Bab 4 - Jeratan pria matang

1273 Words
Di rumah, Alena tak bisa melepaskan pikirannya dari pesan Darren. Setiap kata, meski singkat, terasa menempel, menggoda, dan menimbulkan sensasi yang aneh—antara takut dan penasaran. Tidak ada permainan tarik-ulur murahan seperti anak muda. Pria itu bergerak dengan tenang, setiap kata sudah diperhitungkan, penuh pengalaman yang membuatnya berbeda. Alena menatap layar ponselnya lama, sebelum akhirnya mengarsipkan pesan itu tanpa membalas. Napasnya berat. Bibirnya tergigit, seolah menahan sesuatu yang tak bisa diungkapkan. Rumah begitu sepi. Mama keluar bersama teman-temannya, Papa tenggelam dalam pekerjaan. Keheningan justru membuat Alena gelisah. Dentang notifikasi kembali terdengar. Alena refleks meraih ponselnya. Kali ini dari Keandre. “Sayang, aku latihan basket dulu ya. Sparing sama anak semester dua buat persiapan turnamen.” Alena mengetik cepat, “Iya sayang, semangat ya. Aku nggak bisa nyusul, lagi nggak enak badan.” Tombol kirim ditekan. Tapi matanya tak lepas dari layar. Perasaan bersalah muncul karena kebohongan kecil itu—padahal hatinya jauh lebih kacau daripada yang ia sadari. Tak lama, balasan masuk, “Oke, istirahat aja ya. Jangan lupa makan. Pulang latihan aku mampir ke rumah kamu.” Alena menatap layar lama, jemarinya ragu di atas keyboard, akhirnya hanya mengirim tanda hati. Lalu ia meletakkan ponsel, merebahkan tubuh di sofa, tapi pandangannya tetap kosong ke langit-langit. Bukan Keandre yang mengisi pikirannya—melainkan Darren, dengan tatapan tenang, kata-kata yang masih menjerat, seolah hadir di ruangan bersamanya. Alena tak tahan lagi. Ia membuka menu arsip, menatap pesan terakhir Darren. Pendek, sederhana, tapi berat maknanya. Nafasnya terasa sesak. Tiba-tiba, layar menyala. Pesan baru masuk, “Kamu tidak bisa pura-pura lupa, Alena.” Alena tercekat. Jantungnya berdegup kencang. Rasanya kata-kata itu bukan sekadar teks—melainkan suara yang menempel di telinganya. “Kenapa dia ngomong gini…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar di rumah yang sunyi. Ia mengetik, ‘Om, maksudnya apa?’—tapi menghapusnya sebelum terkirim. Jemarinya gemetar. Notifikasi kembali berbunyi. Pesan berikutnya, “Kamu penasaran, kan?” Alena menutup mulut dengan tangan, mencoba menahan napas yang memburu. Semakin ia menolak, semakin godaan itu menempel. Sekali lagi ponsel bergetar, “Saya tahu kamu sedang membaca pesan ini.” Alena menegakkan tubuhnya di sofa, mata melebar. Kata-kata itu terasa nyata, seperti seseorang berdiri di belakangnya, menatap langsung. Pandangan Alena tertumbuk ke CCTV kecil di sudut ruang tengah. Lampu indikator berkedip pelan. “Gak mungkin… Om Darren bisa lihat sampai sini. Ini rumahku…” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia mengetik balasan, "Terserah Om deh. Aku sama sekali gak tertarik ke hubungan itu. Jadi jangan ganggu lagi." Tak sampai beberapa detik, layar menyala lagi, “You’re just confused. Satu langkah lagi, ucapan tidak tertarik itu akan jadi jebakan buat kamu sendiri.” “Kamu yakin bisa menghindar terus, Alena?” Alena menggigit bibir, perasaan bercampur. Marah, takut, tapi... penasaran. Jari-jarinya kembali mengetik cepat, “Kenapa Om terus maksa? Saya udah jelas nolak, kenapa gak berhenti aja?” Balasan datang panjang, “Karena saya bisa melihat sesuatu yang bahkan anak saya sendiri tidak sadar. Kamu butuh lebih dari sekadar perhatian anak muda. Kamu butuh seseorang yang mengerti, yang bisa membuatmu merasa diinginkan sepenuhnya. Dan Keandre… belum sampai ke sana.” Alena membekap mulutnya. Dadanya sesak. Ia ingin melempar ponsel jauh-jauh, tapi mata dan pikirannya tetap tertambat pada kata-kata itu. Matanya menatap layar, menunggu—tak tahu apa yang akan dikirim Darren selanjutnya. ••• Sore itu, rumah Wibisono terasa hangat. Darren duduk di ujung meja, sesekali menatap Keandre yang sibuk dengan ponsel. “Kamu nggak ajak pacarmu ke sini nanti sore?” suara Darren ringan, tapi matanya menyorot tajam. “Sekalian belajar bareng lagi. Ujian kalian udah makin dekat, kan?” Keandre tersenyum kecil. “Maunya gitu, Pa. Kayak biasa.” Darren mengangguk, mengaduk sup tanpa benar-benar fokus. “Bagus. Rumah ini terlalu sepi kalau nggak ada tamu.” Keandre terkekeh. “Papa aja suka sepi. Kalau ada Mama pasti rame lagi.” Darren tersenyum tipis, tak menanggapi. Ia meneguk air putih, menatap putranya lebih dalam. Beberapa menit kemudian, Keandre sudah duduk di sofa ruang keluarga dengan ponselnya. Darren keluar sambil membawa secangkir kopi, langkah santai, tapi matanya tetap tertuju pada putranya. “Udah kabarin Alena?” tanya Darren, meneguk kopi perlahan. “Udah, Pa. Dia jawab barusan. Katanya oke, nanti sorean dia ke sini,” jawab Keandre, semangat. Darren mengangguk. “Bagus. Rumah ini rame, gak terlalu sepi.” Keandre tersenyum. “Papa mau ikut belajar bareng juga?” Darren mendengus pelan. “Papa belajar soal bisnis aja. Ujian kalian beda dunianya.” Keandre tertawa, bangkit, menuju kamarnya untuk menyiapkan materi belajar yang akan dipelajari ulang nanti sore. Darren menyesap kopinya lagi. Wajahnya datar, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tidak pernah bisa ditebak. ••• Di rumah sendiri, Alena bergegas menyiapkan laptop dan catatan. Ponsel bergetar, Keandre mengingatkan ia akan dijemput. Ia membalas, “Iya, jemput aja. Aku siap-siap dulu.” Tapi hatinya tak tenang. Ia tahu, yang menunggu di rumah Keandre bukan hanya pacarnya. Saat cahaya matahari sore merambat lewat jendela ruang tengah, Alena duduk di samping Keandre. Laptop dan catatan berserakan. Dua gelas jus jeruk setengah habis. Mereka belajar serius, sesekali bercanda. Tapi tatapan Darren—walau singkat dari kursi dekat rak buku—membuat Alena tak bisa fokus penuh. Keheningan dipotong suara hujan deras di luar, lampu hangat rumah memantul di kaca. Alena merasakan ketegangan menempel di udara. Beberapa jam berlalu, saat Keandre ke kamar mandi, Darren yang tadi naik ke kamarnya, kembali muncul dari tangga, menyandarkan bahu di ambang pintu ruang tengah. Senyumnya tipis, tapi matanya dalam—seperti menimbang sesuatu yang hanya bisa ia rasakan sendiri. “Sudah selesai belajarnya?” suaranya rendah, hampir berbisik, terdengar begitu dekat meski ia masih berdiri di pintu. Alena menoleh sekilas, lalu buru-buru menunduk. “Iya, Om. Cukup… buat hari ini,” jawabnya sopan, jari-jari meremas tumpukan kertas. Darren menyilangkan tangan di d**a, matanya tak lepas dari gadis itu. “Di luar hujan deras. Jangan pulang dulu.” Alena menelan ludah. Dadanya sesak tanpa alasan jelas. “Gak apa-apa Om… nanti juga reda…” suaranya pelan, nyaris terdengar gemetar. Darren melangkah beberapa langkah ke depan, tetap menjaga jarak tapi cukup dekat untuk membuat Alena merasakan kehadirannya. Nada suaranya berubah lebih lembut, menembus udara dingin dari hujan di luar. “Lagipula… sudah malam. Tunggu di sini saja. Seperti kemarin.” Alena menelan ludah lagi. Jantungnya berdetak lebih cepat, tangan gemetar menumpuk kertas yang sebenarnya sudah rapi. Ia mencoba fokus pada suara gemericik air dari kamar mandi—tapi rasanya sia-sia. Hanya ada mereka berdua di ruang tengah, hujan di luar, dan ketegangan yang nyaris bisa dirasakan di kulit. “Ih… Om serius amat sih ngomongnya,” Alena berusaha terdengar santai, tapi senyum tipisnya gagal menutupi getaran di suaranya. Darren tersenyum samar. Langkahnya semakin dekat, tapi tetap menghormati jarak. “Kalau menyangkut kamu… saya memang serius,” ucapnya, suaranya menembus ruang, hangat tapi penuh tekanan yang tak bisa diabaikan. Alena menunduk, pura-pura merapikan buku. Tapi pipinya memanas. Jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata itu sederhana, tapi ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang membuatnya tergoda dan takut sekaligus. Ia merasakan udara seolah berubah. Hujan di luar, lampu hangat di dalam, dan kehadiran Darren yang begitu dekat—mengaburkan batas antara aman dan berbahaya. Nafasnya tersengal. Ia ingin mundur, tapi kakinya terasa menempel di lantai, seakan tubuhnya menahan dirinya sendiri. Darren melangkah perlahan, jarak mereka semakin dekat. Tangannya terulur, lembut, mengambil telapak tangan Alena. Ia menatap matanya dengan intensitas yang membuat Alena nyaris lupa bernafas. Tanpa kata-kata panjang, Darren menekankan satu ciuman singkat di telapak tangannya. Suara detak jantung Alena terasa bergema di telinga sendiri. “Manis,” bisik Darren, suaranya berat namun lembut, hanya satu kata yang cukup menusuk hingga ke ujung tulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD