BAB 4 | Mas Farel

3519 Words
"Ini kan sudah saya koreksi minggu lalu, Fania!" Fania tersentak saat mendengar suara Pak Yogi mulai meninggi. Pria paruh baya itu mengarahkan telunjuknya tegas pada baris paragraf yang kembali menjadi perhatiannya. "Tapi saya sudah coba cari jurnal terkait, Pak. Dan belum bisa saya temukan," jawab Fania jujur. "Pasti ada," tegas Pak Yogi. "Kalau kamu bisa lebih berusaha maka kamu akan bisa menemukan jurnal yang saya maksudkan. Usaha lebih giat dong." "Tapi saya juga sudah usaha, Pak." Fania membela dirinya tak mau kalah. Toh memang benar, dirinya memang sudah berusaha keras mencari jurnal yang diinginkan Pak Yogi. Tapi hasilnya memang nihil. Ia tak juga bisa menemukan jurnal menyebalkan itu. "Jangan membantah ucapan saya, Fania." Fania menunduk dan mengerucutkan bibirnya maju. Sebal dengan sikap Pak Yogi yang rasanya tidak pernah baik padanya. Inilah mengapa Fania pernah mengatakan pada Farel, bahwa Fania selalu merasa ingin makan orang jika berhadapan dengan Pak Yogi. "Kamu harusnya bisa mencontoh Farel. Farel itu pandai Fania, kamu bisa belajar sama dia. Kalian kan sudah menikah, jadi lebih leluasa jika kalian belajar bersama. Makanya jangan main saja yang dipikirkan!" Fania mengerutkan keningnya dalam karena tuduhan Pak Yogi. "Saya bahkan jarang diajak main sama Farel, Pak. Kalau nggak ada jadwal bimbingan, Farel itu sibuk kerja Pak, dan kalau Farel kerja, otomatis saya di rumah. Dan kalau saya di rumah, itu tandanya saya juga sibuk ngerjain skripsi, Pak." "Sshhtt!" Pak Yogi melototkan matanya karena Fania yang terus saja menjawab ucapannya. "Kamu ini malah curhat!" "Saya nggak curhat, Pak. Saya hanya memberitahu Bapak hal yang sebenarnya." "Shhttt! Kamu ini kalau diberitahu bukannya mendengarkan, malah jawab aja kerjaannya." "Bapak makanya juga jangan suudzon, dong." Pak Yogi semakin melototkan matanya karena Fania yang lagi-lagi menjawab ucapannya. "Kemampuan otak saya sama Farel itu beda, Pak. Kalau Farel emang dari kecil udah dikasih sama Allah otak yang cerdas dan brillian, beda sama saya yang walaupun sudah belajar sampe otak saya rasanya mau meletus, tetep aja nggak bisa ngalahin otak encernya Farel." Pak Yogi menggebrak meja dengan proposal skripsi milik Fania. "Kamu ini kalau dikasih tahu ngeyel banget. Kalau begini caranya, darah tinggi saya bisa kumat gara-gara bicara sama kamu!" "Tuh kan, Bapak punya darah tinggi. Makanya Pak, nggak boleh kalau suka marah-marah tuh. Nanti selain darah tinggi, Bapak juga bisa cepet keriput." Fania sudah berjanji pada dirinya sendiri. Bahwa ia tidak akan menerima semua perlakuan Pak Yogi. Jika Pak Yogi bisa galak padanya, maka Fania juga akan membalas dengan caranya sendiri. Biar saja, yang penting Fania tak lagi banyak makan ati. Pak Yogi menarik napas panjang-panjang. Berusaha sabar menghadapi mahasiswa bimbingannya yang menyebalkan. "Kamu ini. Sudah-sudah sana pulang. Bimbingan kita cukup sampai di sini hari ini. Saya tidak mau tahu, minggu depan, apa yang saya minta harus sudah kamu siapkan tanpa kekurangan." "Pak!" Fania menatap Pak Yogi dengan tatapan memelas. Berharap Pak Yogi akan luluh dan mengasihaninya, lalu memberikan saja data yang selama ini belum berhasil Fania temukan. Toh Fania juga yakin, Pak Yogi pasti punya apa yang ia butuhkan. "Saya tidak menerima protes dan bantahan!" "Perasaan gue aja atau emang setelah menikah tuh Farel jadi kelihatan lebih ganteng?" Puput ikut menyipitkan matanya. Menatap lekat seseorang yang sejak tadi menjadi objek penglihatan Elis. Farel duduk berjarak tiga meja di sebelah kanan mereka berdua di sekitar gedung auditorium. Selasar auditorium memang menjadi salah satu spot favorit mahasiswa. Selain selasarnya yang luas, adem karena banyak angin sepoi dari pepohonan sekitar, juga banyaknya meja yang sengaja ditempatkan oleh pihak kampus. Mereka memang paling tahu kebutuhan mahasiswa. Mahasiswa biasa duduk sekedar bersantai, berkumpul, juga belajar sambil mengerjakan tugas kuliah. "Iya, gue setuju. Dari dulu sih Farel emang ganteng. Tapi semenjak menikah, mukanya jadi lebih enak dipandang gitu. Ya kan, Lis?" tanya balik Puput meminta persetujuan. "Iya. Bener banget. Dulu ataupun sekarang emang sama-sama dingin sih, tapi sekarang tuh nggak sedingin dulu. Dia aja kadang senyum ke gue, walau emang tipis banget sih. Sampe kadang gue bingung, senyumnya dia itu ikhlas atau nggak." Elis mengangguk mantap. Yang dikatakan Puput benar. "Dia juga pernah senyum ke gue waktu gue kasih tahu ke dia kelemahan si Aldi. Tapi karena senyumnya tipis pake banget, gue yang ada jadi pengen timpuk kepalanya." Keduanya sontak tertawa. Membicarakan orang lain terutama Farel memang menyenangkan. Sulit disangka memang, jika orang seperti Farel bisa memiliki istri yang salah bertolak belakang dengannya seperti Fania. Menyadari bahwa orang yang sejak tadi duduk satu bangku dengan mereka hanya diam saja, Puput dan Elis kompak menoleh ke kiri. "Eh, Fania. Lo kok dari tadi diem aja, sih?" Fania yang sejak tadi duduk satu bangku dengan Puput dan Elis memang hanya diam. Kepalanya ia jatuhkan ke atas meja dan memandang ke arah lain. Membelakangi Puput, Elis, bahkan Farel yang sedang menjadi pembicaraan kedua sahabatnya. Walaupun memang ia mendengar semua pembicaraan Puput dan Elis tentang Farel. Tapi Fania tidak peduli. Ia lebih peduli memikirkan nasibnya ke depan. Fania meringis dalam hati. Salah besar ia menjawab semua ucapan Pak Yogi tadi. Harusnya ia telan sendiri saja semua ceramah Pak Yogi tanpa bantahan. "Diem deh, gue itu lagi nggak mood. Gue masih memikirkan kesalahan besar gue hari ini." Puput dan Elis menggeleng kecil. Antara heran atau kagum. Bagaimana bisa Fania begitu beraninya pada Pak Yogi, sementara mahasiswa lain jika sedang dimarahi pasti hanya bisa mengangguk sambil menjawab 'iya/baik'. "Lagian lo mah ih! Dapet wangsit dari mana sih lo emangnya sampe berani bantah Pak Yogi? Lo pasti tadi pagi nggak sarapan ya, Fan? Makanya otak lo itu ngalahin nyali lo yang terlampau membumbung tinggi hari ini." Elis terbahak mendengar pertanyaan Puput yang terdengar meremehkan. "Lagian emang parah sih. Itu namanya lo cari-cari perkara, Fan. Harusnya lo tahan aja tuh semua omongan Pak Yogi. Toh emang beliau orang yang seperti itu. Mulutnya pedes, sedep-sedep gimana gitu." Elis dan Puput tertawa lagi, sementara Fania semakin menghela napas panjang. "Gue pasti terancam nggak bisa wisuda tahun ini." Fania meringis. Memikirkannya saja membuat Fania ngilu. Ia ingin cepat lulus. Ingin cepat menghempaskan sesuatu yang membuatnya tertekan selama ini. "Tapi Fan, ada yang lebih penting dari Pak Yogi untuk saat ini." "Bodo amat. Gue nggak mau tau. Menurut gue yang paling penting saat ini adalah skripsi gue di tangan Pak Yogi." Elis dan Puput saling bertukar pandang. Puput menaikkan sebelah alisnya, memberikan kode pada Elis. Elis tersenyum menatap tawa. "Lo nggak kepo soal Farel?" Fania mendengus. "Farel? Dia mah pasti masih sibuk duduk di tempat tadi berduaan sama laptopnya, kan?" Fania tidak sadar jika saat ini kedua sahabatnya itu sedang berusaha keras untuk tidak tertawa. Betapa bodohnya Fania, jika hanya mengira Farel sedang berduaan dengan laptopnya. "Dan apa cuma gue yang baru sadar ya kalau Farel sepopuler ini di kampus?" "Karena junior yang sekarang banyak yang ganjen dan kegatelan," celetuk Elis jujur. Memang sih, jangankan Farel, Aldi, Lian, dan Rion saja bahkan juga punya fans dari junior yang sekarang. "Lagian si Farel juga ke kampus ngapa pake sweater kuning kayak gitu dah? Mentereng amat," komen Puput dengan menahan tawa. Elis sampai membekap mulutnya agar tak kelepasan tertawa. "Mungkin karena itulah. Alasan terbesar kenapa Farel sekarang dikerubungin junior, karena Farel memakai sesuatu yang mencolok untuk sekali-kalinya yang gue pernah liat sejak gue kenal Farel." "Ngomong apaan sih kalian?" Fania mengangkat kepalanya. Menatap Puput dan Elis bergantian.  "Kita cuma lagi ngomingin seberapa populernya Farel hari ini. Ya, kan, Lis?" alis Puput terangkat sebelah. Meminta dukungan Elis. "Yap, bener banget." "Populer apanya? Orang jutek kayak Farel mah nggak akan ada yang suk—" kalimat Fania berhenti begitu kepalanya menoleh ke kanan.  "What?!" Mata Fania membulat menatap ke objek yang ternyata sejak tadi mencuri perhatian kedua sahabatnya. Bak bunga yang dikerumuni kawanan lebah karena manis sarinya. Begitulah tampak Farel saat ini. "Sejak kapan Farel dikerubungi banyak cewek-cewek kayak gitu?" "Sejak kita mulai membicarakan soal Farel, dan saat lo sedang tidak memedulikan dia." Fania sontak melirik kesal ke arah Puput. Puput langsung bungkam dengan menahan tawa. Fania langsung bangkit berdiri. Dengan bibir mengerucut maju kesal, Fania langsung melangkahkan kakinya mantap menuju Farel. Puput dan Elis kompak terbahak. Lucu dengan respon Fania atau geli melihat Farel yang masih belum menyadari kehadiran Fania yang seperti banteng ingin menyeruduk. "Perang dunia akan dimulai sebentar lagi." "Gue harus cepet pasang earphone biar nggak denger teriakan Fania." Sementara Farel, lelaki itu tetap fokus pada laptopnya. Ia memang sadar jika di sekelilingnya kini ada banyak gadis yang memperhatikannya dan menatap lekat dirinya. Tapi Farel sudah lelah mengatakan pada semua gadis itu untuk pergi. Dan Farel, sedang enggan untuk mengalah. Ia tidak mau beranjak pergi dan tetap memilih untuk duduk di tempatnya karena saat ini otaknya sedang lancar merangkai kata-kata untuk kemajuan skripsinya. "Kak, kok Kakak diem aja, sih?" tanya gadis yang memiliki poni sebatas alis. Farel diam tanpa berniat merespon. Karena jika ia meresponnya sekali, mereka pasti akan semakin banyak bertanya dan bicara. "Kakak lagi skripsian, kan?" tebak gadis lain yang rambutnya digerai panjang dan diwarnai merah hati pada ujungnya. "Makanya Kakak lagi fokus banget," lanjutnya. "Kakak ganteng semangat ya skripsiannya. Kita dukung dan selalu doain Kakak biar bisa cepet lulus. "Mas Farel?" Menggelikan. Itu adalah kata pertama yang Farel temukan dalam kepalanya saat mendengar ada suara yang memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Dan yang paling parahnya Farel jelas tahu itu suara siapa. Farel sontak menoleh cepat diikuti semua adik-adik unyu di sekitarnya. Mata Farel membulat. Sama dengan Fania, tapi Fania membingkai wajahnya dengan senyum lebar penuh arti pada Farel. Kening Farel mengerut dalam. Menatap Fania penuh heran dan tatapan yang menuntut arti panggilan 'Mas' barusan. Itu adalah panggilan langka yang pernah ia dengar seumur hidupnya. "Mas?" ulang Farel dengan tak percaya. Ia bergidik saat mengatakannya. Fania tersenyum lebar. "Kenapa Mas sayang? Ada masalah?" "MAS SAYANG????" Fania melirik ke samping saat ada seorang gadis yang tiba-tiba mengulang panggilannya untuk Farel dengan suara yang kencang, mirip toa masjid. Ingin rasanya Fania menjambak satu persatu rambut gadis-gadis yang menurutnya tidak ada yang cantik sama sekali. "Kamu sehat?" Farel memang lelaki plus suami yang bisa menjadi sangat menyebalkan di mata Fania. dan kali ini salah satunya. Jelas Fania sehat. Bahkan Fania saat ini sedang sangat sehat. Ia tahu jelas kalau saat ini Farel sedang dikerubungi oleh adik-adik kelas yang keganjenan. Dan Fania tidak suka itu. Fania menahan kesal setengah mati. Dengan tatapan penuh artinya Farel masih juga belum mengerti? Dengan maksud panggilan anehnya itu Farel juga masih belum mengerti? Fania tertawa dalam hati. Ingin sekali ia mengambil panci di rumahnya untuk memukul kepala Farel. Apa segitu susahnya untuk jadi suami peka??? "Mas Farel ku sayang, lagi ngapain di sini? Pulang yuk, aku sekalian mau mampir ke rumah MERTUA," kata Fania dengan senyum yang lebih lebar lagi. Ia sengaja menekankan dan memastikan kata 'Mertua' itu mampu ditangkap oleh telinga-telinga adik kelasnya yang menyebalkan. "Fan, kamu kenapa, sih?" Fania memejamkan matanya beberapa detik. Mulutnya gatal ingin sekali tertawa sekaligus menangis. Punya suami tidak peka ternyata menyusahkan. "Tau nih. Kakak apa-apaan sih? Kakak jangan gangguin konsentrasi Kak Farel dong!" What??? Fania menatap gadis yang barusan mengomentarinya. Anak jaman sekarang memang banyak yang kurang sopan santun. Katakan harus dengan cara apa lagi Fania memberikan kode yang sudah sangat jelas ia sampaikan? Harus dengan cara apa lagi? Haruskah Fania membawa buku nikahnya dan menentengnya ke mana-mana, agar tak ada lagi adik-adik keganjenan yang mendekati suaminya? Haruskah begitu? Hm? "Iya bener. Kak Farel itu lagi sibuk skripsian sekarang!" "Jangan kebanyakan halu deh, Kak."" "Emang Kakak istrinya sampai bilang Mas Farel sayang segala? Geli banget sih." "Saya emang istrinya!" Akhirnya Fania mengatakannya dengan sangat jelas dan jelas. Stok kesabarannya habis hari ini. Semua adik-adik keganjenan di depannya itu tertawa kompak. Membuat Fania melotot kesal. "Kakak bukanlah orang pertama yang ngaku sebagai istrinya Kak Farel. Kakak kalau jomblo jangan ngenes-ngenes amatlah. Jangan kebanyakan halu juga Kak. Nggak baik untuk kesehatan." "W....what?" mata dan bibir Fania bergetar saking tak percayanya dengan ucapan gadis yang memiliki poni sebatas alis itu. "Kalian ngomong apa barusan? Jomblo? Halu?" Fania tertawa. Tertawa kencang hingga Puput dan Elis yang memperhatikan jadi ingin ikut nimbrung. "Iya. Keliatan banget kalau Kakak tuh jomblo dan kebanyakan halusinasi." "Hello!! Apa harus saya tunjukin buku nikah saya sama Mas Farel ke kalian? Apa kalian nggak liat nih cincin saya ini?" Fania mengarahkan jemari manisnya yang dilingkari benda mengkilap berwarna emas putih. "Fania, kamu-" belum sempat farel menyelesaikan kalimatnya fania segera memotongnya. "Mas, kamu nggak mau belain aku?" Farel membelalakkan matanya sempurna. Jadi Fania benar-benar berniat memanggilnya 'Mas'? Farel mendorong pelan pintu kamarnya dan masuk ke dalam. Ia melirik Fania yang duduk diam membaca novel sambil bersandar di kepala ranjang. Fania hanya diam saja. Tak menoleh sedikitpun bahkan ketika Farel sudah ikut duduk dan bersandar di kepala ranjang. "Aku barusan buat nasi goreng. Kamu mau makan nggak?" Fania tak berkutik. Ia menganggap tawaran Farel hanya angin lalu. Sejak pulang dari kampus, Fania memang mogok bicara. Setiap Farel bicara, bertanya, Fania hanya diam saja dan tak merespon. Itu semua karena kelakuan adik kelas keganjenan yang membuatnya bete tak karuan seharian ini. Apalagi jika kembali mengingat masalah yang sudah ia buat dengan Pak Yogi tadi pagi. Hhhhh... ingin teriak Fania rasanya! "Fan, kamu nggak laper?" Farel masih berusaha bertanya. Ini pertama kalinya Fania mendiaminya selama hampir setengah hari. Fania benar-benar diam dan tak pernah bicara padanya. "Fania, kamu kenapa sih kok diemin aku terus? Aku ada salah sama kamu?" Fania masih diam dengan mencoba fokus membaca novelnya. Padahal lidahnya sudah gatal ingin berteriak kalau Farel memang salah. "Aku nggak ngerti kalau kamu nggak mau cerita, Fan. Aku bukan dukun yang bisa baca pikiran orang. Jadi kalau kamu nggak kasih tau aku masalahnya di mana, gimana aku bisa tau dan paham?" Farel menghela napas panjang. "Ya udah kalau kamu emang nggak mau cerita, nggak papa. Aku mau turun, mau makan, laper." Farel bangkit berdiri sambil berujar kembali, "Kalau kamu laper turun aja ke bawah nyusul," katanya. "Udah? Segitu aja usahanya?" Pertanyaan Fania membuat langkah Farel yang hampir mendekati pintu jadi berhenti dan berbalik. Ia menatap Fania dengan kening mengerut tipis. Tak mengerti dengan maksud Fania bicara seperti itu barusan padanya. "Maksudnya?" tanya Farel. "Kamu tuh emang ya, laki-laki super nggak peka sejagad raya. Istri lagi ngambek itu dibujuk! Bukannya ditinggal pergi!" kesal Fania yang terpendam. Farel mendelik bingung. "Kamu ngambek karena apa? Emang aku buat salah apa sama kamu?" "Hah? Kamu nanya barusan? Apa aku nggak salah denger?" "Aku nggak paham maksud kamu, Fania." "Ya udah. Lupain!" Fania membanting bukunya di atas nakas dan bangkit dan melangkah kesal menuju balkon. "Fania!" Farel berjalan cepat menyusul Fania. Dengan cepat Farel langsung menarik tangan Fania hingga membuat gadis itu berbalik paksa. "Kamu apa-apaan sih main pergi gitu aja? Nggak sopan tau," kata Farel dengan wajah serius. "Kamu yang apa-apaan! Kamu tuh kenapa sih, susah banget buat jadi cowok peka? Peka dong sama keadaan. Peka sama sekitar. Dan plis peka sama istri kamu." Beruntung, di rumah saat ini hanya ada Farel dan Fania. Rama dan Kartika belum pulang ke rumah karena sedang menghadiri acara pernikahan. "Kenapa sih kamu tergila-gila banget soal kepekaan?" "Karena kepekaan itu diperlukan dalam sebuah hubungan, Farel Ardiansyah Pratama." "Kenapa kamu sebut nama aku dengan nama lengkap?" "Kenapa? Ada yang salah?" tanya Fania dengan tatapan menantang. "Emang itu kan nama lengkap kamu?" "Untuk saat ini aku nggak suka. Karena itu membuat kamu terkesan marah besar sama aku." "Ya emang aku marah. Kenapa sih kamu selalu nanya soal sesuatu yang udah jelas terjadi?" "Apa sih, Fan? Astaga... Aku bener-bener nggak paham kamu bahas soal apa? Kamu marah karena apa sama aku?" "Pikir aja sendiri!" Farel memejamkan mata menahan frustasi. "Bukannya harusnya aku ya yang marah sama kamu? Kamu diemin aku loh hampir setengah hari. Nggak boleh itu Fan, diemin dan mengabaikan suami. Nanti kamu bisa dosa, mau?" "Kenapa kamu jadi melimpahkan dosanya ke aku?" Farel semakin mendelik. Tak mengerti dengan pembicaraan Fania yang semakin menjalar kemana-mana. "Kenapa jadi aku melimpahkan dosa ke kamu? Ya kamu bisa dosa karena begitu sama suami." "Suami juga bisa berdosa kalau banyak tebar pesona sama cewek-cewek di luar sana. Mata suami juga bisa kena zina mata karena banyak menatap cewek-cewek cantik yang berseliweran." "Kamu lagi ngomongin siapa?" Farel menatap Fania penuh curiga. Apa jangan-jangan Fania membicarakan soal dirinya? "Ngomongin si Bambang. Ya kamu lah! Siapa lagi?" "Aku?" ulang Farel. "Tapi aku nggak termasuk golongan manapun yang kamu sebutin barusan." "Tapi kamu baru lakuin itu tadi siang, Farel." "Astaghfirullah, kamu ngomong apa sih? Kamu serem deh, kalau marah-marah begitu." "Biar aja. Biar yang bisa marah-marah dan melotot bukan cuma kamu dan Pak Yogi." Kening Farel semakin mengerut dalam. "Hah? Pak Yogi? Kenapa Pak Yogi jadi dibawa-bawa?" "Karena kamu dan Pak Yogi sama-sama menyebalkan!" pekik Fania tak sabar. Tenggorokannya sakit kalau bicara dengan Farel. "Aku nyebelin apa, sih? Kamu bisa nggak, kalau ngomong itu nggak usah banyak teka-teki? Kita kan nggak lagi main TTS." Fania membulatkan matanya. Rasanya ingin tertawa juga menangis di waktu bersamaan. "Soal tadi siang, Farel. Saat di mana kamu menikmati waktu bersama dengan fans fans kamu itu." "Tadi siang?" ulang Farel. ia berpikir sejenak. Dan saat Farel berhasil menarik kesimpulan, matanya membulat utuh. "Jadi sebab kamu ngamuk begini karena cemburu soal tadi siang? Ya ampun Fania..." "Aku nggak cemburu!" koreksi Fania cepat. "Ngapain juga aku cemburu. Nggak ada manfaatnya juga buat aku dan hidup aku." "Aih!" Farel menyentil kening Fania pelan. "Jelas-jelas kamu cemburu. Pake nggak ngaku," cibir Farel. "Aku nggak cemburu!" ulang Fania dengan mata yang melotot tajam pada Farel. Farel akhirnya tertawa. Lucu dengan ekspresi wajah Fania saat ini. "Kamu lucu kalau lagi cemburu. Kerjaannya marah-marah mulu kayak ibu-ibu." "Dibilang aku nggak cemburu. Kenapa sih kamu nggak percaya banget?" "Karena dari siang kamu diemin aku. Terus sekarang malah ngamuk-ngamuk saat menjelaskan soal kejadian siang tadi. Jadi jelas-jelas kamu cemburu," ujar Farel dengan mantap. "Iiiissshh!!" Fania menonjok perut Farel. Farel mengaduh, tapi kemudian tertawa. Sedikit sakit, tapi jadi menyenangkan karena ekspresi Fania yang menggemaskan. "Lagian kamu tuh ya, keliatan banget menikmati pujian dan godaan dari fans-fans kamu yang kegatelan itu?" "Apanya yang ngefans? Emang siapa aku sampai punya penggemar?" "Itu buktinya, Rel. Ini bukan sekali dua kalinya aku nemuin kamu lagi dikerubungin sama cewek-cewek kayak tadi siang. Ini hampir sering terjadi, dan kamu seolah menikmati semua itu!" "Lagian kenapa kamu malah pake sweater kuning sih? Itu malah bikin kamu semakin tereskpos tau nggak?" Farel menggeram pelan. "Yang beliin sweater itu dan paksa-paksa aku setiap hari untuk pakai kan kamu, Fania. Kamu bilang aku cocok dan keliatan ganteng pake itu. Karena aku mau bikin kamu seneng, makanya akhirnya aku pake. Selama hidup aku, ini adalah pertama kalinya aku punya baju warna kuning. Dan soal cewek-cewek itu, aku nggak kenal mereka. Aku juga nggak tebar pesona ke mereka. Aku masih ingat dan nggak mungkin lupa kalau aku harus jaga mata karena aku adalah laki-laki bersuami, Fania Aurellia." Ujar Farel dengan jelas dan padat. Langsung menyentil pikiran negatif Fania. "Kalau gitu besok lagi nggak usah pakai sweater kuning lagi!" Farel menatap Fania dalam. Tatapan Fania pada Farel saat ini serius. Sepertinya gadis itu sedang tidak bercanda. Gadis itu memang benar-benar marah karena cemburu. Dan itu membuat perasaannya menjadi tidak tenang setengah hari ini. "Kamu percaya nggak sama aku?" Fania mengerjap beberapa kali. Ia memilih bungkam dan membalik tubuhnya membelakangi Farel. ia memilih untuk menghadap balkon dan menatap ke langit. "Jadi kamu nggak percaya sama aku?" Fania menghela napas panjang. Mencoba interopeksi dirinya sendiri yang terasa kekanakkan malam ini. Farel masih diam menunggu jawaban Fania. "Maaf Rel, aku yang terlalu lebay hari ini. Aku yang terlalu baper sama kejadian sepele siang tadi." Berselang beberapa detik tak mendengar Farel merespon, Fania merasa ada yang melingkar di pingganya. Bahunya terasa berat dan sisi wajah kanannya merasakan ada terpaan udara hangat. Farel memeluk tubuh Fania dari belakang dan meletakkan dagunya di atas bahu kanan Fania. "Nggak papa. Cemburu itu tanda sayang. Sayang artinya cinta. Dan itu berarti kamu sayang dan cinta sama aku." Fania merenggangkan tangan Farel dan membalik tubuhnya. Kini ia yang langsung memeluk tubuh tinggi Farel. ia melingkarkan tangannya di pinggang Farel dan menyandarkan kepalanya di d**a Farel. "Maafin aku, udah teriak-teriak sama kamu malam ini. Aku salah karena bicara pakai nada tinggi sama kamu." Fania tidak ingin jadi istri durhaka nantinya. Farel tersenyum geli. Ia membalas pelukan Fania dengan erat. Sesekali ia menghadiahi kecupan di puncak kepala Fania. "Aku udah maafin kok. Lagian aku udah terlalu sering denger kamu teriak-teriak. Dari sebelum kita nikah juga kamu udah begitu. Jadi aku udah nggak kaget lagi." "Aww!!" ringis Farel saat merasa ada yang mencubit pinggangnya. "Sakit, Fania!" "Mas Farel, sih!" "What?!" Farel sontak mendorong tubuh Fania pelan. "Aku sampe lupa bahas ini sama kamu. Aku nggak suka kamu panggil aku dengan sebutan 'Mas'. Fania tertawa geli. Ekspresi protes Farel terlihat lucu di matanya. "Kenapa? Bagus kok. Biar kayak Mbak Alya yang manggil Mas Althaf dengan sebutan 'Mas'." Farel bergidik. "Itu mereka, dan itu pantas untuk mereka. sedangkan untuk kita, itu sama sekali tidak pantas. Aku merinding denger kamu manggil 'Mas'." "Mas?" Fania mengabaikan tidak sukanya Farel. "Fania!" "Mas Farel?" Farel melotot sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak, Fan. Aku beneran nggak suka dipanggil dengan sebutan itu." "Mas Farel ku sayang??" "Faniaaaa!!" Fania terbahak dengan memegangi perutanya yang sakit. Ia semakin tertawa saat tangan Farel mulai bermain di pinggangnya dan menggelitikinya. Bahagia ala Farel dan Fania memang cukup sederhana. Setelah berdebat lalu langsung berbaikan juga menjadi salah satu kebahagiaan mereka malam ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD