"ANNAAAAAAA!!!!"
BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!
"ANNAAAAAAAA!!!!!!!!"
Pintu ruangan digebrak keras-keras tanpa henti selama dua jam penuh. Sementara hanya ada Nael seorang di dalam ruangan bawah tanah itu. Sekuat atau sekeras apa pun Nael berteriak, tidak akan ada yang mendengarnya. Ruangan bawah tanah itu kedap suara. Bahkan suara pistol yang menggelegar sekalipun tidak akan terdengar sampai ke luar.
Laki-laki itu beralih menghampiri meja nakas lalu membantingnya ke lantai sampai hancur. Bak orang gila Nael menghancurkan benda apa pun yang terlihat di matanya.
Cklek. Pintu ruangan terbuka dan memperlihatkan seorang lelaki berjas putih rapih bertubuh tinggi dengan rambut hitam.
"Nyaris saja mati konyol, kan."
Lelaki itu berdiri di ambang pintu. Ditatapnya Nael dengan sorot tidak berkedip. Dia Arzelion. Pewaris tunggal di keluarga konglomerat Ermanno, Arzelion Yusman Ermanno. Tatapan kejamnya mampu membuat orang lain tunduk. Dia sempurna dalam segala hal. Termasuk dalam hal membunuh.
"Kamu hampir membunuh Anna," lanjut Arzelion datar. Nada suaranya terdengar rendah, artinya dia sedang marah. Anna yang berdiri di belakangnya tampak tidak bergeming. Perempuan itu kemudian pamit keluar tanpa lupa untuk menutup pintu rapat-rapat. Anna hanya ingin menghindari pemandangan mengilukan yang akan terjadi setelah ini.
Tchuh! Nael meludah tepat mengenai jas milik Arzelion.
Arzelion kemudian berjongkok di depan Nael dan menarik rambutnya.
Sruk!
Arzelion seret rambut itu di lantai lalu Arzelion lempar tubuh Nael ke dinding. Nael yang merasa terancam langsung merangkak menjauhi Arzelion dan melawan sebisa mungkin. Namun apa boleh buat, Arzelion terlalu kuat. Tenaganya berkali-kali lipat dari Nael yang tidak seberapa.
Bruk!
Perut Nael ditendang, diinjak-injak, tubuhnya lalu dibanting ke sana kemari bak barang oleh Arzelion. Memang benar. Hidup Nael sebegitu tidak berharganya bagi Arzelion. Menghajarnya setiap hari merupakan bentuk dari kekejian Arzelion sebagai bagian dari keluarganya. Tanpa belas kasihan Arzelion menyeret Nael menuju toilet dan menenggelamkan kepalanya di dalam kloset. Nael yang kehabisan napas pun hanya berusaha untuk menarik kepalanya yang Arzelion tenggelamkan di dalam kloset. Nael memukul-mukul pinggiran kloset meminta agar Arzelion berhenti.
BYUR!
Sruk!
Kepala Nael ditarik dari dalam air lalu ditenggelamkan kembali. Berulangkali, sampai Arzelion merasa puas.
"Erhhhh ..., stop."
BYUR!
Lagi, lagi, lagi, dan lagi.
Nael terenyuh saat Arzelion menarik kepalanya keluar dari dalam air dan kemudian dilempar ke sudut ruangan kamar.
"Why did you do this to me," lirih Nael lemah.
Buk!
Ditendang Arzelion wajahnya. Lalu ditendangnya lagi perutnya secara membabi buta. Terakhir, dibanting Arzelion tubuh Nael hingga jatuh menimpa meja nakas.
"You killed her," sahut Arzelion dingin.
"KILL WHO!!"
Buk!
Nael merintih. Tangannya berusaha menggapai pintu. Dia merangkak dengan amat menyedihkan mendekati pintu sampai mulutnya menjerit saat Arzelion menginjak tangannya hingga terdengar bunyi krak! yang mengilukan.
"ARGHHHH ...,"
Arzelion menginjak punggung tangan Nael semakin kuat.
"I don't know you ...!"
"Kamu ingat bahwa kamu membunuhnya?"
"I DON'T KNOW, SHITTT—ARGGHHHHHHS!!"
Arzelion menginjak d**a Nael sekuat tenaga.
Jujur Nael tidak ingat apa pun. Nama, umur, tempat tinggal, bahkan keluarganya pun Nael tidak ingat. Seakan kepalanya baru saja direset ulang. Nael tidak bisa mengingat apa pun. Bahkan alasannya ada di sini dan diperlakukan seperti ini, Nael tidak tahu.
"Kamu tidak perlu mengingatnya. Karena kamu gila."
Dan Nael tidak tahu siapa perempuan yang Arzelion maksud.
"FUCKKKK!"
BUKKK!
PRANGGG!!!
Belum sempat Nael menyentuh bahu Arzelion, Arzelion sudah lebih dulu menyeret Nael dan melemparnya ke jendela hingga menghantam teralis dan memecahkan jendela kaca kecil yang berada di sana.
"Let me go ..., let me go ...," Nael memohon. Laki-laki itu bersujud di kaki Arzelion dengan sekujur tubuh gemetar ketakutan. "Let me go ...,"
"Let me go ..., forgive me ..."
Arzelion menatap insan berbahaya yang sedang memohon ampun di bawah kakinya ini. Tangisan dan ketakutan itu ... palsu. Arzelion bahkan tidak merasakan secuil pun ketulusan dari setiap ucapannya. Bukan karena hati Arzelion sepenuhnya tertutupi oleh kebencian—tidak. Itu karena orang di hadapannya ini benar-benar iblis.
"Beg for her forgiveness up there."
"f**k you."
"Burn in hell. You."
"You too."
Arzelion menahan diri. Sekuat tenaga untuk menahan agar kepalan tangannya tidak melayang ke wajah sialan itu.
"I'll kill you, Nathanael."
"..."
"Saya akan terus membunuh kamu sampai kamu merasa putus asa dan berpikir bahwa mati bukan pilihan yang tepat untuk iblis seperti kamu,"
Arzelion tercekat.
"... kamu tidak pantas berada di neraka. Kamu lebih pantas di sini, bersama saya. Biar saya yang menghukum kamu lebih dari Tuhan."
CTAK!
"ARGHHHHH!!!"
Arzelion menginjak-injak jari tangan Nael sampai patah, berulang kali, tanpa henti, tanpa ampun, penuh dendam, penuh kebencian.
***
Nael dibiarkan tidak makan seminggu. Laki-laki itu tergolek di atas lantai dengan sekujur tubuh penuh luka. Terakhir kali, Arzelion menyiram luka yang dikorek-nya di bahu Nael dengan cuka. Itu sekitar tiga hari yang lalu. Dan hari ini, Arzelion kembali datang membawa pisau tumpul dan sebotol minuman.
Arzelion mengunci pintu, kemudian menarik kursi dan duduk di hadapan Nael yang tertekuk mengenaskan.
Arzelion membuka tutup botol air mineral tersebut kemudian menunjukkan kepada Nael. Tidak ada secuil pun niatan untuk memberinya air. Tidak, Arzelion tidak semurah hati itu. Air mineral yang tutup botolnya dibuka Arzelion itu kemudian ditumpahkannya tepat di hadapan Nael. Agar Nael tersiksa dengan rasa haus yang menggila itu.
"Kamu sudah ingat sekarang?"
"..."
"Berpura-pura bodoh tidak akan membuat kamu aman. Kamu bahkan menahannya selama ini." Arzelion membalas tatapan tajam Nael. "Dari tatapan kamu, sepertinya kamu sudah tidak tahan ingin menggorok leher saya."
"..."
Arzelion mengambil tangan Nael dan kembali melanjutkan goresan di lengannya membentuk barcode menggunakan pisau tumpul miliknya.
Sakit? Nael bahkan tidak merasakannya lagi. Pun saat Arzelion menyiram goresan luka itu dengan cuka. Nael hanya berjengit samar seraya mengerutkan kening tipis.
"Why did I kill her? What twisted reason drove me to it? Even now, the silence screams louder than my guilt—and still, I feel nothing."
"b*****t kamu. Kamu merampas dunia saya. Dengan merampas milikmu saja masih belum cukup untuk membalas itu. Kamu merenggut ibu saya dengan kejam. Karena kamu tahu hanya ibu saya yang saya miliki. Without her, I am nothing, Nathanael."
"You can kill me now, if you want. Why do you have to torture me and keep me locked up like this? Five years? Six? How old am I now? What kind of cold, godforsaken place is this?"
"... you're cruel."
Arzelion tertawa.
"Kill me," tantang Nael putus asa. Suaranya nyaris seperti udara. "Kill me, you damn Indonesian."
BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!
BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!
BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!
BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!
"ANJINGGGG!" teriak Nael dengan aksen bahasanya yang terdengar kaku. Kata itu sering diucapkan Arzelion ketika mengumpatinya.
BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!
BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!
BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!
BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!
Nael di ambang batas menahan diri. Laki-laki itu merampas pisau di bawah kaki Arzelion dan—set!! Belum sempat menggenggamnya, pisau itu sudah lebih dulu ditendang ke sudut ruangan oleh Arzelion.
Nael merangkak menggapai pisau itu, namun tubuhnya dibanting. Sekali, dua kali, tiga kali. Ditendang, diinjak-injak, dibanting, dilempar. Remuk sudah.
SRAT!
Pisau itu direbut Nael, dan dalam sepersekian detik, benda tajam itu sudah menancap di perut Arzelion, membuat lelaki itu membelalak dan jatuh ke lantai.
Nael merintih, berusaha bangun sekuat tenaga. Nael sempoyongan, kemudian menendang tubuh Arzelion sampai telentang menghadapnya.
Melihat Arzelion terkapar, Nael mengangkat kakinya dan CRAT! Kaki itu menekan pisau semakin dalam menusuk perut Arzelion.
Baru Nael hendak bersimpuh untuk menarik pisau itu kemudian menusukkannya lagi, tiba-tiba Anna masuk usai mendobrak pintu. Perempuan itu menjerit sekeras-kerasnya sehingga suaranya mampu memanggil penjaga di luar sana untuk berdatangan.
CTAK! KREK!
Leher Anna dipatahkan. Nael melempar tubuh Anna ke sisi Arzelion dan melarikan diri.
Siapapun penjaga yang menghalangi jalannya dibunuh begitu saja. Setiap langkah, selalu meninggalkan jejak darah.
Usai keluar dari rumah besar itu, Nael berlari ke arah hutan.
Berlarinya amat pelan, nyaris tidak sanggup menopang beban tubuhnya sendiri.
Napas tersengal-sengal, hujan lebat, langkah kaki kian melambat. Sudah seharusnya Nael mati dari tadi. Manusia normal macam apa yang masih hidup setelah tubuhnya mengalami guncangan hebat seperti ini?
Tidak. Tidak ada waktu untuk berhenti. Sebelum malam, Nael harus sudah keluar dari hutan ini. Percayalah, tempat ini terisolasi. Lokasinya berada sangat jauh dari pemukiman warga. Tidak akan ada satupun kendaraan yang akan Nael temui, kecuali mobil milik penjaga. Ada banyak anjing di hutan ini. Anjing-anjing buas milik Arzelion yang dilepas begitu saja.
DOR! DOR!
Letusan pistol terdengar dua kali di belakang sana.
Jantungnya berdegup amat kencang. Sesekali tersandung dan nyaris jatuh.
Derap langkah menginjak tanah becek serta patahan ranting yang tajam, deru napas tercekat, dan ancaman di belakang sana. Entah malam ini bisa bertahan. Jika Nael menyerah, sudah jelas akan dieksekusi di tempat malam ini tanpa pengampunan. Tapi jika kali ini berhasil lolos dari tempat ini, lagi, Nael benar-benar akan sangat bersyukur.
Cahaya lampu mobil di tengah jalan di depan sana. Awalnya Nael kira mobil itu milik bawahannya Arzelion, namun saat berhenti dan memastikan, Nael melihat seseorang keluar dari dalam mobil itu dan berteriak ke arahnya. Orang itu melambai ke arahnya sambil berteriak, "KE SINI! CEPAT!"
Nael terenyuh di bawah guyuran air hujan. Petir menyambar-nyambar tanpa ampun. Sedangkan di belakang sana para penjaga mulai mendekat bersama senjata apinya. Dan orang di depan mobil sana itu terus meneriakinya.
Dengan keputusasaan Nael berjalan mendekati si pemilik mobil, berharap dia akan bersedia untuk membantunya.
"Cepat naik!"
Pria itu ...,
Pak Wendi.
***