BAB 6 | Pengakuan Tuan Kutub

1368 Words
"Jadi apa aja yang kamu bicarain sama Pak Gibran?" Fania menghela napas super panjang. Sejak mereka tiba di rumah, Farel terus saja bertanya soal bimbingannya dengan Pak Gibran. "Kamu mau tau aja, apa mau tau banget?" tanya Fania menggoda sambil tersenyum geli. Sedangkan Farel menatap Fania dengan tatapan super serius. Seolah dirinya ini memang sedang serius dan sedang tidak mood untuk bercanda. "Aku serius, Fania Aurellia!" Melihat wajah Farel yang semakin sinis menatapnya, Fania langsung diam dan menelan ludah. Baiklah, pada akhirnya ia memang harus menjawab kekepoan suaminya saat ini. "Ya seputar bimbingan aja, Rel. Tentang judul skripsi aku," jawab Fania sambil memindah-mindah channel televisi. "Bohong," cibir Farel.  Fania menoleh cepat dan melotot ke arah Farel. "Kok bilang aku bohong sih? Aku nggak bohong. Kalau lagi bimbingan ya bahas tentang skripsi aja." "Kalau cuma membicarakan soal skripsi, kenapa kalian banyak ketawa? Kayak orang sudah kenal lama aja." Farel mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tangannya bersidekap kesal. Enggan menatap Fania. "Memangnya kenapa kalau ketawa? Apa salahnya ketawa ketika ada hal lucu? Lagipula Pak Gibran baik, ramah, dan lucu, makanya aku juga jadi nyaman sama beliau." Baik, ramah, dan lucu? Nyaman apanya?!  Telinga Farel merasa terganggu dengan deskripsi Fania tentang Pak Gibran. Farel benar-benar tidak menyukai semua deskripsi itu. "Oh.... Nyaman ya? Kalau gitu seneng dong bisa bimbingan sama dosen kaya Pak Gibran? Kamu bisa cuci mata tiap hari!" Farel meninggikan suaranya di akhir. Kini ia kembali menatap wajah Fania, tetapi Fania lebih suka menatap layar tv. Ia sedang menonton film layar lebar kesukaannya. Farel berdecak kesal. Ia langsung menangkup wajah Fania agar gadis itu menghadap ke arahnya. "Aku lagi bicara sama kamu, bukan sama tembok." Fania berdecak dan membalas tatap Farel dengan kesal. "Apalagi sih sayang? Kamu mau ngomong apalagi?" Farel menghela napas panjang. Berkat panggilan sayang dari Fania kini marahnya sedikit berkurang. Jarang-jarang Fania mau memanggilnya sayang. "Kamu suka sama Pak Gibran?" entah karena otaknya yang tersumbat sesuatu atau bagaimana, Farel menanyakan hal konyol seperti itu pada Fania. "Suka," jawab Fania tanpa ragu dan disertai anggukan kepalanya. "Fania!" seru Farel tepat di telinga Fania. "Ya Allah, Rel... Aku kan nggak budeg! Nggak usah teriak di kuping aku dong!" balas Fania keki. "Aku nanya serius, jadi kamu jawabnya jangan bercanda." Fanai menghela napas panjang. Lagi dan lagi. Padahal ia sudah melakukan yang Farel inginkan. Ia sudah menjawab pertanyaan Farel. Bahkan dengan jujur. "Aku juga serius. Emang kamu liat aku lagi bercanda?" "Kamu beneran suka sama Pak Gibran?" tanya Farel sekali lagi. Katakan kalau jawaban Fania sebelumnya tadi Farel salah dengar. "Aku udah jawab tadi." "Aku mau jawaban yang lain," ucap Farel tegas. Membuat Fania mendelik heran ke arahnya. "Mau jawaban yang kayak apa kamu? Jawaban aku ya sama aja kayak tadi." "Aku mau jawaban yang jujur." "Aku juga jujur Farel Ardiansyah Pratama." Farel menggertakan rahangnya dengan kuat. "Terserah kamu mau suka sama siapa. Aku nggak peduli!" Farel langsung bangkit berdiri. Memutuskan untuk naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Melihat wajah Farel yang kesal setengah mati, Fania langsung terbahak begitu Farel menghilang dari jarak pandangnya. Rupanya suaminya itu sedang terbakar api cemburu. Fania tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Fania kira Farel tidak bisa cemburu. Nyatanya lelaki itu tahu yang namanya cemburu. Fania memilih untuk kembali melanjutkan tontonan acara tv. Ia tidak mau menyusul kepergian Farel. Biar saja sampai Farel benar-benar kesal. Ini sebagai balasan untuk Farel karena menjadi suami yang tidak peka. Tapi setelah lima belas menit Fania mencoba untuk fokus pada layar tv, ia malah kepikiran Farel.  Bagaimana kalau nanti ia dikunciin dan disuruh tidur di ruang tamu?  Bagaimana kalau nanti Farel mogok bicara padanya? Setelah mematikan layar tv, Fania langsung lari naik ke atas untuk menuju kamar Farel. Untungnya saat ia meraih gagang pintu, Farel tak mengunci kamarnya. Untunglah, hari ini ia masih bisa tidur di atas kasur yang empuk. Fania melihat Farel sudah memejamkan matanya dengan selimut yang menutupi tubuh. Tapi Fania juga tahu kalau Farel pasti sedang pura-pura tertidur. Dengan menggigit bibir bawah agar tidak kelepasan tertawa, Fania ikut berbaring di samping Farel. "Wah... Pak Gibran ternyata punya instagram." Bagus.  Fania memuji dirinya sendiri saat ini.  Kemampuan berbohongnya rupanya meningkat. Semua ini berkat usaha untuk membuat Farel terbakar api cemburu. Biarlah, lagipula selama ini Fania yang sering cemburuan. Nasib punya suami ganteng dan pinter, pasti punya banyak fans di kampus. Apalagi junior di kampusnya menyebalkan semua. Fania seringkali dibuat kesal oleh adik tingkatnya yang kegenitan dengan Farel. "Follow ah...... Siapa tahu kan, di follback sama dosen ganteng. Rezeki nomplok itu namanya!" "Oh iya... Aku lupa. Lusa Pak Gibran ngajak bimbingan di luar. Di kafe sih katanya... Mungkin sekalian ngajak makan siang kali, ya?" Fania sengaja bicara dengan nada yang kencang. Memang niatnya ingin memanas-manasi Farel. "Oh ya.... Aku juga baru inget kalau kemarin Pak Gibran bilang katanya dia masih jomblo. Jadi kayaknya aku bis—" "Fania!!" Fania berusaha keras menahan tawanya. Farel sudah bangkit duduk dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Aku denger semuanya. Maksud kamu apa sih ngomong semua itu?" Fania menggeleng polos. "Maksud apa? Aku ngomong sendiri kok. Nggak ngomong sama kamu." "Tapi aku denger semuanya. Dan aku nggak suka kamu ngomong kayak gitu!" "Kenapa kamu nggak suka?" pancing Fania. Berharap Farel akan mengakui kalau ia jelas cemburu. "Jelas aku nggak suka. Aku suami kamu. Dan aku nggak suka kalau kamu dekat sama pria lain apalagi dosen yang masih muda dan jomblo kayak Pak Gibran!" "Kenapa kamu nggak suka?" Fania terus usaha. "Ya nggak suka aja. Emang ada suami yang suka kalau liat istrinya deket sama cowok lain?" Fania mengangkat bahunya santai. Bibirnya berkedut ingin tertawa lepas, tapi ia tahan kuat-kuat. "Suka atau nggak suka itu pasti ada alasannya. Kalau kamu nggak suka liat aku deket sama Pak Gibran, apa alasannya? Beliau kan dosen aku." "Nggak ada alasannya! Aku nggak suka liat kamu dekat sama Pak Gibran. Aku nggak suka. Kamu ngerti nggak sih?" "Ya apa alasan kamu nggak suka? Kamu ngerti pertanyaan aku nggak sih?" "Aku cemburu, Fania! Aku cemburu! Puas?!" Fania menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan tawa. Tapi ia tidak kuat dan akhirnya kelepasan tertawa. Fania sampai menjatuhkan kepalanya ke atas kasur karena takut kedua mertuanya akan mendengar suara tawanya. Wajah Farel. Ekspresi Farel. Semuanya benar-benar lucu dan sangat membuat Fania merasa puas. "Fania!!!" Fania terus tertawa. Ia sampai menekan perutnya yang sakit karena tidak bisa berhenti tertawa. Farel rupanya benar-benar cemburu. "Berhenti ketawa!" Farel menjepit bibir Fania dengan jarinya agar Fania berhenti tertawa, tapi yang ada Fania malah menepisnya. "Aku nggak nyangka kalau kamu ternyata bisa cemburu." "Ya jelas bisa lah! Aku kan punya hati. Punya perasaan juga. Liat istri deket sampai bercanda ketawa ketiwi gitu sama cowok lain, mana ada suami yang nggak cemburu?!" Fania terkekeh dengan lebih santai. Ia memainkan wajah Farel. Menarik kedua pipi Farel dengan gemas. "Uluh uluhh... Yang punya hati dan perasaan. Akhirnya kan, kamu ngerasain juga apa yang aku rasain. Makanya kamu juga jangan suka nempel-nempel sama adik tingkat yang ganjen-ganjen itu!"  Kening Farel sontak mengerut tipis. "Kita lagi bahas soal kamu, bukan soal aku." "Aku punya soal, karena kamu juga punya soal." Farel menghela napas panjang. "Pokoknya aku nggak suka liat kamu kayak gitu sama Pak Gibran. Mau judulnya bimbingan pun, kan bisa nggak perlu bercanda kayak tadi." "Kamu harusnya ikut seneng, karena baru kali ini aku bisa bimbingan tanpa rasa stress dan beban, Farel. Kamu kan tau betapa menderitanya aku kemarin bimbingan sama Pak Yogi." Farel menggelengkan kepalanya pasrah. Memasang wajah sendunya pada Fania untu pertama kalinya. Seolah-olah ia memang tidak bisa menerima segala alasan Fania tentang Pak Gibran.  Fania tertawa lagi. Ia mendekati Farel dan langsung memeluk leher laki-laki itu. Merasa bersalah pada Farel, Fania mengecup singkat pipi Farel seraya berkata. "Misi aku barusan berhasil, untuk bikin kamu cemburu." Farel mendengus. Ia mencubit pelan kedua pipi Fania lalu mengecup singkat bibir gadis itu. "Dan kamu berhasil, karena aku cemburu pake banget banget banget."  "Mungkin ketika bimbingan kamu berikutnya sama Pak Gibran, kamu harus bawa buku nikah kita. Biar Bapak yang nggak ganteng sama sekali itu bener percaya kalau kamu itu udah punya suami."  Farel menghela napas panjang melihat gadisnya itu kembali tertawa puas. Jantungnya benar-benar dipermainkan oleh Fania. Mulai besok, Farel benar-benar akan ikut ke manapun Fania bimbingan. Pokoknya ketika ada Pak Gibran, maka Farel juga akan ada di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD