BAB 5 | She's My Wife

2139 Words
Fania tak berhenti untuk terus berdecak kagum melihat mahakarya Farel Ardiansyah di atas meja makan. Ikan gurame goreng, cah kangkung, tempe goreng, sambal, dan nasi. Waaahh.. Memang tidak perlu diragukan lagi. Farel sangat pandai memasak. Masakan Farel bervarian. Tidak pernah sama. Dan rasanya selalu pas. Mantap! Dan rasanya Fania seperti didorong dari atas gedung lantai 10 kalau disuruh membandingkan masakannya dengan masakan Farel. Karena rasanya pasti sakit, maka mari untuk tidak membayangkannya. "Kenapa diliatin aja?" Fania terperangah. Ia mendongak menatap Farel yang duduk sambil menatapnya lurus. Fania nyengir dengan lebar. "Mari makan!" seru Fania dengan semangat. Ia langsung membalik piringnya dan mencentongkan nasi, dan semua masakan yang dihidangkan. Farel menahan senyum geli melihat kelakuan Fania. Gadis itu seperti sudah tidak diberi makan seminggu. Padahal semalam juga sudah menghabiskan satu porsi nasi goreng sendirian. "Masakan kamu itu paling enak, Rel. Kenapa nggak kamu aja yang masak terus?" Kening Farel mengerut mendengar ucapan Fania. Ia mendengus pelan sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. "Aku bisa masak bukan berati aku akan masak setiap saat. Itu cuma akal-akalan kamu biar aku yang masak tiap hari kan?" Fania nyengir lebar karena ketahuan niatnya. "Bercanda Mas Farelku sayang," kata Fania yang mengundang pelototan mata dari Farel. "Fan, aku kan udah bilang, aku nggak suka dipanggil 'Mas'." Fania menaikkan bahu santai. "Pas lah, Rel. Lagian aku sering disindir temen arisan Bunda karena panggil kamu pakai nama. Katanya nggak sopan." "Umur kita cuma beda beberapa bulan. Lagian aku bukan mas-mas," katanya membela diri. "Mas itu kan panggilan untuk laki-laki yang lebih tua. Lagian kamu kan orang jawa, jadi pas aja kalau dipanggil Mas." Farel menghela napas panjang. "Terserah deh," ucapnya. "Mas Farel," ucap Fania sekali lagi. Membuat Farel melotot tajam sekaligus menghela napas panjang. Berdebat dengan Fania memang tidak ada habisnya. Sekalinya meledek, gadis itu akan terus melakukannya sampai puas. Jadi Farel lebih baik memilih mengalah. Setelah makan siang, Farel dan Fania langsung berangkat ke kampus bersama. Keduanya sama-sama ada jadwal bimbingan siang ini tapi dengan dospem yang berbeda. "Panasnya Ya Allah," keluh Fania saat baru saja memijakkan kakinya setelah Farel berhasil memakirkan mobilnya dengan baik. Ia menutupi sebagian wajahnya dengan kerudung karena merasa mentari menelusup paksa ke dalam kulitnya. "Ayo cepet. Pak Anjar udah nunggu aku di ruang dosen," kata Farel dengan langsung memimpin jalan meninggalkan parkiran dan juga Fania yang melongo dibuatnya. Padahal 'kepanasan' tadi adalah kode dari Fania untuk Farel. Farel memang memakai topi hitam dan memakai masker, seperti biasanya. Selain untuk melindungi wajahnya dari sinar ultraviolet juga melindungi pernapasannya dari terpaan debu. Fania mengerucutkan bibirnya. Suami menyebalkan. Tak mau mengalah pada istrinya sendiri. "Dasar suami nggak peka." "Fania!" seruan itu membuat Fania terkesiap dan langsung berjalan cepat ke depan. Menyusul langkah Farel yang hampir berjarak 3 meter darinya. Sampai di sisi Farel, Fania memasang tatapan menyipit. "Kamu kenapa sih jadi cowok nggak peka banget?" "Kamu bimbingan di ruangan dosen juga?" Fania menggeram. Selain tidak peka, Farel juga sering mengabaikan pertanyaannya. Seolah ucapannya bukanlah sesuatu yang penting untuk Farel tanggapi. "Aku tanya, kamu bimbingan di ruang dosen juga nggak?" Farel menoleh dan kembali mengulang pertanyaannya. "Nggak. Di perpus," jawab Fania dengan raut wajah yang masam. "Oh," respon Farel dengan teramat singkat. Padahal Fania senang jika ditanyakan banyak hal. "Udah sampai." Fania mengerutkan keningnya saat Farel menghentikan langkahnya di ujung lorong. Pertigaan menuju lorong kanan dan kiri. "Sampai mana? Harusnya kan, ke kanan dulu. Aku bimbingan di perpus, Rel." "Iya, aku tau. Makanya kita berhenti di sini. Kamu ke kanan, aku ke kiri." Hah?  Fania membuka lebar mulutnya.  Katakan bagaimana caranya membuat Farel biar bisa jadi laki-laki yang peka? "Tutup mulutnya. Nanti masuk nyamuk," telunjuk Farel menyentuh dagu Fania. Membuat mulut gadis itu langsung tertutup rapat. "Aku duluan. Kamu yang bener bimbingannya," ucap Farel. Ia menepuk puncak kepala Fania sekali dan langsung melengos pergi. "Farel, kamu nggak anterin aku?!" teriak Fania. Farel berhenti melangkah dan memutar tubuhnya. "Kamu bisa jalan sendiri. Buat apa aku anter?" Farel malah bertanya balik. Mengundang ubun-ubun Fania untuk mendidih lebih cepat. Fania menggeleng. "Farel, anterin!" "Nggak mau. Aku udah ditungguin soalnya. Bye," pamit Farel. Dengan langkah lebar dan cepatnya, ia berhasil menjauh super jauh dari Fania. Fania mengerucutkan bibirnya maju. Derita punya suami kaku super nggak peka kayak Farel. Dengan bibir sibuk menggerutu, Fania berjalan cepat juga menuju perpustakaan. Membuka pintu dan mencari sosok dosen pembimbing yang paling ia sayangi sejagad raya. Fania selalu berdoa agar Allah memberikannya kekuatan selama masa bimbingan dengan Pak Yogi. Fania selalu berdoa agar setiap bimbingan, ia dijadikan mahasiswa yang tanggap agar tidak selalu kena semprotan Pak Yogi. Fania menghela napas panjang. Mempersiapkan diri dengan baik sebelum bimbingan dengan Pak Yogi adalah hal yang wajib. Jangan sampai saat bimbingan dengan Pak Yogi nanti ia malah jatuh pingsan dan menangis meraung-raung meratapi nasib skripsinya. Harusnya Fania bersyukur karena Pak Yogi masih mau membimbingnya setelah kejadian minggu lalu. Saat di mana ia dengan beraninya menjawab semua perkataan Pak Yogi. Fania menepuk-nepuk dadanya pelan. Entah kenapa ia merasa gugup. Ia takut jika saat bertemu dengan Pak Yogi nanti, ia langsung diberikan cacian dan makian ala dosen killer. Dari sekian banyaknya rak buku, kenapa harus rak buku sejarah? Rak buku sejarah adalah yang paling Fania hindari dari semua jejeran rak buku di perpustakaan. Tak perlu diragukan lagi, Pak Yogi memang mirip dengan Farel. Keduanya sama-sama suka membaca buku. Fania bergidik sendiri membayangkan jika suatu saat nanti Farel jadi dosen dan menjadi dosen killer seperti Pak Yogi. "Ya Allah jangan sampe!" seru Fania dalam hati.  Ia tidak tega membayangkan ada mahasiswa lain yang mengalami tekanan batin sepertinya. "Ck, di mana sih Pak Yogi?" gerutu Fania pelan.  Ia terus menyusuri rak sejarah yang terdiri dari 3 bagian. "Saya di sini." Fania tersentak saat mendengar suara dengan nada datar dan dingin. Fani berbalik dan ternyata seorang pria sudah ada di hadapannya. Tapi....kenapa bukan Pak Yogi?  Siapa pria di hadapannya? Ya Allah.  Fania berusaha untuk tidak menjerit.  Benar-benar tampan.  Pria di hadapannya benar-benar tampan. Tubuhnya tinggi. Mungkin sekitar 180 cm. Rambutnya disisir rapih dengan bagian depan dibiarkan membentuk jambul. Pria itu memakai celana hitam dan baju batik lengan panjang. Di matanya bertengger kacamata bening berbentuk persegi. "Astaghfirullah, Fania sadar!" "Maaf, anda siapa?" Fania mencoba menyadarkan dirinya kembali. Ia tidak boleh menatap pria lain dengan lekat ketika sudah ada pria halal di hidupnya saat ini. "Kamu Fania, kan?" Fania mengangguk cepat. "Saya Gibran. Dosen pembimbing kamu, pengganti dari Pak Yogi. Mulai sekarang saya yang akan melanjutkan bimbingan kamu bersama Pak Yogi sampai kamu sidang." "Bapak dosen pengganti Pak Yogi?!! Demi apa?!!" Pak Gibran tersentak saat mendengar suara Fania yang meninggi hampir berteriak. Fania meringis malu. Detik berikutnya gadis itu langsung menunduk. "Maaf Pak..." "Tidak apa. Mari duduk," Pak Gibran duduk terlebih dahulu di kursi dan Fania ikut duduk dengan canggung. Beberapa sat mereka berdua sama-sama terdiam. Fania jadi semakin gugup. Jangan-jangan karakter Pak Gibran sama dengan Pak Yogi? "Jangan sampai Ya Allah. Buat apa punya dosen ganteng kayak Pak Gibran kalau mulutnya juga sama pedesnya kayak Pak Yogi?" Fania mantap berdoa dalam hati. Ia merasa bersalah pada Pak Yogi, tapi ia juga tidak bisa membohongi perasaannya. "Ternyata saya nggak bisa kalau terlalu kaku. Dibawa santai aja nggak papa, kan? Saya jadi ikut nggak nyaman soalnya." Hah?  Fania mengangkat kepalanya dan menemukan Pak Gibran yang sedang tersenyum sambil tertawa pelan. Wajahnya berseri karena tertawa. Fania menahan diri untuk tidak tersenyum apalagi tertawa. Tapi wajah Pak Gibran yang terlihat santai dan ramah membuat Fania tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut tersenyum. "Awalnya saya berpikir kalau jadi dosen yang dingin, saya akan terlihat keren. Seperti cerita-cerita yang ada di w*****d itu." Memang keren kok, Pak. "Tapi ternyata saya malah nggak nyaman sendiri. Saya lebih suka seperti ini. Nyaman dan  tidak membuat canggung orang lain." Lagi-lagi Pak Gibran tersenyum dengan lebar. Jajaran gigi putihnya menyapa Fania yang seketika malah ikut tertawa karena Pak Gibran. Ah.... Mungkinkah Fania bisa mimisan kalau dihadapkan dengan pria seperti Pak Gibran? Untuk saat ini, Fania bahkan tidak peduli alasan dibalik Pak Yogi yang tiba-tiba pergi. Ataupun alasan kenapa Pak Gibran yang menjadi dosen pembimbingnya saat ini. Fania sungguh tidak peduli. Siapa menyangka, kalau Fania masuk jajaran mahasiswa beruntung bisa dapet dosen pengganti seperti Pak Gibran. Diajar dari semester 1 pun Fania sangat tidak masalah. Karena punya dosen ganteng yang cerdas dan murah senyum adalah impian semua mahasiswa. "Farel... Bagaimana ini????" Selesai bimbingan dengan Pak Anjar, Farel menunggu Fania di pertigaan lorong. Sudah tiga kali ia menghubungi Fania, tapi gadis itu tak kunjung menjawab. Pesannya pun tak dibalaskan. Farel menghela napas panjang. Biasanya Fania tak akan menghabiskan waktu hampir setengah jam hanya untuk bimbingan dengan Pak Yogi. Karena gadis itu biasa mencak-mencak padanya. Gemas pada Pak Yogi yang sering kali hanya punya waktu selama 15 menit untuk bimbingan skripsi. Dan selama 15 menit, biasanya hanya dihabiskan Pak Yogi untuk memarahi Fania. Tapi ini, hampir setengah jam?  Bersama Pak Yogi?  Unbelievable. Kaki Farel akhirnya memilih untuk terus berjalan lurus. Menyusul Fania ke perpustakaan. Farel menyipitkan matanya. Memindai satu persatu setiap manusia yang ada di perpus. Bertepatan saat Farel mendengar suara tak asing di telinganya, Farel menoleh ke kiri dengan cepat. Di meja yang berada di depan rak buku bagian sejarah, ada Fania dan seorang pria yang duduk berhadapan. Berbincang sambil sesekali tertawa. Terlihat begitu akrab. Ya ampun... Katakan... Kalau saat ini mata Farel sedang rabun. Demi apa pun, d**a Farel terasa penuh saat ini. Jangan bilang kalau Fania akan secepat ini beralih ke lain hati.  Naudzubillah! Farel mengangkat kedua alisnya. Tangannya terkepal. Sangat tidak suka dengan pemandangan di depan itu. Oh tidak.  Farel menepis pikiran kalau ia sedang cemburu.  Farel tidak cemburu.  Farel bukan tipikal cowok pencemburu.  Dan Farel, tak bisa dibandingkan dengan pria yang tak ia kenal itu. Dan Fania, kenapa bisa berduaan dengan pria itu?  Siapa pria itu?  Kenapa saat bersama pria itu Fania tertawa begitu lebarnya? "Fania." Farel memanggil Fania dengan nada dingin. Fania dan sosok pria itu langsung menoleh. Bola mata Fania hampir saja menggelinding begitu melihat tatapan Farel yang menghunus tajam. Fania menghentikan senyum dan tawanya. Ia langsung berdiri tegap. Seperti maling yang tertangkap basah mencuri. "Farel?" Farel merasa puas dengan reaksi Fania. Setidaknya gadis itu sadar akan posisinya. Farel mengalihkan tatapannya dari Fania. Ia menatap lurus dan lekat pria itu. Wajah penuh senyum itu, entah kenapa Farel kesal melihatnya. "Ayo kita pulang," Farel menarik tangan Fania dengan cepat dan menempatkan gadis itu di sampingnya. Farel bahkan menempatkan tangannya di pinggang Fania. Membuat Fania melotot dan ingin berteriak. Pria itu ikut berdiri. Membalas tatapan Farel dengan santai dan senyum manis. "Kamu ini siapa? Maaf ya, tapi Fania masih ada urusan dengan saya." "Saya juga punya urusan dengan Fania." Fania meringis dalam hati. Merasa akan terjadi hal tidak enak dengan keadaan ini. Pria itu terkekeh pelan. "Kamu ini pacarnya, ya? Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja saya dengan Fania sedang—" "Saya suaminya. Bukan pacarnya." Tuh kan. Jelas sekali kalau Farel memang terlihat marah. Pegangan tangan Farel di pinggang Fania bahkan mengerat. Membuat gadis di sampingnya meringis pelan. Farel cemburu?  Nggak mungkinkan? Lagian, tidak ada yang terjadi di antara Fania dan Pak Gibran. "Wah, suami? Benarkah itu Fania?" Pak Gibran melirik Fania. Menunggu gadis itu menjawab pertanyaannya. "Ben—" ucapan Fania langsung terpotong karena Farel menyelak. "Tentu benar. Untuk apa saya berbohong. Tidak ada untungnya buat saya, yang ada rugi." Pria itu kembali tertawa. Dan itu semakin membuat Farel kesal setengah mati. Panas. Ia merasa perpustakaan ini panas dan tidak ada udara untuk bernapas. "Rel.." Fania menelusupkan jemarinya ke tangan Farel yang berada di pinggangnya. "Aku baru mau kenalin ke kamu, kalau ini dospem baru aku." Farel menoleh dan mengerutkan keningnya menatap Fania. Berusaha menutupi keterkejutannya. Dosen baru?  Sejak kapan Fania punya dospem baru?  Kenapa ia bisa tidak tahu? Dan kenapa dospem barunya Fania itu perawakkannya sepeti Althaf?  Ganteng, tinggi, putih, bersih.  Kenapa?! "Namanya Pak Gibran, pengganti Pak Yogi. Pak Gibran, kenalin ini Farel, suami saya." Farel masih menatap Fania tak percaya. Pak Gibran berdecak kagum. "Jadi benar kalian sudah menikah?" "Iya Pak, sudah," jawab Fania tenang. Ia mulai melepaskan tangan Farel dari pinggangnya, karena sadar ada beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka bertiga. "Untungnya suami kamu ini datang ya Fania. Kalau tidak—" "Kalau tidak, apa?" potong Farel dengan cepat. Suaranya masih dingin dan terdengar tidak bersahabat. "Tidak apa-apa," jawab Pak Gibran. Dengan senyum manis bergantian untuk Farel dan Fania. "Saya harus sampaikan lagi pada anda, takut jika setelah ini anda lupa. Saya suaminya Fania dan Fania adalah istri saya." Pak Gibran tertawa pelan. Merasa lucu dengan ekspresi wajah Farel padanya saat ini. Ia merasa jika Farel akan memakannya hidup-hidup sebentar lagi. "Fania, kita harus pulang sekarang!" Nyatanya Farel memang cemburu. Ia tak suka dengan kehadiran Pak Gibran. Fania adalah miliknya. Entah kenapa ia jadi posesif seperti ini pada Fania. Dan untuk kali ini, Farel merasa tidak tenang melepas Fania bimbingan seorang diri. Untuk ke depannya, mungkin Farel akan selalu menemani Fania. Mengintili gadis itu, ke manapun perginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD