Chapter 1

1652 Words
Aroma khas mulai merebak, daun-daun berjatuhan menghiasi sudut-sudut jalan dengan warna warni yang cantik, menandakan musim gugur telah tiba. Sebagian besar penduduk Clifford mungkin menikmati kebersamaan dengan orang-orang terdekat sambil menikmati secangkir teh hangat dan memandangi warna langit musim gugur yang mempesona. Namun aku di sini sendirian, memilih untuk menikmati keheningan yang tercipta sambil memandangi aliran tenang air sungai Ouse yang terhampar tak jauh dari tempat aku duduk. Keheningan seperti ini merupakan hal yang paling berharga yang bisa aku dapatkan khususnya lima tahun terakhir ini. Ya.. lima tahun yang bergerak cepat. Hampir tidak ada waktu bagiku untuk tidur dengan nyenyak, apalagi menikmati waktu untuk hanya berdiam diri seperti saat ini. Handphoneku bergetar, aku bergerak mengeluarkannya dari saku jaketku dan menswipe layarnya ke button hijau. “Ya Bi..” jawabku berusaha tenang. “Kau dimana Rayne?! Bukankah seharusnya kau sudah kembali? Jam kuliahmu sudah berakhir sejak 1 jam lalu!” Nada suara kencang terdengar, Bibi Lucia pasti marah. “Aku dalam perjalanan,Bi..” sahutku sambil meraih tas ranselku yang sudah usang dan berjalan cepat menuju rumah. “Cepatlah! Ada yang harus segera kau kerjakan!” ucap Bibi Lucia dan menutup panggilannya. Bibi Lucia adalah istri pamanku yang merupakan adik satu-satunya dari ayahku. Aku telah tinggal dengan mereka selama 5 tahun terakhir ini, lebih tepatnya bekerja di rumah mereka sebagai bayaran atas tempat tinggal, makanan dan biaya kuliah yang aku dapatkan dari mereka. Yeah.. lima tahun lalu ayah dan ibuku meninggal dunia karena kecelakaan. Kecelakaan yang walau sudah terjadi 5 tahun lalu, namun masih tergambar jelas dalam ingatanku. Setelah kepergian mereka, semua aset keluargaku pun habis digunakan untuk membayar hutang usaha ayahku. Paman Abram, sebagai keluarga satu-satunya bagiku berkenan menampungku di rumahnya. Mereka hanya memiliki satu anak laki-laki yang saat ini mereka kuliahkan di luar negeri, sementara aku si anak yatim piatu cukup mereka kuliahkan di universitas kecil di kota Clifford. Selain dekat dan murah, aku tentunya harus bekerja sebagai salah satu pelayan di rumah mereka. Well.. paman tidak memintaku karena dia menyayangiku sebagai keponakan dan anak dari kakak laki-lakinya, hanya saja mendengar sindiran Bibi Lucia yang terus meributkan biaya tambahan karena kehadiranku tentunya membuat aku jengah dan berinitiatif menyatakan dia dapat mengirit biaya satu pelayan sebagai gantinya. Dan tentunya dengan senang hati dia menerima ide itu. Lima belas menit kemudian aku telah sampai di rumah keluarga Bennet dan menuju pintu belakang yang langsung memasuki area dapur. “Akhirnya kau sampai juga sayang..” sambut Dorothy sambil memberikan celemek sebagai seragam pelayan untuk aku gunakan. Aku tersenyum mendengar nada sayang dari Dorothy yang merupakan kepala pelayan wanita di rumah ini. Dia adalah satu-satunya yang peduli padaku di rumah ini, sudah seperti nenekku sendiri dan aku sangat menyayanginya. Setelah memeluknya sebentar, aku menerima celemek yang dia berikan, menggantung tasku di dekat pintu dapur seperti biasa dan berjalan cepat mengimbangi jalan Dorothy sambil mengenakan celemekku. Meski sudah berumur 60 tahun, Dorothy masih terlihat bugar dan cekatan. Tentunya bekerja selama puluhan tahun di keluarga Bennet telah menjadikannya wanita yang lugas dan tangguh seperti saat ini. Kami berdua berhenti bersamaan di dekat Bibi Lucia yang telah berdiri di dekat meja makan dengan gaun yang membuatnya terlihat anggun layaknya wanita bangsawan. Matanya memandangku dengan raut wajah yang terlihat kesal namun dia berusaha untuk menahannya, yeah.. walau dia membenciku, well tepatnya membenci kehadiranku namun sebagai istri Abram Bennet yang memiliki kedudukan tinggi di kota Clifford membuatnya selalu menjaga sikap dan tidak memperlihatkan sifat aslinya. Aku dan Dorothy berdiri tidak jauh dari Bibi Lucia, tidak lama kemudian dua pelayan wanita yang seumuran denganku, Esther dan Adline, berdiri di sampingku dengan nafas tersenggal setelah tergopoh-gopoh berlari. Kami berempat berdiri tegap menunggu instruksi dari Bibi Lucia, hal biasa yang kami lakukan jika ada pengecekan dalam persiapan acara yang diadakan di rumah keluarga Bennet. “Bagaimana persiapannya, Dory?” suara Bibi Lucia terdengar tegas. “Menu yang dipilih kemarin sudah siap semua dan agar tetap hangat akan segera disajikan ketika nanti tamu tuan Abram datang, Nyonya. Semua perabotan sudah dibersihkan dan dipastikan tidak ada debu sedikitpun. Lalu gaun yang Nyonya pesan kemarin, sudah saya letakkan di kamar, Nona Rayne.” ucap Dorothy lugas. Aku mengerutkan kening dan menoleh kearah Dorothy “Kamarku?” tanyaku bingung. Buat apa gaun yang dipesan Bibi ada di kamarku? Pikirku. “Bagus, aku tidak ingin ada kesalahan satupun, Dory.” ucap Bibi mengabaikan pertanyaanku. “Tentu saja, Nyonya Lucia.” sahut Dorothy yang sama-sama tidak menjawab kebingunganku. Bibi Lucia menatapku “Kau harus segera membersihkan diri dan kenakan gaun yang sudah disiapkan, lalu tepat jam 7 malam tanpa terlambat 1 detik pun, sudah harus berada di beranda depan.” ucapnya lugas. “Apakah aku harus ikut serta dalam acara malam ini?” tanyaku bingung. Biasanya jika ada tamu keluarga ini, aku akan diminta membantu menyiapkan segala yang dibutuhkan lalu dia akan memintaku berdiam diri di kamar dan dilarang mengeluarkan suara sedikitpun yang nantinya dapat mengganggu ketenangan tamu mereka. “Hmm.. dan aku peringatkan untuk kau menjaga sikapmu. Pamanmu akan segera datang bersama mereka jadi cepatlah bersiap diri.” “Dan siapakah mereka ini?” “Keluarga Arturo, mereka adalah rekan bisnis pamanmu.” ucap Bibi singkat lalu dia pergi meninggalkan kami. Aku menoleh bingung ke arah Dorothy, “Aku tidak mengenal mereka.. kenapa Bibi memintaku menemui mereka malam ini? Sampai disiapkan gaun segala?” bisikku. Dorothy menarik nafas “Bersiaplah sayang.. jangan sampai kau memberi Nyonya Lucia alasan untuk memarahimu lagi karena tidak tepat waktu.” jawab Dorothy sambil menoleh ke arah Esther dan Adline, memberikan beberapa instruksi ke mereka dan berlalu. Aku melangkah ke kamarku yang berada di dekat dapur. Yeah.. kamar yang diberikan Bibi untukku adalah kamar pelayan, walau ada beberapa kamar tamu yang masih kosong di lantai 2 namun dia merasa tak rela memberikannya kepadaku. Tentunya tidak diterima begitu saja oleh Pamanku pada saat itu, namun setelah perdebatan mereka berdua, Paman akhirnya pun mengalah dan menyetujui permintaan Bibi Lucia. Kamar itu seperti kamar pelayan pada umumnya, dengan luas 3 x 2.5 meter dengan jendela kecil yang mengarah ke taman belakang. Perabotnya pun sangat minimalis, hanya ada tempat tidur single dengan ukuran 90x200 cm, di samping tempat tidur itu terdapat meja kecil dan lampu tidur diatasnya. Lalu di sebelahnya, tepat di dekat jendela ada kabinet lemari pakaian kecil yang hanya setinggi pinggangku dengan panjang sekitar 80 cm yang sekaligus menjadi tempat buku-buku kuliahku yang aku letakan diatasnya. Lemari kabinet sekecil itu tidak masalah bagiku yang hanya memiliki beberapa helai pakaian, sehingga masih dapat masuk tertata rapi di dalamnya. Aku melirik ke arah gaun yang berada di atas tempat tidurku. Mencoba mengabaikan dan langsung beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu dengan malas aku mengambil gaun itu dan mengenakannya. Gaun berwarna putih itu memiliki cutting yang sederhana, dengan kerah renda dan menjuntai panjang tepat di bawah lututku. Aku merapihkan rambutku yang sudah mulai panjang sampai sepinggang, rambutku berwarna coklat gelap dan tebal. Aku membuka laci dan mengambil ikat rambut, aku suka kesederhanaan yang tidak menarik orang memperhatikanku. Lebih tepatnya tidak suka menjadi pusat perhatian, aku menarik kebelakang seikat rambut dan mengumpulkannya di puncak kepala dan menguncirnya. Ok..cukup sesimple ini saja, tidak perlu merias wajah. Aku tersenyum miris.. well.. tidak ada juga satu pun alat make up yang aku miliki. Setelah merasa sudah rapih, tepat jam 18.55 aku keluar kamar menuju pintu utama, sedikit mempercepat langkahku teringat ucapan Bibi Lucia untuk tidak terlambat 1 detik pun. Tepat jam 7 malam aku sudah berdiri dengan tenang di samping Bibi Lucia yang sejak aku datang dia sudah berdiri dengan tegap dan anggun menanti kedatangan tamu undangan yang akan datang bersama Paman Abram. Sekitar beberapa menit kemudian sebuah mobil SUV putih melaju memasuki gerbang dan terparkir dengan sempurna tidak jauh dari tempat aku dan Bibi Lucia berdiri. Dengan sigap Eddie, salah satu pelayan lelaki keluarga Bennet, bergerak maju dan membukakan pintu penumpang mobil Porsche Cayenne Coupe itu. Seorang lelaki tua mengenakan setelan jas putih turun, aku menebak umurnya mungkin berada di awal 70an tahun, namun dia masih terlihat bugar. Dari sisi lainnya Paman Abram turun dan segera berlari menghampirinya “Selamat datang di rumah keluarga Bennet, Steffan.” ucap Paman Abram. “Hmm.. mungkin sudah sekitar 20 tahunan lalu aku terakhir ke sini.” Ucap lelaki tua yang di panggil Steffan itu. Bibi Lucia tersenyum dan ikut menghampirinya “Tepatnya 25 tahun lalu, ketika Andrei baru lahir.” ucapnya lembut. Aku tersenyum membayangkan sikap palsu yang Bibi Lucia tampilkan, well.. sisi dia yang seperti ini hampir tidak pernah dia tunjukan kepadaku, kecuali kepada Andrei anak lelaki satu-satunya dan merupakan sepupuku. Lelaki tua itu tertawa “ Iya.. benar dan pada saat itu masih ada sahabatku Robert.” ucapnya menyebutkan nama kakekku. Ah.. jadi dia adalah sahabat kakek. Aku hanya sebentar saja mengenal kakek dan nenekku, ketika umurku 6 tahun mereka meninggal dunia di tahun yang sama. “Rayne..!” Panggilan tegas Bibi Lucia menyadarkanku dari lamunan. Aku segera bergerak menghampirinya dan tersenyum menyapa kakek Steffan. “Jadi kau sudah sebesar ini Rayne sayang.. dulu ketika kita pertama kali bertemu di rumah Robert adalah ketika kau berusia 6 tahun.. apakah kau masih ingat kepadaku?” tanya Kakek Steffan yang masih menggenggam erat tanganku penuh sayang. Aku tersenyum kikuk “Emm.. tentu saja kakek, selamat datang.” ucapku berbohong untuk menjaga perasaannya. “Terima kasih sayang.. berapa usiamu saat ini? Sudah 25 tahun..” tebaknya Aku tertawa “Aku baru berusia 22 tahun, Kek. Namun tahun ini segera menuju ke 23.” jawabku. “Akh.. iya.. kau terpaut 4 tahun dengan Zhen.” sahut Kakek Steffan. Zhen?! Aku mengerutkan keningku. “Kau tidak ingat dengan Zhen? Zhenya Czar Arturo?” Aku tetap terdiam, entah karena kecelakaan itu atau bukan ingatanku saat berumur 6 tahun hilang entah kemana. “Eum.. masuklah dulu Steffan, Lucia segera siapkan makan malam kita.. dan Ray, segera bantu Bibimu nak..” sahut Paman Abram sambil mengarahkan Kakek Steffan ke dalam rumah. Walaupun aku masih bingung namun tetap berjalan mengikuti Bibi Lucia masuk dan membantu menyiapkan makan malam bersama Dorothy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD