BAB 2 | Hari yang Panjang

2781 Words
"Bunda, emang pipi aku bulat ya? Kata Om Palel pipi aku bulat kaya mochi. Padahal cetiap aku ngaca, yang bulat itu kepala aku, Bun. Bukan pipi aku. Kok Om Palel aneh ya, Bun? Apa Om Palel itu nggak bica bedain mana yang cetengah bulat dan bulat benelan?" Hafiz terus berceloteh di samping Alya yang sedang membaca Al-Qur'an. Alya tersenyum geli, menoel hidung anaknya gemas, dan kembali melanjutkan bacaan ngajinya. "Bunda, kok nggak jawab peltanyaan aku cih? Aku kan penacalan, Bunda." Alya menghela napas panjang. Ia mengakhiri bacaan qur'annya dan meletakkan mushafnya ke atas nakas. Ia memindahkan tubuh mungil Hafiz ke atas pangkuannya. Alya membelai puncak kepala Hafiz dengan penuh sayang. Menyisir rambut hitam milik Hafiz yang sudah melebihi telinga. "Hafiz tanya apa tadi? Maaf ya, karena Bunda tadi harus menyelesaikan bacaan Qur'an Bunda dulu." "Buku yang Bunda baca tadi namanya qulan? Kalau aku, kok bingung ya baca buku yang bunda baca tadi. Aku nggak ngelti cama tulicannya." Alya tersenyum lagi. "Buku itu namanya Al-Qur'an, sayang. Setiap umat muslim, termasuk Bunda, Ayah, dan juga Hafiz wajib membaca Al-Qur'an." Ingin rasanya Alya menjelaskan lebih banyak lagi tentang Al-Qur'an, tapi ia paham jika anak seperti Hafiz tidak bisa mencerna semua perkataan orang dewasa. "Emang kenapa halus, Bunda?" "Biar disayang Allah, dan masuk surga. Karena Allah sudah baik sama kita, maka kita juga harus ibadah sama Allah. Dan membaca Al-Qur'an adalah salah satu ibadah kita pada Allah. Hafiz mau kan disayang Allah dan masuk surga?" "Kalau aku baca qulan nanti Allah cayang cama aku? Telus aku macuk culga juga?" Alya mengangguk dengan terkekeh kecil. Ia memeluk pinggang Hafiz, sementara Hafiz menangkup pipi Alya dengan tangan kecilnya. "Iya. Surga yang pernah diceritain sama Ayah setiap Hafiz mau bobo. Tempat itu adalah tempat yang paling bagus. Tempat favoritnya umat muslim." "Iya, inget!" seru Hafiz. "Nanti aku mau ke cana cama Bunda dan Ayah, boleh nggak?" "Boleh sekali sayang. Apalagi kalau Hafiz bisa menghafal dan menjaga seluruh isi Al-Qur'an. " "Ooh.. Kayak nama aku yang dikacih cama Ayah dan Bunda ya?" "Iyap, betul. Bunda sama Ayah berharap Hafiz akan menjadi penghafal Al-Qur'an, biar Hafiz bisa masuk surga nanti." "Makacih ya Bunda, udah kacih nama aku yang kelen. Cemoga aku bica macuk culga cepelti doa Ayah dan Bunda buat aku." Cup! Alya tak bisa untuk tak mencium kening Hafiz. Ia memeluk tubuh Hafiz dengan erat dan membacakan shalawat untuk Hafiz. Hafiz tersenyum senang. Ia selalu merasa bahagia jika dibacakan shalawat atau bacaan Qur'an yang sering dilantunkan oleh kedua orangtuanya. Tin tin! Alya dan Hafiz kompak saling beradu pandang saat mendengar suara klakson mobil menyapa telinga mereka. Tak lama kemudian Hafiz berteriak dengan semangat. "Yayah pulang!!" anak itu langsung turun dari pangakuannya dan membuka pintu kamar dengan semangat. Alya tersenyum lebar melihat kelakuan anaknya. "Hati-hati, Hafiz!" "Yayaaahhh!!!" pekik Hafiz dengan semangat saat Althaf membuka pintu rumah mereka. Althaf tertawa melihat penyemangat hidupnya. Ia menunduk dan merentangkan tangannya dengan lebar. Tas dan tentengan oleh-olehnya ia jatuhkan ke lantai begitu saja. "Assalamu'alaikum Alhafiz, anak Ayah!" Hafiz berlari cepat dan masuk ke dalam pelukan Althaf. Althaf tertawa sekali lagi karena dirinya hampir saja terjengkang ke belakang karena tabrakan tubuh mungil Hafiz yang kencang ke arahnya. "Aykumcalam, Yah." Hafiz langsung menjatuhkan kepalanya di bahu Althaf dan memeluk leher Althaf dengan erat. "Aku kangen banget cama Yayah." Althaf tertawa kecil mendengar suara dan juga sikap menggemaskan dari sang putra. Uuh.. Ayah juga kangen sama Hafiz. Hafiz udah mamam belum?" "Udah, tadi dicuapin cama Bunda. Tapi Bunda belum mamam." "Oh ya? Kenapa?" tanya Althaf setelah mencium pipi Hafiz dengan gemas. "Katanya mau tunggu Yayah. Bial makan baleng katanya. Tapi kalena Bunda mau tunggu Yayah, jadinya aku cuma makan cedikit. Bial kita bica makan cama-cama." Althaf tersenyum lebar. Ia menggesekkan hidung mancungnya dengan hidung mungil Hafiz hingga anak itu tertawa geli. "Kalau gitu kita ketemu Bunda, yuk. Ayah udah kangen sama Bunda." "Bunda di sini." Suara itu membuat Althaf dan Hafiz sama-sama menoleh. Alya mendekati Althaf yang masih memeluk Hafiz dengan tersenyum lebar. Althaf berdiri tanpa melepas Hafiz dari pelukannya, sedangkan Alya mengambil tas kerja Althaf dan tentengan oleh-oleh pria itu. Althaf mengarahkan kepala Hafiz agar bertumpu di pundaknya hingga wajah anak itu mengarah ke arah lain. "Assalamu'alaikum, sayang." Althaf tak bisa menyembunyikan bahagianya saat melihat istri yang sudah sejak pagi ia rindukan. "Wa'alaikumsalam, Mas." Alya membalasnya dengan senyum yang tak kalah cerah. "Sayang..." Alya mengerutkan keningnya geli saat melihat Althaf yang mengerucutkan bibirnya maju. Alya menahan senyum sambil menggeleng tegas. "Ada Hafiz, Mas," katanya tanpa suara. Althaf ikut menggeleng tegas. Ia tetap mempertahankan bibirnya maju tanpa berniat membuang kesempatan. Akhirnya karena Alya tak menuruti keinginannya, Althaf yang terlebih dulu bertindak dan mencium bibir Alya. "Yayah!" "Iya sayang!" seru Althaf karena tiba-tiba Hafiz bersuara dan menolehkan kepalanya. Alya terkekeh dan mencubit pinggang suaminya. Beruntung hanya kecupan cepat yang terjadi. Hafiz menarik kepalanya dan menatap wajah ayahnya lurus. "Becok main ke lumah Nenek, yuk...." "Besok?" Hafiz mengangguk semangat. "Aku kangen cama Kakek, Nenek." "Ah, masa sih? Kangennya bukan sama Om Farel?" ledek Althaf. Hafiz nyengir lebar. Ia kembali memeluk Althaf dan menyembunyikan wajahnya karena malu. Ternyata rencananya ketahuan. Hari Sabtu artinya hari penuh kebebasan. Tidak ada bimbingan, tidak ada jadwal pergi ke kampus, tidak ada berangkat kerja. Semuanya bebas ingin melakukan apa pun yang diinginkannya. Biasanya juga Fania hanya berleha-lehar di kamar setelah acara sarapan dan beberes rumah. Tapi kali ini, waktu liburnya Fania ingin gunakan untuk belajar membuat kue. Walaupun kue terakhir kalinya gosong. Fania menatap semua bahan kue yang sudah ia siapkan dengan tatapan kosong. Fania masih bingung walau resep kue sudah terbuka di layar laptop yang ia letakkan di meja marmer dapur. Memang parah, padahal Fania sudah berada di rumah keluarga Rama selama 4 bulan, tetapi kemapuan memasaknya masih seperti anak baru seminggu. Benar-benar memprihatinkan. "Ckckck.." suara decakan mulai mengganggu konsentrasi Fania yang saat ini sedang menuang terigu ke dalam wadah. Fania menoleh dan mendapati suaminya sedang berdiri di dekatnya dengan tangan terlipat dan kepala menggeleng menatapnya. Seolah Fania adalah penyebab dari decakan menyebalkan itu.  "Mau ngapain kamu di sini? Mau ngeledekin aku? Udah deh, Rel, kali ini aku mau serius belajar bikin kue beneran." Farel menaikkan bahu santai. Ia bersikap seolah tak peduli dengan Fania yang kini sibuk di dapur. Farel memilih untuk duduk di meja makan, dengan memakan cemilan kue kacang dan pandangan wajah yang lurus ke arah Fania. Ia memperhatikan semua gerak-gerik Fania. Kerutan di dahi gadis itu. Keluhan di bibir gadis itu. Tangan yang sibuk memasukkan semua bahan kue, jga mata yang sering melirik ke atas seolah berpikir apa yang harus ia lakukan selanjutnya, membuat Farel merasa terganggu. "Mana ada orang yang mixer terigu doang Fania? Kalau gitu caranya bakal terbang semua tepungnya!" pekik Farel karena tepung yang bertebrangan ke arahnya." Fania mendengus sebal mendengar Farel yang mulai kembali berkomentar. Fania mengangkat pandangannya dan memicing menatap Farel yang hanya duduk manis menatapnya tak acuh. "Kamu kalau nggak mau bantuin lebih baik diem deh. Aku itu lagi serius mau bikin kue, jadi kamu jangan ganggu." Alih-alih menjawab dengan kata, Farel malah menaikkan bahunya santai. Benar-benar membuat Fania jadi keki. Fania memilih melanjutkan acara memasaknya daripada harus membalas sikap menyebalkan Farel. Memang dasar Farel, sikapnya itu tak pernah bisa ditebak Fania. Terkadang sikapnya itu manis, tapi hanya sedikit, sedangkan sikap menyebalkannya tetap lebih banyak. Masih ingat, ucapan Farel saat di balkon malam itu? Katanya Farel akan berusaha sering tersenyum pada Fania. Nyatanya sama saja -_- "Harusnya kamu mixer telur sama gulanya dulu, baru kamu masukin tepung, Fania." "Kamu kalau tau itu ya ajarin, bukan cuma ngom-" kalimat Fania mendadak berhenti begitu Fania merakan ada yang memeluk tubuhnya dari belakang dengan mendadak. Farel menambahkan gula pasir sesuai resep ke dalam wadah yang telah berisi 3 kuning. Setelahnya ia menarik mixer yang telah dicolok ke lubang aliran listrik. "Kamu mixer dulu kayak gini, sampai telurnya mengembang dan jadi busa gitu." Mana bisa Fania fokus belajar membuat kue saat ini? Kepala Farel bertumpu di atas bahunya. Napas hangat Farel menyapu sisi wajah Fania. Pelukan Farel dari belakangnya membuat Fania bisa merasakan bunyi detak jantung Farel yang berirama. Tangan Farel yang berada di atas tangannya yang sedang memegang mixer. "Bisa, kan?" tanya Farel dengan tubuh yang masih menempel pada Fania. Fania menghela napas panjang saat sadar ia sudah menahan napas untuk beberapa saat yang lalu. "Harus banget ya Rel, posisinya kaya gini buat ajarin aku mixer telor?" tanya Fania setelah mengatur degup jantung dan merona wajahnya saat ini. "Kenapa? Deg-degan, ya?" "Jangan tanya hal yang kamu tau jawabannya, Rel." Farel menarik sudut bibirnya. Ia mengecup pipi kiri Fania cepat hingga gadis itu memekik pelan karena kaget. "Om Palel!!" Farel sontak mundur begitu teriakan dari makhluk ciptaan Tuhan yang sering mengganggunya. Dan kali ini, makhluk kecil itu mengganggu romantikanya dengan Fania. "Om Palel! Ante Nania!" "Hafiz!!" seru Fania dengan tertawa senang karena kehadiran Farel. Ia langsung mematikan mixer kuenya dan mendorong tubuh Farel ke belakang. Ia segera berlari menuju Hafiz. "Haiissshh. Kenapa harus ada bayi menyebalkan itu, Tuhan?" ringis Farel. Dengan menghela napas ia menghampiri Hafiz dan Fania yang saat ini sedang berpelukan sambil bertukar tawa. "Om Palel!!!" bocah itu kembali berteriak hingga Farel sontak berhenti berjalan dan menutup telinganya. Lama-lama anak itu bisa memecahkan gendang telinga Farel. Dengan decakan kesal, Farel menatap tajam Hafiz yang kini berlari ke arahnya. Mau dipelototin seperti apa pun, Hafiz pasti akan menempel pada Farel. Farel sendiri juga tak mengerti, kenapa anak seperti Hafiz akan menyukai dirinya. Padahal dulu, Farel berharap Hafiz tak akan pernah mau mendekatinya. Tapi nyatanya, anak itu seperti permen karet yang selalu akan menempel jika Farel ada di dekatnya. Tuk. Farel menahan kening Hafiz dengan jari telunjuknya saat tangan mungilnya sudah hampir menyentuh bajunya. Hafiz sontak mendadak berhenti dan mengerucutkan bibirnya maju. "Mau ngapain?" tanya Farel dengan wajah datarnya. Tanpa ada senyum sedikitpun, membuat Alya yang hampir mendekatinya sangat ingin menjitak kepala adiknya itu. "Mau peyuk...." "Nggak mau. Sana pergi, jangan ganggu aku." "Assalamu'alaikum," "Wa'alaikumsalam," Farel menarik tangannya dari Hafiz lalu berdiri menyambut kedatangan kakak iparnya, Althaf. Rasanya, kakak iparnya itu semakin bertambah umur justru semakin terlihat pesonanya. Ah, Farel juga ingin punya banyak pesona seperti Althaf. Althaf berdiri tegap di sisi Alya dengan merangkul bahu kakaknya itu. Kemeja berwarna baby blue dengan garis lengan berwarna navy senada dengan gamis biru yang juga Alya kenakan. Farel sangat senang melihat keluarga kakaknya yang selalu terlihat harmonis di umur pernikahan yang sudah akan menginjak 5 tahun. "Gimana Farel kabarnya? Sehat?" "Sehat Mas, alhamdulillah." Karena Farel tengah fokus pada Althaf, makanya Farel membiarkan Hafiz memeluk kakinya. "Halo anak-anak Bunda!" Althaf dan Alya kompak mengangkat pandangan dan menatap Kartika yang tersenyum hangat menyambut kedatangan mereka. "Bunda, apa kabar?" tanya Althaf setelah mencium punggung tangan Kartika. "Baik Alhamdulillah," jawab Kartika dengan mengusap bahu Althaf. "Om... Aku taneenn..." maksudnya kangen. Hafiz memeluk erat kaki Farel. "Aku nggak," jawab Farel sekenanya. "Iih Farel. Jangan gituin Hafiz," ancam Fania dengan melayangkan pukulan pelannya di lengan Farel. Sementara Althaf dan Alya sibuk bertukar kabar dengan Rama dan Kartika, Farel dan Fania sibuk dengan Alhafiz. Farel berdecak pelan. Ia menghela napas panjang lalu mencoba menetralkan mimik wajahnya semaksimal mungkin. "Kamu ngapain masih di sini, Mochi?" tanya Farel dengan menatap dua bola mata jernih milik Hafiz. "Salaman dulu sana sama Kakek dan Nenek." "Tapi macih tanen cama Om Palel dan Ante Nania." "Farel," koreksinya. "Nama aku Farel, bukan Palel." "Palel," ulang Hafiz sekali lagi. "Farel," koreksi Farel dengan nada gemas. "Dibilang, namaku tuh Farel. Bukan Palel. Hari ini kamu harus belajar ngomong huruf F dan R. Dan masih banyak huruf lain yang belum bisa Hafiz lafalkan dengan jelas." "Hafiz, main sama aku aja yuk. Aku punya krayon baru buat Hafiz belajar gambar." Sesekali Fania mencium wajah Hafiz gemas, hingga anak itu terkekeh geli. "Yeeaayy!" pekik Hafiz girang dengan langsung berhambur ke pelukannya Fania. "Pantecan Ante Nania makin cantik, coalnya baik. Aku jadi makin cuka cama Ante Nania.." "Heh!" Farel membulatkan matanya menatap Hafiz. "Kalau kamu suka cewek cantik, cari yang lain. Jangan suka Fania. Karena Fania itu cuma buat aku, bukan kamu." Hafiz langsung merengut kecewa. "Farel, kok bicaranya begitu sih ke anak kecil?" Farel menolehkan kepalanya, membuat jarak wajahnya dengan wajah Fania jadi menipis. "Jangan banyak-banyak senyum buat Hafiz. Senyum kamu itu cuma buat aku aja," kata Farel dengan mengecup pipi Fania tanpa mengingat Hafiz yang berada di antara mereka. Farel merangkak naik ke kasur dan merebahkan tubuhnya di samping Fania. Fania masih fokus membaca buku novel dengan bersandar di kepala ranjang. "Kamu belum mau bobo?" Farel menghadapkan tubuhnya ke arah Fania. Ia memeluk gulingnya dan menjatuhkan kepalanya di atas kepala guling. Mendongak dengan menatap Fania yang asyik membaca buku. "Belum. Kamu kalau mau tidur, tidur duluan aja." Farel berdeham pelan. Ia menarik satu tangan Fania dan menaruhnya di atas kepalanya. Fania melirik Farel dan tersenyum tipis. "Dasar manja," cibir Fania dengan tetap membelai puncak kepala Farel sementara satu tangannya tetap memegang buku. "Cape banget aku hari ini. Rasanya punggung aku remuk gara-gara si Mochi." Fania terkekeh kecil lalu menepuk pelan puncak kepala Farel. "Sabar ya, nanti kamu kalau punya anak juga kayak gitu." "Mana besok si Mochi juga masih ada di sini lagi. Hhhhhh.... Sabarkan hamba Ya Allah.." Fania meresponnya dengan kembali terkekeh. Melihat interaksi Farel dengan Hafiz itu selalu menyenangkan. Hari ini Hafiz benar-benar membuat Farel kelimpungan. Farel terpaksa mengiyakan semua keinginan Hafiz termasuk saat anak itu meminta Farel menggendongnya di punggung. Kalau bukan karena pelototan mata dari ayah dan bundanya, mana Farel mau melakukannya. "Udah, sekarang kamu istirahat. Besok pagi pasti Hafiz akan ngajak main lagi." "Fania..." "Hm?" "Aku mau dikelonin kamu." Fania mengerutkan keningnya. Ia mendengus dan menatap Farel dengan tatapan geli. Sikap Farel yang terkadang suka manja padanya membuat Fania ingin tertawa kencang. Sikap Farel memang terkadang sering berubah 180°. Farel bisa menjadi suami yang pendiam, cuek, sok tidak peduli, tapi sebenarnya sangat perhatian, posesif, juga sangat manja. Hanya luarnya saja yang seperti es batu, padahal dalamnya seperti air kalau dilelehkan. "Kamu kan udah peluk guling. Biasanya peluk guling juga udah cukup." "Iish. Cepet sini." Dengan cepat Farel menarik tangan Fania hingga gadis itu terpaksa berbaring di sampingnya. Fania berdecak pelan karena Farel yang tak sabaran. Ia meletakkan novelnya di atas nakas lalu mematikan lampu tidur. Fania menatap geli Farel yang menatap kedua matanya lekat. Tangannya melingkar di pinggang Farel sesuai dengan permintaan lelaki itu. "Kenapa liatin aku kayak gitu?" tanya Fania dengan suara berbisik. Ia masih bisa melihat wajah Farel yang terkena sinar temaram rembulan dari celah ventilasi jendela. Farel tersenyum penuh arti. "Kamu cantik," katanya yang membuat Fania tertawa pelan. Farel menatap lurus manik mata Fania. Saat Fania hendak memundurkan wajahnya, Farel menahan kepala belakangnya dengan tangan. Tangan Farel justru mendorong kepala belakang Fania agar maju semakin mendekat dengan wajahnya. Fania memejamkan matanya begitu wajah Farel mendekat. Hidung mereka saling bersentuhan hingga Fania dapat merasakan napas Farel yang menyapu permukaan wajahnya. Fania meremas baju Farel begitu lelaki itu mulai mencium bibirnya. Farel melakukannya dengan perlahan tapi sedikit menuntut. Fania menarik wajahnya untuk menarik napas sesaat, tapi belum lama hingga Farel kembali mendekatkan wajahnya. Farel seakan tak membiarkan Fania melepaskan diri walau sejenak. Fania memang tidak masalah. Toh, mereka suami istri. Menyenangkan Farel adalah pahala untuknya. Tapi bernapas adalah satu hal yang paling penting untuk hidup bukan? "Farel..." ucap Fania dengan suara tertahan karena kini tangan Farel yang mulai bermain di sekitar tubuhnya yang lain. Tok Tok Tok!!! Suara gedoran pintu di kamarnya sempat membuat Farel menggeram pelan. Tapi ia sama sekali tidak berniat untuk bangun membukakan pintu meninggalkan Fania. Farel tahu pasti siapa pelaku penggedoran pintu kamarnya. "Om Palel!!" "Om Palel!!" "Rel, Hafiz manggil kamu," kata Fania dengan mendorong sedikit tubuh Farel. Tapi Farel tetap tak berkutik. Ia kembali maju dan mendekatkan wajahnya dengan Fania. Ia benar-benar tutup kuping dengan panggilan Hafiz. "Rel, Farel!" Fania terpaksa mendorong tubuh Farel menjauh saat telinganya mulai mendengar teriakan dan tangisan Hafiz di luar. Fania bangkit duduk lalu merapihkan rambutnya yang berantakan. Untungnya kancing baju tidurnya belum ada yang terbuka satupun. Fania menyalakan lampu tidur dengan perasaan menyesal. Ia mengusap wajah Farel yang memperlihatkan raut wajah kecewa. "Maaf ya, Rel, tapi aku nggak enak sama Hafiz. Nanti kalau dia nangis gimana?" "Ini sudah malam, Fan. Dan kita juga udah ajak main Hafiz hampir seharian. Bisakah kita fokus dengan kita saja sekarang?" tanya Farel dengan menekankan kata 'kita'. "Tapi dia nyebut-nyebut nama kamu terus. Dia bahkan udah ketok pintu kita berkali-kali. Kasian Bunda sama Ayah yang udah tidur, mereka pasti keberisikan." Farel menggeram kesal dan membekap wajahnya ke atas bantal. Dengan raut menyesal juga tak enak, Fania tetap berdiri dan memakai mukena untuk membuka pintu. Farel yakin, malam ini pasti akan menjadi malam yang paling panjang dan menyebalkan untuknya. Deritanya belumlah berakhir hari ini. Anak kecil itu memang hadir untuk menjungkir balikkan kenyamanan Farel. • BERSAMBUNG • Jones pada tahan napas yaa? Kasian peluk guling aja gih kalian
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD