Sorong, 2013
Beberapa bulan setelah pernikahan Mala, Madya memutuskan untuk menikahi Wanda. Ia bertekad harus move on setelah hatinya patah. Namun ada perasaan tak ikhlas menghampiri dirinya ketika memikirkan bahwa ia dan Mala berakhir dengan pasangan masing-masing.
Madya menunggu panggilannya dijawab oleh Mala. Pria gagah itu sengaja menghubungi Mala walaupun ia tahu mungkin reaksi Mala akan biasa saja.
"Mala.. minggu depan aku akan menikah.." Ucap Madya.
"Benarkah? then congratulation, Dya.." Suara Mala menjawab dengan kaku.
Entah sejak kapan mereka berdua menjadi sekaku ini.
"Bagaimana kabarmu, Mala? Sehat?" Madya mencoba membuka pembicaraan.
"Syukur sehat, Dya.. Kamu sendiri bagaimana?"
"Tentu sehat fisik.. tapi hati tidak.." Jawaban Madya memang diplomatis. Ia berharap Mala menyadari kode yang ia berikan.
"Hah bagaimana? hati kamu kenapa?" Mala sedikitpun tak menangkap sinyal maksud Madya.
Ya, Mala selalu seperti itu. Ia selalu berpikiran lurus. Bahkan walaupun sudah jelas Madya menunjukkan perasaannya, namun bagi Mala, selama hal itu tak pernah diungkapkan, maka akan dianggap angin lalu.
"Biasa.. deg-degan mau menikah" Jawab Madya mengalihkan maksudnya.
"Ooh.. semoga lancar terus ya sampai hari H"
"Terima kasih, Mala"
Begitulah pembicaraan mereka. Hanya singkat namun selalu meninggalkan makna yang dalam bagi Madya.
Kembali terkenang oleh Madya, Mala kecil, gadis 13 tahunnya yang sedang tertawa bercanda dengan sepupunya.
"Mala.. sini nak!" Panggil Mama Karin, ibu Mala.
"Ya Ma?" Sahut Mala sambil mendekat ke arah ibunya.
"Kenalan dulu, ini Madya.. baru datang dari kampung. Anaknya om Jack."
Mala hanya menatap pemuda kecil di depannya yang juga sedang menatap dirinya dengan tatapan terkesima.
Mala tersenyum canggung, kemudian menganggukkan kepalanya kepada Madya tanda salam kenal.
"Memang anak-anak kita ini harus dikenalkan. Supaya mereka saling mengenal saudaranya." Celetuk seorang tante-tante pemilik rumah dimana Madya dan Mala berkenalan pertama kalinya.
"Betul! Jangan sampai mereka kawin saudara!" Sambut tante lainnya.
Mala menatap ibunya meminta ijin untuk beranjak pergi dari ruangan ini. Ia jengah dengan pembicaraan ibu-ibu yang tak ia pahami ini.
Setelah mendapatkan ijin ibunya, Mala menuju ke teras, bergabung dengan saudara sebaya-nya. Mereka tertawa dan bercanda. Sementara Madya, hanya mengawasi Mala sambil tersenyum di sudut teras. Jantungnya serasa akan meledak melihat senyum Mala. Seumur hidupnya yang masih remaja ini, baru pernah Madya terkena panah cinta, ia tak bisa melepaskan matanya sedetikpun dari Mala.
Madya berdecak kasar, lagi-lagi lamunannya tentang Mala membuatnya merasa sedih. Dulu ia berpikir mungkin perasaannya saat itu hanyalah cinta monyet dan akan hilang dengan sendirinya, namun ternyata perasaan itu tak kunjung hilang, justru semakin meluas dan meradang di hatinya.
Ketukan pintu membuat Madya bangkit dari duduknya dan menemukan siapa yang mengetuk pintu kamarnya.
"Ada apa, ma?" Tanya Madya ketika melihat ibunya sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Itu, ada tamu dari WO. Kamu sudah bayar semuanya kan nak?" Tanya sang ibu dengan wajah khawatir.
"Lunas ma. Mama tenang aja." Jawab Madya sambil beranjak menuju ke ruang tamu untuk bertemu dengan tamunya.
***
Mala kaget begitu melihat sebuket mawar berada di atas tempat tidurnya. Ia mengambil sebuah kartu di sana.
"Untuk Mala istriku yang cantik. Suamimu" Mala tersenyum sangat lebar mendapatkan perlakuan romantis dari Sani.
Menjalani pernikahan selama beberapa bulan ini, tak meluputkan mereka dari pertengkaran, namun setelahnya, sikap manis Sani akan meluluhkan hati Mala.
Segera Mala berlari dengan menggenggam buket bunga itu dan menemui Sani di dapur.
"Kenapa sih San harus beli bunga begini? Ini kan mahal.." Kata Mala tanpa intro apapun..
"Kamu ini.. sudah nikah 6 bulan masih aja panggil nama" Protes Sani.
"Trus harus panggil apa dong? Sayang? Cinta? Bebeb? ih..!"
"Ya emang kenapa?"
"Aneh ah.. udah hampir 4 tahun panggil nama ga masalah, kok sekarang jadi masalah?"
"Ya udah, ga apa-apa panggil Sani aja."
"Oh iya San, kenapa harus beli bunga begini sih?"
"Dih.. dimana-mana tu ya La.. cewek pasti senang diromantisin suami!"
"Ya senang San.. tapi kan sayang duitnya. Mending ditabung buat bayar uang kuliah semester depan. Atau buat DP rumah. Masa mau jadi kontraktor begini terus?"
Begitulah Mala yang justru sedang senang-senangnya dengan kehidupan pernikahannya. Walaupun letih karena sibuk membagi waktu antara bekerja, melanjutkan kuliah magisternya dan juga kehidupan rumah tangganya.
Berbanding terbalik dengan Madya yang kebingungan dengan hati dan perasaannya.