Butuh waktu untuk menyesuaikan retinanya dengan pencahayaan yang temaram. Mungkin butuh semenit, dua menit, atau bahkan tiga menit lamanya hanya untuk bernapas dengan benar, karena yang dirasa hanya kesakitan luar biasa.
Sekujur tubuhnya terasa hancur. Menggerakkan satu jari pun rasanya hampir mustahil. Membuka ataupun memejamkan mata sama saja sakitnya.
Untuk sejenak, Nael meronta kesakitan. Napasnya mengembun di balik alat pernapasannya. Dadanya naik turun cepat, sampai terangkat, dengan mulut terbuka lebar berusaha mencuri pasok oksigen yang terasa kurang. Sekujur tubuhnya berkeringat, seakan jiwanya terasa seperti dicabut paksa.
Arzelion yang duduk di bingkai jendela sana cuma melirik sambil mengisap merokok. Sejenak, Arzelion memperhatikan Nael yang meronta-ronta kesakitan di atas tempat tidur seraya mengembuskan asap rokoknya dengan wajah yang tenang.
"Do you think i'm stupid?"
Ditatapnya Nael dengan pandangan menghardik.
Hanya terdengar suara napas Nael yang nyaring di dalam ruangan. Sementara itu Arzelion menjatuhkan puntung rokoknya di lantai, lalu beranjak dan mendekati tempat tidur Nael berada. Tangannya kemudian mencengkram kerah baju Nael, menahannya agar berhenti meronta.
Kacau, pikir Arzelion. Nggak pernah Arzelion melihatnya sekacau ini. Benarkah orang ini Nael yang dikenalnya? Rasanya ... seperti bukan. Seperti orang lain yang merasuki tubuhnya.
Arzelion menarik cengkraman kerahnya dan mengangkatnya mendekatinya. "Ini bukan salah kamu. Anggap saja kali ini adalah salah saya,"
"... yang seharusnya tidak lengah dari orang seperti kamu."
Set!
Arzelion menekan luka di d**a Nael sekeras-kerasnya menggunakan jari telunjuknya, membuat Nael melenguh semakin meronta kesakitan.
"Bebaskan kamu? Kenapa saya harus membebaskan orang seperti kamu di dunia luar? Kamu bahkan membunuh orang-orang saya. Dengan cara yang brutal. Jadi alasan baik apa yang bisa melepaskan kamu?" Arzelion menggeleng menatap Nael nyalang. "Tidak ada. Kamu tidak berhak berada di luar sana bersama orang normal lainnya. Kamu tahu, kan, kamu itu gila?"
"Hel ... phhh ..."
"I helped you. I saved you. Berulangkali. Tapi mungkin ini yang terakhir."
Arzelion menyentak tangannya dari Nael dan menarik kursi lalu duduk di sana tanpa sedetikpun berkedip dari Nael.
Arzelion menyilangkan kaki dan melipat kedua tangannya sambil melihat Nael yang menggeliat seperti ulat bulu di atas tempat tidur. Tidak ada niatan sedikitpun untuk memanggil dokter.
"Errrrhhhh ... hah ... hahhhh ... hhhh ... hh ..."
"Ribuan kesempatan saya buang buat bunuh kamu. Sekarang pun saya bisa lakukan itu. Tapi saya bodoh tidak melakukan itu dari awal!" TAK! Arzelion menyentak naik kerah baju Nael dan menatapnya tajam.
PRANGGG!!
Menoleh, Arzelion mendapati vas kaca bunga di atas nakas itu dilempar ke kepalanya dan membuatnya terundur. Arzelion melihat Nael yang mencabut kabel-kabel yang menempel di dadanya, infus serta masker oksigennya dan turun dari atas tempat tidur. Nael jatuh ke lantai dan bangkit lagi sambil menggenggam pecahan kaca di telapak tangannya, mengarahkannya kepada Arzelion.
Arzelion menghela napas jengah.
Diperhatikannya Nael yang gemetaran bertumpu pada dinding menjauhinya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering kerontang, keringat membanjiri wajahnya, napasnya putus-putus, dadanya sesak sekali. Nael diambang kematian.
Tuk.
Dan perlahan Nael merosot ke lantai. Tungkainya tidak sanggup berdiri terlalu lama. Untuk beberapa alasan, Nael mulai terengah-engah sambil bertumpu tangan di lantai. Serangan panik.
Ctak! Arzelion mencengkram rambut Nael dan membuat wajahnya mendongak menghadapnya.
"Dasar bodoh."
Srat!
Nael menggores wajah Arzelion, dan hal itu membuat Arzelion sempat melepaskan tangannya dari rambut Nael.
Melihat Nael merangkak dengan susah payah mencapai pintu, Arzelion langsung menyeret kerah belakang bajunya dan melemparnya hingga membentur tepian tempat tidur.
Belum berhenti sampai di situ, Nael kembali meraih pecahan kaca yang berserakan di lantai dan mencoba menggores Arzelion dengan itu. Tetapi yang ada, sebelum Nael melakukan itu, Arzelion sudah lebih dulu menendang tangannya hingga pecahan kaca itu terpental, kemudian dengan kasar Arzelion melempar Nael sampai menghantam jendela.
"Pembunuh sialan."
Buk!
Buk!
Buk!
"b*****t kamu."
Buk!
Buk!
Buk!
"Anak iblis."
Buk!
Buk!
Buk!
Buk! Wajah Arzelion dihantam. Dan hal itu sontak membuat Arzelion langsung membanting Nael ke lantai dengan sekeras-sekerasnya sampai tidak bergerak.
Arzelion bahkan belum mengeluarkan setengah tenaganya dan Nael sudah nyaris mati.
Arzelion akui Nael kuat. Bahkan, sangat kuat. Di saat-saat kritis seperti ini pun, dia mampu menyerang titik lemah Arzelion.
Pada dasarnya, Nael adalah insan yang paling menakutkan bagi Arzelion. Sangat. Terlebih, di situasi seperti ini, Nael bisa saja menusuk jantungnya andai Arzelion lengah sedetik saja.
Nael jatuh tersungkur di lantai. Tangannya kebas. Laki-laki itu merangkak menjauhi Arzelion.
Sedangkan Arzelion, dia mengambil pecahan kaca dan siap menusuk Nael dengan benda itu.
Namun, sebuah peluru tiba-tiba masuk menghantam jendela kaca dan sukses mengenai bahu Arzelion. Pecahan kaca digenggamannya terhempas ke lantai, jatuh di bawah tempat tidur. Posisinya terdesak, karena bagian jendela terbuka begitu lebar dan memudahkan si penembak entah dari mana itu membidiknya.
Dan posisi jauh lebih sulit saat Nael sudah beranjak dari posisinya sembari menendang kakinya. Semula Arzelion berpikir bahwa Nael tampak kuat—walau begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa orang ini pura-pura sekarat—tetapi dugaannya salah. Dia dengan mudah dilumpuhkan sesaat sebelum Arzelion bergegas menutup jendela kemudian lepas itu langsung menarik kerah baju Nael dan mencekiknya ke jendela.
Nael terdesak. Posisinya tidak menguntungkan. Melawan atau mati tercekik. Lagipula Arzelion ini lumayan lemah dari yang Nael bayangkan. Mungkin karena staminanya belum pulih sepenuhnya saat ini. Tapi tololnya, Nael jauh lebih lemah saat ini. Baru saja siuman sudah dipaksa berkelahi.
Entah berapa banyak pembunuh bayaran di luar sana, yang jelas yang satu ini jauh lebih sulit di-handle. Untuk melawan, sebenarnya tidak perlu banyak usaha. Namun sial, alam tidak mendukungnya.
BRUK!
Nael dilempar sampai menghantam meja dengan kekuatan penuh. Laki-laki itu merintih di lantai dengan napas putus-putus. Kesadarannya nyaris hilang namun kembali dipaksa tetap terjaga dengan kembali dibanting ke sudut lain.
"Arzelion sialan." Suaranya hampir habis dan tubuhnya kembali dibanting ke lantai. Kesadarannya menipis, Nael benar-benar diambang batas sadarnya. Posisinya tidak memungkinkan sekali untuk bangkit. Akhirnya laki-laki itu membiarkan Arzelion hendak membunuhnya—
BUK!
Mana mungkin? Mana mungkin Nael membiarkan Arzelion membunuhnya. Bahkan sebelum pecahan kaca itu berhasil menembus dadanya, Nael sudah lebih dulu merampas pecahan kaca itu dan menusuknya tepat pada luka di bekas tembakan di bahu Arzelion tadi dengan gesit hingga hingga membuat Arzelion menjerit kesakitan dan melepaskannya.
Tak. Tak. Tak. Tak.
Bunyi langkah sepatu.
Nael menoleh ke arah pintu. Gagangnya bergerak-gerak, ada yang berusaha membuka pintu, namun pintunya dikunci dari dalam oleh Arzelion sialan ini.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Nael beranjak bertumpu tangan pada dinding dan mendekati jendela. Disibaknya tirai jendela itu hingga sekujur dirinya terekspos oleh cahaya matahari sore. Mau kabur pun tidak ada kesempatan. Mungkin orang di bangunan seberang itu mau sukarela menembaknya sampai mati.
"Si bodoh." Si penembak itu, Junior, terkekeh sinis, melihat Nael dari teropong senapannya. Jari-jarinya mulai memfokuskan bidikan ke seberang sana, sudah siap membolongi jidat itu hanya dalam sepersekian detik. Tetapi tidak demikian niatnya. Tentu saja menghancurkan jendela kaca hanya dengan satu tembakan.
Jelas si bodoh di seberang sana itu terkejut dan sempat mematung.
"Move fast, stupid, or you'll die," gumamnya memantau.
Junior melihat Nael mulai menuruni jendela dan berpindah ke ruangan bawah melalui jendela kamar lain yang terbuka.
"Lamban," hinanya menyaksikan Nael yang berhasil menghindari para polisi itu.
Klek.
Baru saja menoleh hendak membereskan senapannya ke dalam tas, seujung pistol sudah menempel di dahinya. Pelakunya? Tentu saja Yneizaar dengan pakaian seksi andalannya.
"C'mon, J. Kamu nggak ada kerjaan lain selain mengganggu kegiatan orang lain?"
Junior menatap Yneizaar datar.
"Stalker, sialan."
"Dari sekian banyak pekerjaan yang berani nawarin kamu nominal 10 digit, tapi kamu lebih pilih main-main sama Ermanno?"
"Not your business."
"Tentu aja ini termasuk bagian dari bisnisku. Kamu yang asal masuk ke dalam bisnis orang lain. Kamu lupa aku berada di bawah siapa? Arzelion Ermanno."
"..."
"Kamu pikir dia akan selamat setelah kamu melakukan pekerjaan sukarela ini?"
Yneizaar tersenyum melihat ekspresi datar Junior. Sebenarnya Yneizaar tahu sekali di balik poker face itu ada kekhawatiran luar biasa. Walau begitu, orang ini nekat. Padahal ada banyak sekali yang mengintai dari berbagai sudut. Yneizaar salut.
"Tergantung," sahut Junior tenang sambil memasukkan senapannya ke dalam tas dan mengabaikan ancaman pistol yang masih menempel di jidatnya. "Kalau mati, mungkin nggak di tangan polisi. Tapi di tangan abangnya."
"Abangnya?" Yneizaar terbahak. Bisa-bisanya Junior mengucapkan kalimat selucu itu. "Kamu yakin dia abangnya?"
"Do you really not know, or are you just pretending to be stupid?"
Yneizaar mengerutkan kening. Dan saat itu, Yneizaar memilih membiarkan Junior pergi dari atap tanpa berniat untuk meletuskan pistolnya ke arah laki-laki itu.
"Menarik."
***
Polisi di mana-mana. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa anak buah Arzelion disebar di sini. Akses keluar utama sudah dihadang oleh polisi. Mana mungkin mereka membiarkan tersangka melarikan diri begitu saja. Percayalah, kecelakaan malam itu keseluruhannya dilimpahkan kepada Nael. Dan Nael jadi tersangka utama atas beberapa kematian.
"Grrrrhhh ...," Nael limbung, langkah kakinya mulai melambat. Sekujur tubuhnya mati rasa. Kepalanya sakit sekali. Napasnya mulai putus-putus. Yang tersisa darinya hanya adrenalin. Segala upaya dipaksanya untuk mencapai ujung koridor. Tetapi usahanya terhenti di tengah jalan saat adrenalinnya mencapai batas maksimal dan akhirnya tubuhnya ambruk ke lantai. Kesadarannya hilang seketika.
***
"Sadar, bodoh!" Buk! Buk! Wajahnya ditampar berulangkali membuat Nael sayup-sayup terbangun. Saat kesadarannya mulai kembali, Nael tersentak bangun mendapati dirinya diseret ke sebuah mobil hitam. Detik itu jelas Nael melawan, tapi rambutnya dicengkram kuat-kuat.
"Oke, tunda dulu ngajak berantemnya. Kita sedang dikejar waktu." Junior mendelik seraya menyalakan mobil.
Sret!
Baru mau tancap gas, leher Junior dicekik dari belakang.
"We go now or I give you back to Arzelion? Take your pick, stupid." Junior sedikit membentak.
"..." Nael mengamati Junior dari kaca spion tengah mobil. Apakah wajah orang ini bisa dipercaya? Dia tampak seperti seorang penipu. Nael bahkan tidak mengenali orang ini. Siapa dia? Dia berniat membantu atau justru ingin membunuhnya?
"Who the hell are you?"
"Nggak usah pura-pura nggak kenal, sialan. Lucu banget tampang lo begitu."
"f**k you."
"You too. Thanks."
Mobil melaju kencang keluar dari parkiran basement dan membelah jalan raya kota.
Disela menyetirnya, Junior melihat Nael yang diam saja sambil memperhatikan tas senapannya di kursi sebelah Nael duduk.
"Do you want to kill me too?" Suara Nael terdengar. Sepertinya dia sadar bahwa Junior diam-diam memperhatikannya sedari tadi.
"Kalau ada kesempatan."
"Why not now? This is your only chance."
"Seputus asa itu, Nathanael?"
"Is that my name?"
Junior menyatukan alis.
"Ada yang salah ya sama kepala lo?"
"Fuck."
Junior hanya mendelik. Sepertinya memang ada yang salah dengan kepalanya. Lihatlah keadaannya saat ini, kacau sekali. Untuk ukuran manusia normal, Junior yakin dia sudah pasti mati sejak di rumah sakit. Mana mungkin baru sadar dari dua belas hari koma sudah bisa bergelantungan di jendela lantai 14? Bahkan dia bisa melumpuhkan pembunuh dengan tenaga secuil itu. Memang hebat orang ini, Junior respect.
Nael menatap telapak tangannya yang kotor oleh bercak darah setengah kering. Tanpa sengaja pandangannya tertuju pada lengan tangannya yang terbalut oleh perban sedikit terbuka. Nael merasa ada sesuatu yang mengganjal di sana. Dibukanya lah perban itu sembari merintih kecil dan ketika perbannya terbuka keseluruhan, ada sebuah luka besar yang jahitannya kembali robek.
Ada sesuatu yang mengganjal. Nael mengorek-ngorek luka itu menggunakan jarinya. Laki-laki itu meringis, dan membuat Junior sadar lalu melirik melalui kaca spion tengah.
"Lo ngapa—
Chip pelacak.
Sialan.
"The f**k—
BRUKKKKK!!!!
Belum sempat melanjutkan umpatannya, mobil yang Junior kendarai dihantam oleh sebuah truk di perempatan jalan. Tabrakannya sangat keras hingga membuat mobil tersebut penyok.
Bersyukur Junior masih sadar. Namun kepalanya berdarah. Laki-laki itu melepas sabuk pengaman dengan susah payah dan melirik Nael yang terhimpit di kursi belakang.
"Biar gue bantu!" Junior meringis keluar dari kursi depan dan membuka pintu belakang dari luar. Dengan susah payah Junior mencoba menarik kaki Nael yang terhimpit oleh penyoknya kursi depan.
"s**t!"
Cring ... cring ... cring ...
Gesekan bunyi besi dengan aspal terdengar dari arah truk. Junior melihat seseorang berjalan mendekat ke arah mereka.
Tanpa basa-basi, orang itu menyerang Junior dengan tongkat besinya. Sempat terjadi perkelahian sengit antara Junior dan orang tersebut.
Ada satu detik di mana Junior lengah dan orang itu langsung menghantam kepala Junior menggunakan tongkat besi hingga jatuh ke aspal jalan.
Orang itu memukuli Junior secara membabi buta. Di posisi yang sudah berdarah-darah, Junior berusaha membalas serangan itu, namun yang ada justru dirinya lah yang semakin terpojok oleh sebab tubuh lawannya dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya yang sejujurnya bisa dibilang cukup besar juga—tinggi dan lumayan berisi, tetapi tidak terlalu berisi juga. Tetap saja orang ini besar sekali.
Buk ...!
Buk ...!
Buk ...!
Buk ...!
Mungkin orang itu sibuk memukuli Junior yang sudah tidak berdaya. Tetapi orang itu tidak menyadari bahwa Nael sudah berdiri di belakangnya dan SRET! CRATTT! Darah segar seketika mengucur dari leher orang itu usai Nael sabet dengan jarum infus.
Sambil memegangi lehernya yang mengucurkan darah, orang itu ambruk ke jalan dan mati seketika.
Sementara Nael—laki-laki itu tampak mematung. Tangannya mengepal menggenggam jarum suntik berdarah di sisi tubuhnya. Tahu selanjutnya apa yang dilakukannya? Nael berlutut lalu menusuk-nusuk d**a pria bertubuh besar itu menggunakan jarum suntiknya secara brutal sambil tersenyum.
"Bodoh, lo ngapain ...," Junior yang menyaksikannya tidak bisa berkata-kata.
Set! Nael langsung menghentikan aksinya dan beringsut mundur.
Laki-laki itu berjalan tertatih meninggalkan Junior. Sorotnya kosong, wajahnya linglung. Junior hendak mengejar, namun belum berapa langkah, Junior lihat Nael tumbang seketika.
Baru Junior hendak beranjak mendekati, Junior baru menyadari sesuatu. Perutnya ... mengucurkan darah. Tidak. Tidak sedikit. Ini banyak sekali. Junior merintih. Pecahan kaca mobil menancap di perutnya.
Ada suara sirine polisi. Sialan.
Junior tertatih mengambil tas senjatanya di dalam mobil kemudian menghampiri tubuh Nael dan memapahnya pergi dari sana.
Ponsel di saku celananya bergetar. Ada sekitar 16 panggilan tidak terjawab dari kontak di ponselnya. Junior merintih menahan sakit sembari terus memapah Nael menjauh dari lokasi kecelakaan mengabaikan panggilan itu.
Sudah jauh sekali. Junior menjatuhkan diri di suatu tempat yang sunyi dan kemungkinan tidak akan ditemukan oleh polisi. Laki-laki itu duduk bersandar ke dinding. Tangannya mengecek ponsel miliknya dan menemukan ada sekitar 20 panggilan tidak terjawab dan ada 10 pesan dari kontak yang dinamainya Mami.
Mami : kamu masih kerja?
Mami : kabarin Mami kalau sudah balik
Mami : hari ini Papi pulang, mampir ke rumah jangan lupa bawa makanan manis
Mami : bawa Sienna juga kalau memungkinkan, Papi kangen katanya
Mami : masih kerja?
Mami : sejak kapan deh sales motor sibuk banget?
Mami : oh iya, beliin Mami roti panggang di toko biasa itu ya
Mami : Sienna telfon Mami tadi
Mami : nyariin kamu, kamunya nggak angkat telfon katanya
Mami : Juju, masih kerja jam segini? Angkat telfon Mami.
Junior meringis menahan lukanya. Sepertinya pecahan kaca itu sudah masuk terlalu dalam menembus perutnya. Bergerak membuatnya kesakitan hebat. Napasnya tersengal-sengal.
Ponselnya bergetar menampilkan nama Mami di layarnya.
Tanpa basa-basi Junior mengangkatnya.
Baru terhubung, suara Mami langsung terdengar memenuhi gendang telinganya.
"WHERE ARE YOU NOW? KENAPA BARU ANGKAT TELFON SEKARANG?"
"..."
"PULANG ATAU MAMI ANCURIN SEISI BUMI INI?!"
"SALES MOTOR DOANG SOK SIBUK. PULANG NGGAK?"
"..."
"NGGAK ADA SUARANYA. DIMUTE KAMU?"
"..."
"Halo? Ju?"
"Juju di rumah temen, Mi." Junior menyahut, sebisa mungkin menjawab dengan suara yang tidak terdengar seperti orang sedang sekarat.
"Suara kamu itu kenapa? Kejepit ban kamu?"
"Abis keselek apel."
"Nggak jelas betul anak ini. Besok pagi Papimu berangkat ke Belanda. Nggak bisa lama-lama di NY. Mau lihat anak kesayangannya katanya."
"Juju titip salam aja sama Papi. Juju nggak bisa mampir."
"Rumah temen kamu yang mana? Shareloc."
"Ada ...," Junior hampir merintih. Laki-laki itu meletakkan ponselnya di bawah buru-buru lalu merobek bajunya dan membalut lukanya yang terus mengucur.
"Ju? Kamu kenapa?"
Junior beringsut mengecek Nael kelihatannya tenang sekali.
Tidak ada tanda-tanda apa pun.
Dia masih bernapas. Tapi napasnya terasa lemah sekali. Seperti nyaris tidak bernapas.
Jika terus berdiam di sini, mereka berdua bisa mati.
"Juju?!"
Klik. Sambungan diputus begitu saja. Mengumpulkan kekuatan, Junior kembali beranjak memapah Nael.
Tidak bisa ke rumah sakit. Arzelion maupun kepolisian bisa menemukan mereka.
Mungkin Junior harus mendatangi seseorang. Dan kebetulan lokasinya tidak berada jauh dari sini. Seorang kenalan lama. Kemungkinan dia akan membenci Junior, tapi tidak dengan Nael ...
Tiba-tiba, secara tiba-tiba sekali sebuah letusan tembakan terdengar.
Dan saat itu, letusan pelurunya mengarah kepada Junior. Tembakan pertama tepat mengenai paha Junior. Dan tembakan kedua sukses membolongi punggung atas Junior.
Saat itu, di sisa-sisa kesadarannya, Junior melihat orang-orang itu membawanya dan Nael secara terpisah.
Nael dibawa masuk ke dalam sedan hitam.
Sedangkan tubuh Junior yang kehilangan kesadarannya dibuang ke waduk.
***