BAB 1 | He is My Husband

1946 Words
Fania mengerjapkan matanya beberapa kali. Saat matanya sudah terbuka sempurna, ia melihat seorang lelaki yang masih memejamkan matanya berada tepat di depan wajahnya. Tangan lelaki itu juga masih melingkar di pinggangnya. Lelaki bernama Farel Ardiansyah Pratama yang menyandang status sebagai suaminya. "Hhhh..." Fania menghela napas panjang kala mengingat kejadian manis yang mendebarkan itu. Ia tak pernah menyangka kalau lelaki bervisi tinggi itu akan melamarnya sebelum mereka lulus kuliah. Padahal ia tahu betul, list hidup masa depan yang diinginkan seorang Farel. Fania dan Farel resmi menjadi pasangan suami istri saat mereka masih berada di semester 6. Lelaki itu bulat untuk melamar Fania menjadi calon istrinya seminggu setelah kesibukan KKN di kampus berakhir. Tapi kini lihatlah, tuan kutub utara yang dulu selalu membuatnya kesal setengah mati karena kecuekannya, malah tidur di sampingnya dengan memeluk erat dirinya. Jangan tanya, berapa banyak waktu yang dihabiskan Farel dan Fania untuk berdebat ini dan itu hanya karena masalah sepele. Sejak mereka satu kelas di bangku SMA, keduanya sudah sering terlibat adu mulut dan malah berakhir saling memiliki perasaan yang sama. Menikah. Satu kata yang merubah banyak hal di antara Farel dan Fania. Banyak hal yang berubah, banyak juga hal yang masih sama seperti dulu. Sifat Farel dan Fania yang masih sama saja seperti saat keduanya masih suka adu mulut dan memperdebatkan hal yang kecil. Fania tersenyum lebar menatap wajah damai Farel yang masih terlelap tertidur. Lelaki irit bicara yang penuh dengan segudang sifat menyebalkannya, tetapi tetap lelaki yang ia sayangi dan ia cintai di dunia ini. Farel, cinta halalnya yang ia harap akan bisa bertahan hingga maut memisahkan. "Rel, bangun. Udah mau adzan subuh." Farel mengeluh pelan saat Fania mengusik tidurnya. Gadis itu menggoyangkan lengan Farel agar Farel mau bangun dari tidurnya. "Farel, bangun!" Karena Farel tak juga membuka matanya, jemari Fania langsung menarik hidung Farel. Cukup kencang hingga Farel meringis dan membuka paksa matanya. Fania nyengir lebar. "Sakit ya? Maaf..." Farel mendengus dan malah kembali memejamkan matanya erat. "Bangun sayang... Udah mau solat subuh. Kamu nggak mau solat tahajud dulu?" Farel menghela napas berat. "Aku masih ngantuk, Fania." "Ya terus gimana dong? Kamu lebih milih tidur daripada solat tahajud?" Mata Farel yang masih setengah terbuka itu mencoba mengerjap-ngerjap beberapa kali. Tangan Farel yang masih berada di pinggang Fania menarik tubuh Fania semakin erat ke tubuhnya. Kepala Fania sampai terpaksa bersembunyi di d**a Farel karena pelukan suaminya. Fania tersenyum simpul. Ia juga membalas pelukan Farel untuk beberapa saat sebelum akhirnya keduanya bangun dan menuju toilet untuk solat tahajud berjamaah.    Setelah merapihkan kamarnya, Fania turun ke bawah untuk membantu Kartika, mertuanya, untuk menyiapkan sarapan. "Fania hari ini ada bimbingan?" Fania melirik sekilas ke kanan, dan menggeleng. "Nggak ada, Bun. Jadwal bimbingannya besok." "Kalau gitu hari ini ikut Mamah belanja ke supermarket ya?" "Siap, Bos!" seru Fania semangat. Mengundang kekehan geli dari Kartika. Ada Fania di rumahnya, sangat menyenangkan untuk Kartika. Adanya Fania membuat rumahnya menjadi terasa lebih hidup dan atmosfirnya seakan ceria dan berwarna. Hadirnya Fania di rumahnya, menambal kerinduan yang pernah ia rasakan saat ia merindukan putri pertamanya, Alya, yang sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya, Althaf. "Oh iya Fan, gimana..." Fania mengerutkan keningnya tipis. Ia meletakkan pisau dapurnya lalu menatap Kartika. "Gimana apanya, Bun?" Kartika menahan senyumnya. Tatapannya masih fokus pada sayurnya yang sedang ia aduk di atas kompor, tapi sudut matanya mampu menangkap menantunya yang kini menatapnya bingung. "Mmm.. Itu..." "Itu apa, Bun?" "Itu loh... Maksud Bunda...itu... Kamu udah—" "Bunda!" suara Farel yang tiba-tiba terdengar membuat Kartika terpaksa menghentikan ucapannya. Farel melangkah cepat menuju dapur. Kartika sampai berjengkit kaget saat melihat tatapan anaknya menajam padanya. Kartika mendengus, merasa sebal dengan anak laki-lakinya itu. "Kamu ke atas." "Hah?" bingung Fania saat Farel menyuruhnya naik ke atas. "Ngapain ke atas? Aku kan lagi masak sama Bunda." "Materi bahan meeting Ayah belum aku masukin tas, masih di atas meja. Tolong kamu masukin ya." "Bun, aku tinggal bentar nyiapin keperluan Farel ya." Kartika hanya bisa mengangguk pasrah tanpa bisa berkomentar. Sepeninggalnya Fania, Kartika baru berani menatap Farel. "Kamu tuh rusak topik pembicaraan Bunda aja, deh." "Karena aku tau apa yang mau Bunda omongin ke Fania." Helaan napas panjang Kartika keluarkan. "Bunda pengen punya cucu, Rel." "Bunda udah punya Hafiz." "Baru satu, Rel. Kurang..." "Minta lagi lah sama Mbak Alya. Kenapa bilang sama aku?" "Kamu kan juga anak Bunda. Dan kamu juga udah nikah, wajar dong kalau Bunda minta cucu juga sama kamu." Farel hanya bisa menggeleng. Ia belum siap kalau harus punya anak. Jangankan memikirkan punya anak sendiri, melihat anaknya Alya yang bernama Hafiz saja Farel masih sering dibilang kejam. Alya bahkan sering sekali memarahinya dan menuntutnya agar bisa lebih bersikap manis pada Hafiz. Hari Rabu ini, Farel dan Fania sama-sama ada jadwal bimbingan pagi di kampus dengan dosen pembimbing masing-masing. Jika ada jadwal bimbingan, maka Farel diperbolehkan izin oleh ayahnya untuk tidak masuk kerja. Karena bagaimanapun, Rama mengharapkan Farel akan segera lulus agar bisa merubah stastus dari anak magang menjadi karyawan. "Fania!" "Jangan teriak-teriak gitu dong sayang," nasihat Kartika saat mendengar suara Farel yang begitu nyaring. "Fania lama banget siap-siapnya, Bun." Farel membuang napas panjang. "Aku udah nunggu dari lima belas menit yang lalu," lanjutnya dengan mengeluh tak sabar pada sang bunda. "Namanya juga perempuan. Kamu ini, kayak baru nikah sehari aja sama Fania." Bertepatan saat Farel hendak membalas ucapan bundanya, suara riang Fania membuat Farel dan Kartika kompak menoleh. Rupanya princess menyebalkannya itu sudah selesai bersiap. "Hai!" Farel menatap jengah Fania yang tersenyum manis kepadanya. "Maaf ya, buat kamu nunggu lama." Fania mengangkat satu alisnya sambil tersenyum manis, menanti jawaban Farel. "Cepet masuk mobil." Fania mengerucutkan bibirnya maju melihat Farel yang langsung keluar dari rumah setelah pamitan singkat pada Kartika. Tapi bukannya merasa bersalah, Fania malah terkikik geli. Rasanya menyenangkan kalau membuat si tuan kutub bete di pagi hari. Setelah pamitan, Fania segera berlari menuju mobil. Ia duduk manis di samping Farel dan memakai seatbeltnya tanpa disuruh. Mobil melaju dengan kecepatan normal. "Rel, pulang bimbingan nanti, mampir ke kafe yuk. Aku mau makan waffle," ucap Fania dengan menatap kuku-kukunya yang baru kemarin ia potong. "Nggak. Selesai bimbingan langsung pulang. Jam 2 siang aku harus nemenin Ayah ketemu klien." Farel menjawabnya dengan suara yang dingin. Tatapannya pun hanya lurus ke depan. Malas melihat wajah Fania yang kini senyumnya entah kenapa malah menyebalkan. Fania mengerucutkan bibirnya. "Iih. Kok gitu? Tapi aku mau mampir ke kafe itu. Udah lama aku nggak ke sana. " "No, Fania. Kita bisa mampir di lain hari." Wajah Fania sontak memelas. "Aku yang traktir deh, siang nanti. Ya ya ya? Ayo dong, katanya kamu sayang aku?" Farel melirik ke kiri. Ia mendengus sebal saat melihat cengiran lebar Fania. Tangan kiri Farel terulur dan mendorong pipi Fania pelan. Memaksa gadis itu untuk menatap ke arah jalan, bukan ke arahnya. "Jangan liatin aku kayak gitu. Nggak mempan." "Iih, diliatin cewek manis kayak aku kok nggak mau." Fania melipat tangannya. Bergaya marah karena sikap Farel. "Nanti kalau ada cowok lain yang aku liatin kayak gitu, kamu baru tau rasa!" "Try it, if you dare." Jawab Farel mengundang pelototan mata dari Fania. Farel mengangkat sebelah alisnya saat ada beberapa mahasiswi yang tiba-tiba berhenti di depannya. Farel jadi ikut menghentikan langkahnya. Ia menatap 5 orang yang kini berdiri di depannya dengan wajah yang memancarkan binar bahagianya. Dari wajah dan tingkahnya, Farel yakin kalau kelima gadis di depannya adalah mahasiswi baru. "Ada apa?" tanya Farel dengan wajah datarnya. Tapi jelas tergambar, ada ekspresi tak nyaman yang diperlihatkan Farel. "Kakak yang namanya Kak Farel, kan?" Merinding Farel mendengarnya. Ia paling geli dengan panggilan 'Kak'. Makanya, karena tidak suka dipanggil 'Kak', Farel jadi tidak bisa akrab dengan junior di kampusnya. Kalaupun dekat, itu pasti karena keterpaksaan. "Tau nama saya dari mana?" Kelima gadis muda itu terkikik girang bersamaan. Mereka saling berbisik histeris. Membuat Farel menatap mereka dengan tatapan aneh juga ngeri. "Ini buat Kakak," belum sempat Farel menolaknya, semua barang yang ada di masing-masing tangan gadis itu sudah berpindah ke dalam dekapan Farel secara paksa. Ada s**u kotak, cokelat, boneka kecil, dan juga nasi kotak. "Apa?" Farel menatap bingung semua pemberian kelima gadis di depannya. Seingat Farel, ia sedang tidak ulang tahun. "Iya. Itu buat Kakak," kata gadis yang kalau dilihat sekilas adalah yang paling cantik di antara kelimanya. Farel menghela napas panjang. Ia malas membuang-buang waktunya seperti ini. "Maaf, tapi saya harus pergi." Kalau Farel yang dulu, mungkin ia sudah membuang pemberian kelima gadis itu. Tapi karena sekarang ia sudah sering mendapat ceramah untuk merubah sikap dinginnya dari Fania, makanya ia bisa sedikit merespon dengan baik. Walau tetap, Farel merasa ini benar-benar membuang waktunya. Padahal karena Fania tadi masih bimbingan, Farel ingin ke perpustakaan untuk mencari referensi buku untuk bahan skripsinya. Tapi ternyata ia malah menemukan kendala seperti ini. Mendengar usiran halus Farel, kelima gadis itu bukannya menyingkir tapi malah semakin merasa seru karena respon dingin Farel. rupanya mahasiswi baru seperti mereka menyukai karakter cocok yang dingin dan kaku seperti Farel. "Kakak nama lengkapnya siap?" tanya seorang gadis yang berambut panjang dikuncir kuda. Wajahnya manis dengan kacamata bundar bertengger di tulang hidungnya. "Kakak katanya terkenal pinter ya? Yang sering menang olimpiade itu, kan?" satu temannya lagi ikut menyahut. Kali ini yang memakai kerudung pashmina berwarna hitam angkat suara. "Kakak rumahnya di mana?" gadis cantik yang berdiri di kiri Fania kini malah menyentuh ujung kemeja Farel. Membuat Farel sontak mundur selangkah. "Kakak udah makan siang? Mau makan siang bareng kita?" Farel masih diam. Ia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi banyak kaum hawa di sekitarnya. Menghadapi Fania seorang saja ia sudah kewalahan. Bagaimana dengan yang sebanyak ini? "Kakak udah punya pacar belum?"  Pertanyaan itu membuat Farel membuka tutup matanya pelan. "Saya punyanya istri," jawab Farel jujur tanpa ada yang ia tutupi. "Istri? Ahh si Kakak nih. Hahaha ya nggak mungkinlah. Masa udah nikah, kan masih muda banget?" "Saya tidak boh—" Farel sontak menghentikan ucapannya saat mendengar suara dehaman dari seseorang yang sangat ia kenali. Farel dan kelima gadis itu menoleh bersamaan. Mereka menatap gadis yang memakai rok lipit berwarna dusty pink dan kerudung motif dengan warna senada. Menambah kesan manis dan imut pada gadis itu. Tapi sayang, tatapan gadis itu sekarang terlihat dingin dan tegang. Farel membulatkan matanya. Bibirnya juga membentuk lingkaran bulat karena melihat gadis itu melangkah ke arahnya. "Fania? Dari kapan di situ?" Fania menarik kedua sudut bibirnya. Ia tersenyum, tapi entah kenapa senyumnya malah terlihat menakutkan. "Baru ditinggal istri pergi sebentar, udah berani tebar pesona! Dasar. Try it if you dare apanya? Harusnya aku yang tadi ngomong kayak gitu di mobil!" Fania memberikan tatapan lurusnya pada Farel. Membuat Farel yang ditatap seperti itu hanya bisa berdeham pelan karena tahu apa yang ada dipikiran Fania. Mata Fania beralih fokus menatap barang dan makanan yang ada di dekapan suaminya. "Ambil," ucap Fania dengan menatap kelima gadis itu. "Apa?" kelima gadis itu mengerutkan keningnya kompak karena perintah Fania. "Ambil," ulang Fania. Karena tak ada yang mengindahkan ucapannya, Fania mendengus geli sambil berkacak pinggang. Ia menatap kelima gadis itu bergantian secara lekat. Membuat Fania terlihat seperti sedang mengundang pertempuran. "Saya bilang, ambil." "Ambil," Farel mengikuti kemauan Fania. Ia menyodorkan kembali pemberian kelima gadis itu. "Maaf, tapi kamu siapa?" Fania tersenyum sekali lagi. Ia menatap salah satu gadis yang menatapnya dengan tatapan sebal karena berani mengganggu. "Apa kalian nggak denger tadi kakak kelas kalian yang tampan ini bilang udah nikah?" Fania mengangkat tangan kirinya dan memperlihat punggung tangan kirinya. Benda mengerling berwarna emas itu akhirnya membuat kelimanya bungkam seketika. Seakan tidak cukup memamerkan cincin nikahnya, Fania meluncurkan aksi keduanya. Farel membulatkan matanya, begitu Fania menarik lehernya dan mensejajarkan kepalanya dengan kepala Fania. Fania menatap tajam juniornya, sedangkan Farel berusaha keras melepaskan lehernya dari pitingan Fania. "Saya istrinya. Dan Farel, dia suami saya!" Haiii!!  Haphap comeback! Soo, don't forget to vote, coment, n share Jazakumullah Sayang kalian ❤ Haphap
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD