Tak terasa, Alena tertidur hingga malam. Saat kelopak matanya perlahan terbuka, pandangannya masih buram. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya fokus pada sekeliling—kamar Keandre kini sudah diterangi lampu temaram. Hening. Hanya suara hujan di luar jendela yang tersisa, samar-samar mereda.
Dengan gerakan malas, Alena meraih ponselnya di meja samping. Ada pesan singkat dari Mama.
Keandre sudah menelpon, bilang kamu menginap di rumahnya. Hati-hati, nak.
Alena menghela napas lega. Setidaknya Mama tidak khawatir. Ia duduk sebentar di tepi ranjang, kantuk masih membayang. Tapi ada dorongan aneh—ia ingin memastikan sesuatu.
Pelan-pelan, ia turun dari kasur, melangkah ke arah pintu. Begitu keluar, lorong rumah tampak sepi. Semua lampu ruangan menyala, menciptakan bayangan samar yang menempel di dinding. Ada keheningan yang justru membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Setibanya di ruang tengah, matanya menangkap sosok Darren.
Ia duduk santai di kursi, kaus polos menempel pada tubuh tegapnya, celana pendek rumahan melonggarkan kesan formal. Laptop di depannya baru saja ia tutup perlahan. Tapi yang membuat Alena tercekat bukanlah kesan santai itu—melainkan tatapan dingin di wajah pria itu.
Darren menoleh, suaranya datar, nyaris berbeda dari sore tadi. “Mencari Keandre?”
Alena menelan ludah, berdiri canggung di ambang lorong. “Iya, Om… dia ada di mana?”
“Sedang keluar sebentar.” Darren menjawab singkat, matanya hanya melirik sekilas pada laptop setengah terlipat. “Tunggu saja di sini.”
Ada jarak dingin yang memisahkan mereka. Sikap Darren berubah total—tak ada lagi senyuman menggoda yang ia lontarkan sore tadi.
“Keluar? Jam segini?” tanya Alena ragu, seolah ingin memastikan.
Darren mengangkat bahu, lalu meneguk air mineral dari gelas di samping. “Biasa. Ada urusan. Keandre sering begitu. Dia pasti balik.”
Alena hanya bisa berbisik lirih, “Oh…” Jemarinya meremas ujung jaket pacarnya, seolah mencari pegangan.
Darren melirik sekilas. Senyum tipis muncul, cepat hilang, tapi cukup membuat Alena tersentak. “Kenapa? Takut ditinggal sebentar?”
Alena buru-buru menegakkan tubuh, berusaha tidak terbaca gelisah. “Bukan… cuma kaget aja, Om.”
“Hmm.” Darren bangkit, berjalan santai ke meja lain, pura-pura merapikan kertas. “Nggak usah dipikir. Anggap rumah sendiri. Santai.”
Kata-katanya terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang palsu di baliknya—keteduhan yang justru membuat d**a Alena makin sesak.
Ia hanya bisa mengangguk pelan. “Iya, Om.”
Darren berhenti, menoleh. Tatapannya menusuk. “Bagus.”
Sunyi kembali merayap. Hanya detik jam di dinding dan sisa rintik hujan yang mengisi ruang.
Alena gelisah. Sorot mata pria itu menahan langkahnya seolah menempelkan kakinya ke lantai.
Kemudian suara Darren terdengar, pelan tapi jelas. “Alena… gaya pacaran kamu sama Keandre itu… bebas?”
Pertanyaan itu menghantam keras. Alena spontan menunduk, jantungnya berpacu liar. “Om… kenapa tanya gitu?” suaranya hampir tak terdengar.
Darren tidak langsung menjawab. Ia mendekat perlahan, lalu bersandar di meja samping, hanya beberapa langkah darinya. “Sekadar ingin tahu. Kamu diam saja… artinya macam-macam.”
Alena menggigit bibir, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. “Itu urusan pribadi saya sama Keandre.”
Darren tertawa pendek, samar. “Pribadi? Kamu pikir saya buta?”
Alena mendongak, kaget. “Maksud Om?”
Sorot Darren menekan. “Saya sering menemukan kondom di kamar Keandre. Jadi, jangan pura-pura polos di depan saya.”
Darah Alena seakan berhenti. Kata-kata itu bagai jebakan. Wajahnya panas, tangannya mencengkeram jaket erat-erat.
“Om…” suaranya tercekat, tapi kalimat selanjutnya tak pernah terucap.
Senyum tipis Darren muncul lagi, kali ini seperti seseorang yang berhasil membuka tabir. “Tenang. Saya nggak akan bilang siapa-siapa. Anggap saja ini… percakapan kita berdua.”
Ruang jadi lebih menyesakkan.
Akhirnya, dengan napas panjang, Alena bicara lirih. “Baru setahunan, Om…”
Darren diam, wajahnya tetap tenang. Namun dalam dirinya, ada riak kecil yang ia simpan rapat. Anak yang ia lihat pendiam, ternyata sudah sejauh ini.
Ia melangkah lebih dekat, suaranya berat, hampir seperti bisikan. “Jadi, kalian sudah sejauh itu.”
Alena mengangguk cepat, ingin segera menyingkir dari topik itu. “Saya tahu itu salah… tapi Keandre selalu bilang dia serius. Dan saya… percaya.”
Darren menatapnya lama, seolah membaca setiap detail wajahnya. “Kamu percaya dia serius? Atau kamu percaya karena tak ada pilihan lain selain percaya?”
Pertanyaan itu membuat Alena terdiam. Tangannya gelisah, menyentuh lengan jaket.
“Om… saya percaya Keandre. Meskipun… kadang saya merasa… saya yang lebih butuh dia… daripada dia butuh saya.”
Darren tersenyum samar. “Keandre memang mudah dicintai. Tapi dia masih anak-anak. Sibuk dengan dunianya sendiri, lupa ada seseorang di sampingnya.”
Kalimat itu menghantam. Alena menunduk, dadanya makin berat.
Darren melanjutkan dengan suara yang lebih dalam, nyaris menghipnotis. “Saya tidak kaget sebenarnya. Anak jatuh ke lubang yang sama seperti ayahnya. Dulu saya pun begitu. Bahkan lebih gila.”
Alena membesarkan mata. “Om juga…?”
Darren mendengus kecil, lalu mengangguk tanpa beban. “Ya. Sekali kamu mencicipi sesuatu yang dilarang… susah berhenti.”
Alena tercekat. Kata-kata itu seakan bergema di kepalanya.
Darren bersandar pada meja, menyilangkan lengan. Tatapannya tak lepas darinya. “Ingat tawaran saya, Alena. Kalau suatu hari Keandre tak bisa membuatmu bahagia… kamu tahu, masih ada opsi lain. Saya.”
Alena menelan ludah, wajahnya memerah. “Om… jangan begitu.”
“Kenapa tidak?” Darren balas dengan nada ringan, tapi sorotnya tajam. “Saya tahu cara memperlakukan wanita. Berbeda dengan Keandre. Dan kamu sadar itu.”
Alena mundur setapak. “Saya pacarnya Keandre. Saya cinta dia.”
Darren tidak membantah. Bibirnya hanya melengkung samar. “Cintai dia sebisamu. Tapi ingat… perasaan bisa berubah. Kalau hari itu tiba—ingat, kamu punya pilihan lain.”
Keheningan kembali. Hujan benar-benar reda, menyisakan aroma tanah basah yang masuk dari jendela. Bukannya lega, justru menambah berat di d**a Alena.
Ia ingin membenci kalimat Darren. Namun ada bagian kecil dalam dirinya yang justru terguncang.
“Om…” suaranya lirih. “Sebentar lagi kami naik ke semester dua. Saya pernah dengar, dia mau pindah kuliah ke Inggris, benar Om?”
Darren menghela napas, tatapannya serius. “Keandre sebenarnya sudah lama ingin kuliah di luar negeri. Dia cuma menunggu hasil tes seleksi. Makanya dia pilih kuliah satu semester di sini dulu, agar tidak kehilangan momentum.”
Alena membeku. “Tapi… dia nggak pernah cerita ke saya soal rencana itu.”
Senyum tipis Darren muncul lagi, menusuk tapi tenang. “Mungkin dia ingin kamu tetap fokus kuliah di sini dulu, atau belum siap bilang kalau sebentar lagi kalian akan LDR.”
Alena menelan ludah, d**a sesak. “Jadi… semester depan dia benar-benar ke Inggris?”
Darren mengangguk. “Ya. Dan percayalah, jarak itu bisa mengubah banyak hal, terutama di awal kuliah. Lingkungan baru, teman baru, kesempatan baru…”
Alena menatapnya dengan ragu. “Om… kenapa terdengar seolah saya dan Keandre nggak akan kuat?”
Darren mencondongkan tubuh, tatapannya menusuk. “Saya tahu realitanya. Dan di saat itu tiba… kamu akan butuh seseorang yang ada di dekatmu.”
•••
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di rumah Keandre, Alena kembali larut dalam rutinitas kuliah dan tugas-tugas semester awal. Sore itu, ia duduk di sebuah coffee shop kecil dekat kampus bersama Keandre. Meja mereka dipenuhi buku catatan, laptop yang baterainya hampir habis, dan beberapa lembar tugas yang belum selesai.
Alena melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima sore. Ia menghela napas, lalu mulai merapikan buku-bukunya. “Sayang, pulang yuk. Udah sore,” ucapnya lembut.
Keandre melepas salah satu AirPod dari telinganya, mengangguk, lalu tersenyum tipis. “Ayok, aku anterin sampe kos. Tenang aja, hari ini bawa mobil sendiri. Jadi nggak perlu takut keburu hujan lagi.”
“Syukurlah…” gumam Alena sambil terus memasukkan catatan ke dalam tas. Tangannya sibuk, pikirannya masih melayang ke materi kuliah dan deadline tugas.
Keandre ikut membereskan barang-barang di meja, bahkan mengambil tablet Alena yang hampir tertinggal. “Ini, jangan lupa. Kamu kalau capek suka ceroboh.”
Alena tersenyum kecil. “Iya, makasih. Untung ada kamu yang selalu nge-backup.”
Keandre hanya terkekeh pelan. “Udah, sini biar aku yang masukin sekalian.” Ia menata semua barang Alena rapi di dalam tas sebelum menutup resletingnya.
Sambil menatapnya, Alena bertanya pelan, “Habis nganterin aku, kamu mau ke mana?”
“Papa ngajak ikut meeting,” jawab Keandre santai tapi sedikit serius. “Katanya penting. Aku harus mulai belajar juga, biar kebiasaan dari sekarang.”
Alena mengangkat alis. “Meeting sama siapa? Papa kamu bisnis apa aja sih sebenernya?”
Keandre menegakkan punggung, menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar. “Banyak. Ada Wibisono Heritage Hotel, restoran Signature Dining, sama Sonovest Bank.”
Mata Alena membesar. “Banyak juga ya. Semua itu nanti kamu yang handle setelah lulus?”
“Ya, rencananya gitu,” jawab Keandre tenang, meski nada suaranya menyiratkan tanggung jawab berat yang dipikulnya. Ia meraih jaketnya lalu berdiri. “Makanya aku harus ikut Papa setiap ada urusan bisnis. Biar nggak kaget nanti.”
Alena ikut berdiri, merapikan rambutnya dengan tangan. “Berat juga ya jadi kamu. Tapi aku percaya, kamu bisa.”
Keandre menoleh, tatapannya melembut. “Selama ada kamu, aku yakin bisa.”
Ucapan itu membuat Alena tersenyum, meski ada sesuatu di dadanya yang berdesir tak menentu.
“Yaudah, ayo sebelum keburu malem,” kata Keandre sambil memastikan tak ada yang tertinggal di meja. Ia meraih jaketnya, lalu berjalan lebih dulu, membukakan pintu kafe untuk Alena. Gadis itu melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi dan obrolan ringan yang masih tersisa di ruangan.
Udara sore sedikit lembap setelah hujan, lampu jalan mulai menyala satu per satu. Mereka menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Keandre membuka pintu depan untuk Alena. “Masuk, hati-hati sayang,” katanya singkat, lalu menutup pintu setelah Alena duduk.
Mobil melaju perlahan ke jalan raya yang mulai padat. Musik dari radio terdengar pelan, hanya sebagai latar. Keandre tampak fokus pada setir, matanya sesekali berpindah ke kaca spion.
Tiba-tiba, ponsel Alena bergetar di pangkuannya. Denting notifikasi membuatnya refleks melirik ke layar. Sebuah pesan baru masuk—dari nomor yang tidak dikenal.
Ia membuka. Pesannya singkat.
“Kamu sudah memikirkannya?”
Alena membeku. Jemarinya mengepal pelan di atas layar, darahnya berdesir. Ia tak butuh waktu lama untuk menebak siapa pengirimnya.
“Kenapa? Ada yang penting?” suara Keandre memecah lamunannya, tanpa menoleh, masih fokus mengemudi.
Alena cepat-cepat mengunci layar ponsel, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang merayap. “Nggak… cuma notif biasa,” jawabnya singkat, suaranya agak serak.
Keandre melirik sekilas, lalu kembali menatap jalan. “Kalau capek, tidur aja. Masih lumayan jauh.”
Alena mengangguk, tapi matanya tak bisa lepas dari bayangan pesan tadi. Pikirannya berkecamuk, hatinya berdebar tak karuan. Ia meremas ujung rok nya, mencoba menstabilkan napas.
Jalanan ramai, klakson terdengar di kejauhan, tapi bagi Alena semua terasa jauh. Yang ada hanya satu suara di kepalanya—suara Darren, seakan berbisik dari balik pesan singkat itu.