BAB 3 | Ada Aku

2355 Words
 Only You 2 Mendengar lantunan suara mengaji dari seseorang yang sangat dicintai, membuat Fania membuka matanya tanpa paksa. Matanya terbuka begitu saja sesaat setelah telinganya menangkap lirih lantunan ayat suci suaminya. Fania menyibak selimutnya dan bangkit duduk. Matanya mengerjap-ngerjap untuk melakukan penyesuaian terhadap lampu kamarnya yang benderang. "Rel...." Sang empunya nama menghentikan bacaan Al-Qur'annya lalu menoleh. Ia menahan senyum geli menatap Fania yang tampak acak-acakkan. Rambut panjang gadis itu berantakan seperti singa, matanya kadang terbuka kadang tertutup. Membuat Farel ingin sekali menarik hidung mungil Fania. "Kenapa?" "Kamu udah tahajud?" "Belum. Nungguin makmum dari tadi belum ada." Mata Fania terbuka sempurna mendengar sindiran lucu dari Farel. Ia nyengir lebar kemudian bangkit berdiri.  Farel kembali melanjutkan tilawahnya setelah melihat Fania masuk ke kamar mandi. Ia bersyukur karena setelah menikah, ia bisa mengajak Fania mengikuti rutinitasnya. Sebelum menikah, Fania memang sangat jarang yang namanya bangun malam dan solat tahajud jika bukan karena orangtuanya yang memaksa. Tapi setelah menikah, gadis itu dengan sendirinya mulai terbiasa dan terbangun sebelum Farel membangunkannya. Setidaknya memang itulah kewajiban Farel sebagai suami Fania. Ia harus bisa mengajak Fania untuk hijrah bersama. Karena Farel ingin berjodoh dengan Fania kembali di akhirat, maka ia juga harus membawa banyak kebaikan untuk Fania selama di dunia. "Farel, aku udah." Farel menolehkan kepalanya. Ia tersenyum simpul saat melihat Fania telah membalut tubuhnya dengan mukena berwarna putih. Gadis itu juga telah membentangkan sajadah di belakangnya. Bersiap menjadi makmum solatnya. "Yuk!" ajak Farel dengan mengakhiri bacaannya dan bangkit berdiri. Farel memulai rakaat pertamanya dengan bacaan surat pendek, kemudian di rakaat kedua Farel membacakan surat Al Baqoroh. Fania terhanyut. Lantunan ayat suci Farel, membuatnya selalu bersyukur memiliki suami seperti Farel. Walau terkadang menyebalkan, tapi Farel selalu mengajaknya dalam kebaikan. Bahkan walaupun Farel sangat ingin Fania memakai rok sejak awal menikah, Farel tak pernah memaksa Fania. Ia membiarkan gadis itu pada pilihannya sendiri, hingga akhirnya Fania mantap memakai rok setelah satu bulan mereka menikah. Fania tersenyum saat Farel membalikkan tubuhnya. Ia menatap lekat wajah putih Farel dengan peci hitam yang menutupi kepalanya. Farel memang tampan. Memakai apa pun ia akan terlihat tampan. "Makasih ya, udah mau jadi imam solat aku." Farel tersenyum tipis dan mengusap lembut puncak kepala Fania. Cubitan kecil untuk pipi Fania membuat Fania meringis pelan. "Sakit, Rel!" "Gemes aku," kata Farel dengan kembali mencubit pipi Fania. Fania mendengus dan mengusap pipinya. "Kamu ngeselin," balas Fania dengan mencubit balik pipi Farel. "Aku bilang kamu gemesin, kok kamu malah bilang aku ngeselin?" "Habisnya pake cubit pipi, kan sakit..." "Cubitnya kan pake sayang," kata Farel dengan senyum yang tiba-tiba terpancar di wajahnya. Fania mendengus sebal, namun detik berikutnya ia tertawa setelah Farel menghadiahi kecupan di bibirnya. Fania melangkah lebar dengan hidung kembang kempis menahan kesal. Saat melihat sosok lelaki yang dicarinya Fania mempercepat langkahnya. Ia langsung duduk menghempaskan pantatnya di atas bangku taman yang panjang. "Iiihhhhh! Ngeselin banget sih, Pak Yogi itu. Kesel, bete, tau ah. Bodo amat. Nggak usah skripsian sekalian!" Setelah menghampiri Farel yang sedang duduk di dekat taman fakultas sambil membaca, Fania langsung berteriak kesal karena mengingat hasil bimbingannya yang baru saja berlalu lima menit yang lalu. "Berisik, Fania." Fania melirik kesal ke sampingnya. "Farel! Kamu kok malah ikutan ngeselin sih? Kamu tau nggak sih kalau aku lagi emosi? Aku tuh pengen makan Pak Yogi tau nggak!" "Kamu mau viral kayak Sumanto?" tanya Farel santai dengan mata yang belum teralihkan dari bukunya. Kacamata bening non minus yang membingkai matanya, membuat Farel jadi terlihat menawan di mata Fania. "Hah?" bingung Fania dengan kening mengkerut. "Sumanto itu manusia yang makan manusia. Semacam kanibalisme. Dulu masuk penjara, tapi sekarang udah bebas." "Hah?" Farel berdecak pelan. Ia menoleh dan menyentil kening Fania pelan. "Kalau kamu jadi titisannya Sumanto, terus masuk penjara karena makan manusia, kamu mau?" "Hah?" tak lama Fania mendelik. Ia memukul paha Farel dengan cukup kencang hingga Farel mengaduh. "Iih, serem banget sih kamu! Ya nggak makan manusia beneran lah maksud aku. Aku masih doyan makan nasi pake telor ceplok, Rel!" Farel memutar bola matanya jengah. Ia kembali menatap bukunya karena malas menatap wajah Fania yang masam. "Kan tadi kamu yang bilang kalau mau makan Pak Yogi." "Kamu nggak bimbingan sama Pak Yogi, jadi kamu nggak tau betapa menyebalkannya beliau." Ingin menangis rasanya Fania saat bimbingan tadi. Bahan bab 3 yang sudah hampir seminggu membuatnya bergadang malah menghasilkan cacian dan makian dari Pak Yogi. Pak Yogi bahkan sampai mencoret semua lembaran bahan skripsi yang sudah ia print dengan cantik. Katanya, metode penelitian yang diajukan Fania sangat tidak masuk akal dan akan menjadi skripsi paling aneh sedunia. Padahal, Fania sudah pernah mengajukan judul dengan isi bab 1 sampai bab 3 dengan isi yang sama, dan itu disetujui. Lalu kini, kenapa Pak Yogi dengan kejamnya malah mengatakan metode penelitiannya tidak masuk akal? Fania sampai harus tarik napas buang napas perlahan untuk menjaga kesabarannya di depan Pak Yogi. "Pak Yogi baik, kok. Beliau kasih aku nilai A di matkulnya," kata Farel kelewat santai. "Iyalah! Orang kamu mahasiswa kesayangannya!" "Kamu mahasiswa bimbingannya." "Aku mahasiswa siksaannya!" Kening Farel mengerut dalam. Tak terima dengan sindiran Fania barusan. "Ini aneh," kata Farel dengan menatap Fania. "Kamu kan marah sama Pak Yogi. Terus kenapa sekarang kamu ikut marahin aku?" "Ya karena kamu ikut ngeselin!" "Kenapa jadi aku yang ngeselin?" "Kamu tuh nggak ngerasa kalau kamu ngeselin, ya?" ingin rasanya Fania melempar kepala Farel dengan panik. "Nggak," jawabnya santai. "Aku mah biasa aja." "Kamu sadar nggak sih, kalau kamu tuh sekarang lagi ngeselin tingkat dewa?" "Kamu tuh sadar nggak sih, kalau kita sekarang jadi pusat perhatian karena suara kamu yang menggelegar sampai ke sudut kampus?" Fania sontak menoleh. Ia mendapati semua orang yang ada di sekitar mereka berdua terlihat terkikik geli karena kelakuannya. Fania kalau sedang emosi memang suka tidak ingat untuk mengontrol suaranya. Fania meringis. Gadis itu langsung menunduk dan menutupi wajahnya yang semerah tomat dengan tangan. "Malu-maluin...." Kedua sudut bibir Farel tertarik, tersenyum geli karena sikap lucu Fania yang menggemaskan. "Kamu baru sadar ya kalau kamu malu-maluin?" tanya Farel dengan suara rendah berbisik pada Fania. "Farel!!" kesal Fania tak tertahankan. Suaminya itu masih saja suka menggodanya dan membuatnya kesal. Farel terkekeh pelan. "Ayo ah, pergi aja." "Mau ke mana?" "Ke mana aja asal nggak di sini. Kamu bikin malu soalnya." "Farel! Jahat banget sih bilang istrinya malu-maluin!" Fania tersenyum menatap pantulan wajahnya di kaca mobil. Farel mengajaknya makan di kafe yang letaknya tak jauh dari kampus. "Farel, aku boleh pake ini nggak?" Farel melirik benda panjang berwarna pink yang ada di tangan Fania. "Boleh. Pake aja. Kan cantiknya juga buat aku." Fania tersenyum puas. Ia langsung memoleh bibirnya dengan lip tint berwarna merah muda.  Setelahnya ia turun dan melingkarkan tangannya di lengan Farel. "Nggak usah begini. Jalan biasa aja," kata Farel dengan melepaskan tangan Fania yang melingkar di pergelangan tangannya.  "Kan biar pada tau kalau aku istri kamu." "Buat apa dipamerin ke orang-orang? Nggak penting juga buat kita." Fania hanya bisa mengerucutkan bibirnya maju. Farel memang susah-susah gampang kalau mau diajak so sweet. Fania duduk di pojok dekat jendela sambil menunggu Farel yang memesan makanan. Telinganya menangkap candaan beberapa lelaki yang Fania tebak seumuran dengannya. Fania membuka ponselnya. Membuka akun ** dan melihat postingannya terakhir kali. Ia memposting tangannya yang digenggam oleh Farel. Cukup banyak mendapat perhatian dari teman-temannya, bahkan Farel ikut meninggalkan jejak love di foto tersebut. Fania menggembungkan pipinya dan meletakkan ponselnya asal. Ia mendadak merasa bete. Farel memang sulit ditebak maunya. "Kak?" Fania menoleh karena merasa panggilan itu ditujukan untuknya. Fania diam beberapa saat setelah mengerjapkan matanya. 4 orang lelaki itu rupanya kompak menatapnya. Seolah menunggu Fania merespon panggilan satu teman mereka yang menggunakan jaket denim. Kulitnya sawo matang dan rambut yang sedikit gondrong hingga menutupi telinganya. Tapi dari segi wajah, lelaki masuk dalam jajaran tampan. Tapi tentu saja masih kalah dari Farel. "Ya?" mau tak mau Fania merespon mereka. Fania juga tak mau kalau dicap sebagai perempuan yang sombong. Merespon seadanya, tak apa bukan? "Boleh kenalan? Namanya siapa?" "Kakak sendirian aja. Nggak ada yang nemenin?" Fania mengangkat satu alisnya. Tak menyangka kalau lelaki itu akan menanyakan namanya. "Kenapa tanya nama?" "Emang kalau langsung nanya nomor hape boleh?" Kini kedua alis Fania terangkat bersamaan. "Namanya Fania ya ternyata?" belum sempat Fanie menjawab pertanyaan sebelumnya, kini lelaki itu sudah kembali menanyakan pertanyaan sekaligus jawabannya langsung. Saat Fania ingin bertanya balik, ia baru sadar kalau ponselnya sudah beralih ke tangan lelaki itu. Pada casing ponselnya, Fania memang pernah memesan casing yang mencantumkan nama pendeknya. "Maaf, tapi kamu nggak sopan. Kembalikan hape saya." Keempat lelaki itu tertawa bersamaan. Fania mulai mencium hawa tak mengenakkan di sini. Seketika ia mengharapkan Farel di sisinya. "Kakak udah punya pacar?" Fania menggeleng tak percaya. Ia terus mengadahkan tangannya dan meminta lelaki itu untuk mengembalikan ponselnya. "Langsung tembak aja udah, Jar. Jadiin pacar langsung." "Iya udah. Fajar cocok kok sama Fania." Fania tidak suka jika caranya seperti ini. Kenapa lelaki muda seperti mereka belum juga mengerti cara memperlakukan Fania. Padahal Fania memakai hijab, yang seharusnya membuat keempat lelaki itu merasa malu jika mengganggu Fania. "Kembalikan—hape—saya." Fania menekankan satu persatu katanya. Ia masih mengadahkan tangannya dan berusaha sabar untuk tidak merebut ponselnya dengan paksa. Beberapa orang di sekitar mereka pun sudah menoleh, memperhatikan mereka yang tampak meributkan sesuatu. Grep! Fania membulatkan matanya. Tangan lelaki itu kini malah menggenggam erat tangannya. "Lep—" belum sempat Fania menyelesaikan ucapannya, suara lelaki yang sejak tadi ia tunggu terdengar begitu dingin dan tegas di telinganya. "Lepas!" Fania dan keempat lelaki itu menoleh kompak. Farel sudah berdiri di dekat mereka dengan tatapan tajam menusuk lelaki yang menggenggam tangan Fania. Saat melihat Fania yang tampak sedang digoda oleh beberapa lelaki, Farel langsung meninggalkan pesanannya dan menuju ke arah Fania. "Gue bilang lepas." Lelaki yang bernama Fajar malah tertawa. Bukannya melepaskan Fania, ia malah semakin mengeratkan genggamannya dan menunjukkannya dengan bangga pada Farel. Fajar tak tahu, jika saat ini Farel ingin sekali mematahkan tangannya yang dengan beraninya menggenggam tangan istrinya. "Siapa lo, nyuruh gue lepasin tangan Fania?" Fania miringis saat merasa tangan lelaki itu mulai mencengkeram tangannya. Farel mengerutkan keningnya dalam. Sejak kapan lelaki tak tahu diri itu mengetahui nama Fania. Farel langsung melirik ke arah Fania yang kini menundukkan kepalanya dalam-dalam. Farel tak mengerti kenapa Fania kini hanya diam dan tak membela diri. "Gue lagi kenalan sama cewek ini. Lo bukan siapa-siapanya, jadi nggak usah sok jagoan." Farel maju dan mencengkeram pergelangan tangan Fajar. Membuat lelaki itu dengan paksa melepaskan tangannya dari Fania. Fania langsung terduduk. Memegang pergelangan tangannya dengan gemetar. Tapi Farel tak menyadarinya. Mata Farel gelap. Ia ingin sekali memberi pelajaran pada lelaki yang dengan beraninya menyentuh istrinya, bahkan jika hanya seujung kuku sekalipun. "Gue suaminya, sedangkan lo orang asing. Jadi jaga sopan santun lo, dengan begitu gue juga akan melakukan hal yang sama." Fajar tertawa. Keempat temannya yang lain ikut tertawa, menertawakan Farel. Tangan Farel terkepal. Bertepatan dengan kepalan tangan Farel yang hendak melayang ke wajah Fajar, suara lirih Fania menghentikan niatnya. "Farel, aku mau pulang..." Farel sontak menoleh. Ia melepaskan kerah Fajar dengan kasar hingga lelaki itu terjungkal ke belakang. Farel berjongkok dan menyentuh bahu Fania. Mengangkat lembut dagu gadisnya dan menatap dua bola mata Fania yang bergetar di hadapannya. "Kamu kenapa? Ada yang sakit?" Fania diam. Ia menatap mata Farel dalam, membuat Farel menatapnya penuh khawatir. "Fania, kamu nggak apa-apa?" tanya Farel sekali lagi. "Aku takut," lirih Fania. Detik berikutnya air matanya menetes di pipi. "Kenapa takut? Ada aku di sini, Fania." Farel mengusap pipi Fania dengan lembut. Walau ia terkejut karena Fania menangis, ia tetap berusaha tenang. Fania menggelengkan kepalanya. Air matanya semakin banyak terjun bebas hingga membasahi permukaan wajahnya. Fania menarik ujung baju Farel. "Aku mau pulang, aku takut." Farel menggenggam erat tangan Fania di dalam mobil. Sedangkan Fania masih terus terisak di depannya. Setelah kejadian tak mengenakkan di kafe, Farel langsung menuntun Fania untuk meninggalkan kafe dan masuk ke dalam mobil. Fania tidak mau cerita, dan Farel juga sudah enggan bertanya. Ia lebih memilih diam menunggu Fania yang menceritakannya sendiri. Padahal niatnya mengajak Fania ke kafe agar gadis itu kembali mengumpulkan puing-puing semangatnya yang telah bertebaran karenna Pak Yogi. "Sini, peluk aku." Fania langsung menangis dengan lebih kencang saat Farel menarik kepalanya untuk bersandar di d**a lelaki itu. Farel mengusap punggung dan kepala belakang Fania bergantian. Menenangkan gadisnya yang entah bersedih karena apa. "Aku takut, Rel..." "Takut apa? Kan ada aku, Fania. Udah, nggak papa. Mereka nggak akan ganggu kamu lagi." Farel hanya berasumsi kalau Fania takut karena kelakuan keempat lelaki di kafe tadi. "Mereka ingetin aku sama seseorang, Rel." Farel semakin mengeratkan pelukannya saat Fania menangis dengan semakin menjadi. "Inget apa? Siapa yang kamu inget?" "Kak Azka," lirih Fania dengan suara yang sangat pelan, tapi sangat terdengar di telinga Farel. "Cowok tadi ingetin aku sama Kak Azka, Rel. Kak Azka juga pernah nyakitin tangan aku kayak tadi, Rel. Senyumnya yang nakutin, dan—" "Shhhtttt...." Farel langsung memotong lanjutan kalimat Fania. "Jangan diingat lagi, Fania. Kamu pernah janji kalau tidak akan pernah mengingat ingatan yang menyakitkan, bukan?" "Tapi aku takut, Rel. Semuanya langsung terputar lagi di kepala aku. Aku juga takut kalau kamu akan jad—" "Fania, sayang, jangan dilanjutkan lagi aku mohon. Jangan ingat sesuatu yang membuat kamu takut lagi. Semua itu sudah berakhir. Azka sudah tenang di sana, dan insyaAllah tidak akan ada lagi orang dengan sifat yang sama sepertinya." "Aku ada di sini, sama kamu. Aku akan lindungin kamu. Dan aku janji nggak akan lagi emosi seperti dulu. Maaf ya, maaf kalau aku buat kamu jadi takut lagi." Fania kembali menangis. Ia memeluk Farel dengan lebih erat lagi untuk menghilangkan semua rasa takutnya yang bercampur dengan rasa sedih. Kejadian setahun lebih ke belakang, memang sampai kapanpun akan menjadi hal yang akan terus membekas di kepala Farel maupun Fania. Terlebih Fania yang mengalami banyak hal dengan Azka. Kematin Azka yang bunuh diri di hadapannya dan serangkaian kejadian yang terkadang membuat Fania takut jika mengingatnya lagi. Apalagi saat dulu, Farel juga hampir mati karena berusaha melindungi dirinya dari Azka. Sehingga kejadian di kafe tadi, membuat Fania teringat akan kejadian menakutkan kala itu. Ia tak ingin lagi ada kejadian menakutkan dan menyeramkan dalam hidupnya. "Jangan takut, Fania. Ada aku di sini," ucap Farel entah untuk yang keberapa kalinya. Ia terus membisikkan kalimat itu dan berharap Fania akan melupakan rasa takutnya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD