak lari. Dalam ciuman singkat itu, ia merasakan sesuatu yang membuatnya kalut sekaligus terjerat. Rasa bersalah menyesakkan d**a, tapi ada bagian lain dalam dirinya yang benci mengakuinya—ia terhanyut. Saat bibir Darren menjauh, Alena berdiri kaku, napas memburu. Pria itu masih menatapnya dengan senyum samar yang tak terbaca. “Sekarang kamu tahu… bedanya laki-laki muda dan laki-laki dewasa.” Alena mundur setapak, tapi terhenti di tepian ranjang. “Om…” hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Darren tidak pergi. Ia tetap berdiri di sana, sengaja membiarkan jarak itu tetap dekat, membuat Alena sadar sepenuhnya—ia baru saja melangkah masuk ke dalam skandal yang tidak akan pernah bisa ia hentikan dengan mudah. Hening. Hanya suara hujan deras di luar, menutup semua celah pelarian. Lalu Darren mencondongkan tubuh sedikit, suaranya nyaris berbisik, tapi menekan udara di sekitarnya. “Kalau saya ingin melangkah lebih jauh… kamu akan menolak, atau membiarkan?” Alena tercekat. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Jantungnya berdebar keras, sementara bibirnya gemetar, ingin menjawab tapi tak mampu. Darren tersenyum tipis, seolah tahu kebisuannya adalah jawaban paling jujur. Ia menegakkan tubuh kembali, tapi tatapannya masih menahannya di tempat. “Jangan buru-buru, Alena. Hari ini… baru permulaan.” Pintu kamar tetap tertutup. Kuncinya masih di sisi Darren. Dan Alena sadar—ia bukan hanya terjebak oleh hujan di luar, tapi oleh badai yang baru saja dimulai di dalam rumah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD