Where's Papa?

1517 Words
Muak. MUAK SEKALI! MUAK! MUAK! MUAK! MUAK! Dia, perempuan berambut hitam lurus pendek sebahu itu, Grey namanya, nyaris menggerogoti laptopnya saking muaknya melihat laporan yang tidak kunjung selesai. Grey muak dengan tugas ini, Grey sudah sangat muak. Jalan terbaik dari semua ini adalah menutup laptop, mandi, mengenakan gaun yang dibelinya di online shop yang baru saja tiba beberapa saat lalu dan pergi ke pantai. Niatnya sih begitu, sebelum tiba makhluk astral berkacamata bernama Oji. "Ikut!" "NGGAK." "IKUT, GREY. KUADUIN PAPA KAMU NIH?" "OJI, PLEASE! PAPA NGGAK TAHU AKU DI SINI, YOU KNOW? Cuma kamu yang tahu, oke?" "Ya, makanya ikut. Kan kalau rame-rame seru. Aku ajakkin Marquez juga, sama Melinda." "STOP. OKE? STOP." "Yaudah berdua aja kalau gitu." "OJI, DARIPADA GANGGUIN GUE, MENDING LO AJAKIN SAHARA JALAN, OKE? YA? UNDERSTAND?" "Sahara masih di rumah orang tuanya, Grey." "ALFIAN GIMANA ALFIAN! ATAU KEVAN! AJAKIN KEVAN AJA!" "Idih ogah." Baru saja disebut namanya, si Kevan muncul sambil membawa perlengkapan muncak. "Buruan ganti baju. Lima menit, ya." Kevan berkata kepada Grey. "Mau muncak, Kev? Ikut dong." "Nggak usah, Oji. Entar lo nyusahin." "Tiba-tiba banget ngajak muncak? Pake bismillah dulu kek," celetuk Grey. "Yaelah buruan. Mau gue yang bajuin?" "g****k banget sih pemikiran lo." Grey merinding. Tapi hal itu malah bikin Kevan cengengesan. "Bentar!" "Aa Kevan, Oji juga mau ikut." Oji menatap Kevan dengan puppy eyes. "Jangan, ya, Oji. Kasih napas dong gue berduaan sama Grey. Lo semingguan ini udah nempelin dia mulu pagi siang malem. Hari ini giliran gue, oke? Fine? And you? Thank you." Oji menyengir seraya membetulkan letak kacamata bundarnya. "Hehehe, baik Aa Kevan. Yaudah kalau begitu Oji mau ngajakkin Prisila ngafe ajalah. Jagain Grey ya." "Y." Tidak menunggu lama, Grey keluar lengkap dengan pakaian dan peralatan mendakinya. Perempuan itu mendelik ke arah Kevan sebelum mengunci pintu apartemen tuanya rapat-rapat. Kevan membantu membawakan tas Grey ke mobil. "Apartemen lo ini udah tua banget. Tinggal nunggu robohnya aja lagi. Lagian kenapa betah banget sih di sini? Pelaku pembunuhan juga masih berkeliaran bebas. Lo nggak ada niatan buat pindah apart, Grey?" "Nggak minat." "Segitunya tergiur sama harga miring?" "Kev, nggak usah ngajak ribut ya pagi-pagi begini." Kevan cengengesan, kemudian melajukan mobilnya keluar dari area parkiran apartemen tua yang terletak di pemukiman kumuh itu. *** Sebelum mendaki, Grey dan Kevan mampir dulu ke warung di depan. Mereka membeli beberapa roti untuk dibawa dan air mineral. "Taruh di tas gue aja, biar tas lo nggak berat." Grey menuruti. Perempuan itu lalu memasukkan makanan cadangan ke dalam tas Kevan dan perhatiannya tidak sengaja teralih kepada televisi kecil di dalam warung yang menampilkan sebuah berita. Tetapi bukan beritanya yang membuat Grey tertarik, namun kepada sosok yang muncul di layar sana. Seorang pria dengan perut buncit yang terekam sebentar di dalam sana. Kapan terakhir kali Grey menghubunginya? Rasanya nyaris setahun berlalu. "Udah siap, Grey?" Suara Kevan mengalihkan perhatian Grey. "Ayo, Kev." *** Drrrrtttt ... Ponsel di saku baju Grey bergetar lama. Tanpa berlama-lama Grey langsung mengangkatnya tanpa membaca nama yang tertera di balik layar. "Halo— "Mama bunuh diri!!" "..." Grey tidak bisa berkata apa-apa. "Grey? Kenapa? Itu siapa yang telfon?" "Mama ..." Grey menatap Kevan dengan gemetaran. Sedangkan Kevan menunggu. Menunggu Grey menyelesaikan ucapannya. "... bunuh diri." *** Bahkan, saat mama meninggal selesai dikubur pun, papa nggak menampakkan diri secuil pun. Tidak ada yang bisa menghubungi papa. Entah apa yang sedang papa lakukan, tidak ada kabar sama sekali mengenai dirinya hingga kini. Papa ... menghilang begitu saja. Dan mama ... menghilang untuk selamanya. Kini ... hanya tersisa Grey sendirian. Tut ... tut ... tut ... Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan ... Selalu seperti itu setiap Grey menelpon papa. Sebenarnya ... di mana papa? Ini sudah sebulan dan papa tidak pernah memberi kabar. Papa menghilang begitu saja seolah ditelan bumi. *** "Halo, Grey?" "Halo, Om Arkan. Ada kabar nggak mengenai papa?" "..." Hening cukup lama. Setelah itu terdengar bunyi grasak-grusuk dari seberang panggilan. "Halo, Grey, ini Papa." Dan setelah itu panggilan terputus begitu saja. 5 bulan berlalu setelah itu. Papa tidak pernah muncul. Nomornya sudah tidak aktif. Om Arkan pun tidak bisa dihubungi. Didatangi ke rumahnya, rupanya rumahnya dijual dan Om Arkan sudah pindah. Grey berusaha menghubungi nomor-nomor rekan papa dan hasilnya nihil. Grey diambang keputusasaan untuk mencari papanya. Sebenarnya, apa yang terjadi kepada papa? Di mana papa? Entah papa sengaja meninggalkan keluarganya atau terjadi sesuatu kepada papa tanpa sepengetahuan Grey? *** Kevan di depan. Sudah berdiri di depan pintu seraya memegang sebuah plastik berisi dimsum mentai favorit Grey. Ketika pintu terbuka, Kevan sumringah, senyumnya melebar. "Angelica bikin dimsum mentai!" Sapa Kevan dengan ceria seraya mengangkat dimsum mentainya di hadapan Grey. "Nggak tahu enak nggaknya, alasan gue bawa ke sini biar gue nggak keracunan sendiri." "Sialan." Tapi ... ada satu yang terlupakan. Yang sedari tadi berdiri di belakang Kevan. "Oiya, gue bawa Feliza nih. Anaknya mau minta maaf tuh," imbuh Kevan menambahi. "Ha—hai?" Feliza menyapa. "Grey, sorry ya yang waktu itu— "Canggung amat. It's fine. Gue maafin. Buruan masuk." Feliza tersenyum lebar. "Tapi ada Oji nggak?" interupsinya. "IH! KENAPA AJAK FELIZA, SIH? USIR NGGAKKKK?" Oji mengintip di belakang Grey. Tampangnya langsung cemberut. Sedangkan Feliza sudah melotot-lotot. "IH GUE JUGA NGGAK MAU LIAT MUKA LO ITU. KRESEK MANA KRESEK, TOLONG DONG GUE KESEL BANGET LIAT MUKANYA DIA!" Feliza tidak mau kalah. "Ceilah malah berantem kocak. Sana lo berdua minggat aja. Biar gue bisa berduaan sama Grey," usir Kevan. Feliza dan Oji saling melotot. Setelah mereka masuk, pintu apartemen tertutup sendiri. Dimsum mentai habis jadi rebutan. Bukan karena enak, tapi karena pada kelaparan. Sepanjang hari dihabiskan untuk menonton film horor dan bermain game bersama. Kadang Feliza dan Oji berkelahi dan yang kepusingan Grey sama Kevan. Santapan terakhir, mie kuah dengan telor orak-arik spesial buatan Kevan. Jangan ditanya, Kevan ini juaranya masak mie. Mie buatannya lebih enak dari mie abang-abang di luar sana. Sembari makan mie ditemani kerupuk dan es teh buatan Feliza, mereka asik mengobrol. Dan sampai lah mereka di topik, "Gimana karir model lo? Lancar?" tanya Grey sembari meminum es tehnya. "Aman. Dua hari lagi mau berangkat ke Paris," sahut Feliza. "Bukannya harusnya hari ini, ya?" Kevan menimpali. "Gue tunda," ucap Feliza dan bikin ketiga temannya reflek bilang, "Kenapa?" Secara serempak. "Gue, kan, nggak bisa tanpa Jemma. Sehari tanpa Jemma tuh ibarat dunia tanpa isi." "CAKEPPPP." Grey tertawa. Sedangkan Kevan dan Oji misuh-misuh. "Bang Jemma sekarang di mana emangnya?" tanya Kevan. "Polsek." "KOCAK, NGAPAIN?" Oji menceletuk. "Gue dilaporin gara-gara nabrak sepeda bocil di parkiran. Abisnya ngalangin! Salah siapa? Salah tuh bocil, kan? Emaknya noh nyalahin aturan, lagian itu tempat parkir mobil, bukan sepeda." Teman-temannya cuma bisa geleng kepala. Ya, bagaimana, ya? Anak ini, kan, memang dasarnya problematic. "Eh, by the way. Tadi gue ketemu sama penghuni apartemen sebelah. Gila kok cakep banget, ya?" "Yang mana maksud lo?" Grey memandang Feliza. "Itu mas-mas putih tinggi yang kemaren sama lo di akang siomay." "A Nael maksud lo?" sela Oji. "Nael namanya? ANJIR KENALIN DONG, GREYYY!" "Terus gue diapain?" Kevan mendelik melirik Feliza. "Idih ogah banget." Feliza merinding sekujur badan. "Yang mana, sih, manusianya? Seganteng apa dia? Gantengan mana sama gue?" "Eh lo deket nggak sama masnya?" "Kurang sih. Dia jarang di apartemen, sering keluar. Kerja pagi sampe malam." "Ih mau dong dikenalin." "Nggak mauuu." "IH PELIT BANGET! LO SAMA KEVAN AJA!" "NGGAK MAU, UUUUUU." "IDIH, SEGANTENG APA SIH MANUSIANYA— Tuk! Tuk! Ada sebuah ketukan di pintu. Grey bergegas menuju ruang tamu dan membukakan pintu. Mata perempuan itu langsung melek saat yang datang siapa. Iya ..., "Nael?" Laki-laki itu tersenyum tipis sembari mengangkat kresek hitamnya di hadapan Grey. "Cooling fresh, kan?" Grey menyengir. "HIHI IYA BANGETTTT. TERIMA KASIH, NAELLLL!!" "Sama-sama, Kak!" "Kak?" Kevan tiba-tiba keluar. "Nael? Oh, lo Nael?" Feliza di dalam langsung beranjak mendatangi ke pintu. "Eh, Mas! ANJIR GANTENG KALI KIMAKKKK!!" pekik Feliza refleks. Salah tingkah, Feliza langsung merapihkan rambutnya dengan tersenyum malu-malu. "Ha—hai, Mas. Ketemu lagi kita, hehe." "Aduh, Feli, kampung banget sih!" komentar Oji cukup pedas. "A—anu, Mas. Kenalin, Feliza. Tempo hari kita belum kenalan." Feliza mengulurkan tangannya kepada Nael dan langsung ditepis oleh Kevan. "Cakepan gue ke mana-mana." Kevan menimpali. "A Nael abis pulang kerja, ya?" Oji tersenyum sumringan ke arah Nael. Sementara Nael cuma senyum menanggapinya. "Ih, udah ah! Kalian tuh berisik banget malem-malem!" Omel Grey. Ekspresi marahnya langsung berubah hangat saat menatap Nael. "Nael, yaudah sana kamu istirahat. Besok kita makan bubur ayam di depan gang, ya?" "Iya, Kak." "IH APA BANGET SIH, GREY." Kevan memprotes sambil memelototi Grey yang sedang semar mesem. "Apanya yang apa?" "Kok lo menggatal sih sama manusia modelan begitu?" "Lah maksud lo apaan bilang manusia modelan begitu? Lo ngatain mas Nael?" Feliza ikutan ngomel ke arah Kevan. "Diem lo!" "Lo yang diem!" Kali ini Oji yang memelototi Kevan. "Jangan begitu, ya, sama mas Nael!" "Menggatal gimana, sih? Hihi ..." Grey menyengir tersipu. Tidak sabar besok makan bubur ayam bersama Nael. "IH APA BANGET COBAAAA!!!" "UDAH, AH, LO SEMUA MENDING PULANGGG! PULANGGGGG! INI UDAH JAM BERAPA!" "KITA TIDUR DI SINI MALAM INI!" sahut Kevan. "NGGAK ADA YA, NGGAK ADA! PULANG LO SEMUA!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD