Darren masih berdiri dekat, bayangan tubuhnya menutupi cahaya lampu meja yang temaram. Senyum tipisnya tak lepas, nyaris samar, tapi cukup untuk membuat napas Alena terhenti di tenggorokan. Jemari pria itu terangkat, ibu jarinya menyentuh lembut bibir bawahnya—ringan, seakan hanya isyarat, tapi cukup untuk membuat tubuh Alena kaku seketika.
“Sudah berapa lama kamu sama Keandre?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti bisikan yang hanya ingin dimiliki dua orang.
Alena menahan napas, jantungnya berdegup kacau. “Dua tahun, Om.”
Darren mengangguk pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah gadis itu. “Dua tahun…” ia mengulang, nadanya datar tapi mengandung sesuatu yang tidak bisa ditebak. “Tidak bosan?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat Alena diam sesaat. Pandangannya turun, lalu kembali terangkat, menatap Darren lebih lama daripada yang seharusnya. Tatapan itu goyah, tapi bukan tatapan biasa.
“Keandre akhir-akhir ini sibuk,” jawabnya akhirnya, pelan namun mantap. “Latihan basket, kumpul sama teman-temannya… kadang saya merasa kurang waktu.”
Darren menurunkan tangannya, tapi tubuhnya tetap condong ke depan, jarak di antara mereka nyaris tak ada. Senyumnya samar, tak sepenuhnya ramah. “Kurang waktu… atau kurang perhatian?”
Alena tidak langsung menjawab. Bibirnya sempat terbuka, lalu tertutup lagi. Napasnya berat, tatapannya tetap tertahan di wajah Darren—terlalu lama, terlalu berani. “Mungkin… keduanya.”
Mata Darren berkilat, seolah membaca sesuatu di balik kata-kata itu. Ia menegakkan tubuh, nadanya tetap rendah. “Anak muda memang sering sibuk dengan dunianya sendiri. Kadang lupa, orang di sampingnya butuh lebih.”
Alena menggigit bibir bawahnya, lalu kembali menatap. Kali ini ia tidak menghindar. Ada sesuatu di sana—rasa ingin tahu, atau rasa takut, ia sendiri tak yakin.
“Om jangan bicara seperti itu,” katanya lirih.
Darren menyeringai samar. “Saya hanya bicara jujur. Dan kamu tahu itu.”
Hening. Hanya suara hujan deras di luar yang menyelimuti ruangan, menambah tebal ketegangan.
Alena mengangkat dagunya sedikit, berusaha tampak lebih kuat. “Lalu… Om bagaimana? Saya dengar sudah menduda?”
Darren menarik napas dalam, senyum tipisnya muncul lagi. “Sudah lima tahun.”
“Lima tahun… tidak lama, tapi juga tidak sebentar.” Alena berani melanjutkan, suaranya lebih mantap dari sebelumnya. “Kesepian, ya?”
Darren tertawa pelan, rendah, hampir seperti gumaman. Ia melangkah maju setengah, mendekat lagi. “Sama seperti kamu.”
Dada Alena sesak. Jemarinya refleks meremas ujung bajunya. “Om terlalu percaya diri.”
Darren menyandarkan satu tangannya ke meja, membuat jarak mereka semakin sempit. “Bukan percaya diri. Saya bisa membaca tatapan orang. Termasuk tatapanmu.”
Alena ingin membantah, tapi suaranya hilang. Tatapannya justru masih tertahan di mata pria itu—lebih lama dari yang pantas.
Dan sebelum ia sempat melangkah mundur, Darren lebih dulu bergerak. Tangannya meraih tengkuk Alena, menariknya mendekat. Bibir pria itu menempel—ganas, penuh tekanan, menuntut.
Alena terbelalak, tubuhnya kaku. Tangannya mendorong d**a Darren, tapi hanya sebentar sebelum kehilangan tenaga.
“Om—!” serunya, terputus oleh ciuman yang menekan lebih dalam.
Darren akhirnya menjauh beberapa inci. Napasnya berat, senyum tipisnya masih ada, tapi kali ini dengan bara yang jelas. “Kamu kaget?”
Alena terengah, pipinya panas. “Kenapa Om… lakuin itu?” suaranya nyaris tak terdengar.
Darren mengusap rahang Alena dengan jari-jarinya, pelan, menggetarkan bulu kuduknya. “Karena saya tidak bisa menahannya lagi.”
Alena menelan ludah. “Om…”
“Saya sudah lama menyukai kamu,” bisik Darren, matanya menusuk. “Sejak pertama kali kamu sering datang ke rumah ini. Cara kamu tersenyum, cara kamu menatap… kamu membuat saya lupa bahwa saya seharusnya hanya jadi ayah pacarmu.”
Alena membeku, darahnya berdesir hebat. “Om nggak seharusnya bilang begitu.”
“Tapi kamu tahu,” Darren menyeringai miring, “ada bagian dari dirimu yang mendengarnya… dan tidak benar-benar menolak.”
Alena mundur setapak, tapi punggungnya terbentur ranjang. Nafasnya tercekik.
Darren mencondongkan tubuh, suaranya rendah, nyaris mengancam. “Bagaimana kalau saya tawarkan sesuatu, Alena? Kamu tetap pacar anak saya… dan saya jadi pacar rahasiamu.”
Alena terbelalak. “Om gila?! Saya nggak mau. Kita ciuman saja saya udah merasa bersalah. Lebih baik saya pulang—biar kehujanan!”
Ia mencoba menyelinap, tapi Darren menahan tubuhnya. “Tidak mudah dirayu, ternyata,” gumamnya.
“Om!” desis Alena, panik.
Darren menunduk, wajahnya nyaris sejengkal. “Singkirkan sendiri… kalau bisa.”
Alena mendorong dadanya, tapi tubuh pria itu tak bergeming.
Saat itu, suara pintu depan berderit. Langkah kaki masuk tergesa.
“Aku pulang, Pa!” suara Keandre terdengar jelas.
Alena pucat. “Keandre…”
Dan Darren, tanpa memberi kesempatan, kembali menempelkan bibirnya. Cepat, penuh tekanan, tangannya menutup mulut Alena agar tak bersuara.
“Diam…” bisiknya dingin di telinga gadis itu. “Kalau dia tahu, semuanya selesai.”
Tubuh Alena menggigil.
Suara langkah Keandre semakin dekat—lalu berhenti di kamar mandi lorong. Bunyi flush terdengar.
Baik Darren maupun Alena sama-sama menghela napas lega.
Darren melepas genggaman, wajahnya masih dekat. “Kamu diam. Jangan katakan apa pun.”
Alena mengangguk cepat, wajahnya pucat.
Darren merapikan bajunya lalu keluar kamar dengan langkah tenang. Seakan tak terjadi apa-apa.
Beberapa menit kemudian, Keandre keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, senyumnya tulus. Ia masuk ke kamar, melihat Alena duduk kaku di ujung kasur.
“Kamu masih nunggu ternyata,” katanya sambil duduk di sampingnya. “Maaf telat. Papa kayaknya lagi kerja, kan? Makanya aku buru-buru pulang.”
Alena memaksa tersenyum. “Nggak apa-apa kok. Aku sempat ngobrol sebentar sama Papa kamu.”
“Oh ya?” Keandre heran. “Papa keluar dari ruang kerjanya? Jarang banget.”
“Iya, cuma sebentar.”
Keandre tersenyum lega, lalu memberinya pakaian kering. “Pakai ini. Aku nggak mau kamu masuk angin.”
Alena menerimanya, tangannya sedikit gemetar. Ia segera masuk kamar mandi.
Di balik cermin, ia menatap wajahnya sendiri. Mata gelisah, pipi panas, bibir masih terasa. Ia menarik napas panjang, berusaha mengunci semua yang baru saja terjadi jauh di dalam dirinya.
Saat ia kembali, Keandre sudah berbaring santai di kasur, menepuk tempat di sampingnya. “Sini, baring sama aku.”
Alena mendekat, beringsut masuk ke pelukannya. Kehangatan tubuh cowok itu langsung menyelubungi dirinya.
“Enakan gini, apalagi hujan,” gumam Keandre.
Alena hanya mengangguk, memeluk erat. Degup jantung Keandre stabil, tapi pikirannya penuh bayangan Darren.
“Kamu kedinginan?” tanya Keandre.
“Enggak,” jawabnya cepat.
Keandre menatap curiga. “Masa? Ada apa, hm?”
“Cuma capek,” bisik Alena.
Keandre tidak mendesak. Ia mengecup keningnya singkat, lalu menarik selimut. “Tidur aja, aku jagain.”
Alena menutup mata, pura-pura mengantuk. Tapi pikirannya sama sekali tak tenang.
Bayangan senyum Darren masih menghantui—tipis, misterius, berbahaya. Kata-katanya bergaung, “Saya sudah lama suka sama kamu.”
Di dalam pelukan Keandre yang hangat, Alena justru semakin merasa dingin.
Keandre sudah terlelap, napasnya teratur. Alena membuka matanya perlahan, menatap langit-langit kamar yang temaram. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua sudah selesai.
Namun saat pandangannya tak sengaja bergeser ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka, jantungnya nyaris berhenti.
Di balik celah tipis itu—sekilas, samar oleh bayangan lorong, Darren berdiri.
Ia tidak berkata apa-apa, hanya bersandar ringan pada kusen, tatapannya terkunci pada Alena. Senyum tipis itu kembali, kali ini lebih menggoda, lebih menusuk, seolah sedang memberi janji bahwa ini baru awalnya saja.
Dan sebelum Alena sempat bereaksi, Darren sudah melangkah pergi, meninggalkan hanya jejak bayangan dan degup panik yang tak mampu ia redam.