Prolog

551 Words
“Atur tarikan nafasmu.. perhatikan targetmu dengan seksama” Aku dapat mendengar setiap instruksi ayahku, tanpa melepaskan penglihatanku melalui sniper scopes pada papan target yang berada sekitar 1.500 meter di hadapanku. Untuk sepersekian detik hanya suara hembusan angin di antara rerumputan yang terdengar. ZEEEP! Suara peluru yang ditembakan dari laras panjang senapan sniperku dengan sempurna menembus papan target. Ayah meraih teropong yang yang tergantung di dadanya, lalu berseru senang ketika tahu bahwa peluru yang aku lepaskan tepat menembus bagian pusat papan target. Aku pun tersenyum sambil merapikan senapan sniper yang tadi aku gunakan, melepaskan larasnya dan memasukkannya ke dalam tas perlengkapan bersama dengan beberapa peluru yang tidak digunakan. Ini adalah kali ketiga peluru tepat sasaran di waktu latihan tembak kami saat ini. “Ray.. Harl.. cepatlah, sepertinya hujan akan segera turun..” seru ibuku sambil merapikan peralatan piknik. Ayah berlari menghampiri ibuku dan membantunya sambil sesekali menggoda ibuku yang di sambut dengan tawa dan pipi yang memerah dari ibuku yang pemalu. Aku tersenyum melihat kemesraan mereka berdua, walau sudah menikah selama 19 tahun, aku hampir tidak pernah melihat mereka bertengkar. “Sayang..cepatlah..” panggil ibuku lagi. Aku pun berlari menghampiri mereka, menyerahkan tas perlengkapan tembakku kepada ayah dan mulai berjalan ke arah pintu belakang mobil bagian penumpang. Beberapa menit kemudian ayah sudah selesai memasukan semua barang yang kami bawa ke dalam bagasi dan siap melajukan mobil untuk kembali pulang. Setelah sekitar 300 meter melewati jalan berbatu, kami pun telah sampai ke jalan raya dan meninggalkan hutan. Aku menatap langit biru di balik jendela mobil yang melaju. Namaku adalah Rayne Bennet, usiaku tahun ini menginjak 18 tahun, anak perempuan satu-satunya dari Harley dan Mariana Bennet. Hampir setiap bulan kami datang ke padang rumput yang berada di tengah hutan ini untuk sekedar latihan tembak. Ayahku sangat menyukai berburu, sementara ibuku yang berhati lembut tidak menyukai perburuan. Baginya perburuan itu seperti pembunuhan keji saja, sebagai suami yang mencintai istrinya, Ayah pun berhenti berburu tepat setelah menikah. Namun untuk menyalurkan hobinya, dia mengajarkan anak perempuan satu-satunya menjadi seorang penembak jitu, entah sudah berapa jenis senapan yang pernah aku coba sejak aku berumur 13 tahun. Mulai dari senapan pemula dengan laras pendek, Karabin yang memiliki daya tembak lebih lemah sampai dengan senapan runduk yang baru saja aku gunakan. “Harl !” teriak ibuku yang terkejut menyadarkan aku dari lamunan. Ibuku berteriak lagi karena mobil kami bergerak tak beraturan menghindari rangkaian truk yang melewati jalur yang berseberangan. Truk yang berada di depan seperti memiliki masalah dengan fungsi remnya sehingga dua truk yang berada di belakang pun mulai kehilangan kendali dan bergerak ke berbagai arah hingga menabrak mobil kami. Untuk sepersekian detik aku hanya terdiam, “Tundukan kepalamu Ray!” Seru Ayah yang membanting stirnya ke arah kursi pengemudi untuk melindungi aku dan ibuku, bagian depan mobil kami pun menghantam salah satu truk. Sementara sisi depan lainnya terhantam truk lainnya, badanku sakit karena hentakan yang kencang. Aku dapat merasakan darah segar mengalir di pelipisku, pandanganku mulai buram. “Ayaaaah… Ibuuu…” rintihku sambil menahan sakit. Walau tampak tidak jelas, aku dapat melihat ayah dan ibuku yang berada di kursi depan terhimpit besi mobil yang ringsek karena tabrakan yang keras dari kedua sisi. Apakah mereka baik-baik saja? Kenapa tubuhku tidak dapat digerakan, kepalaku terasa sakit, mataku terasa berat dan kegelapan mulai menguasaiku. Aku terkulai lemas tak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD