BAB 10 - Sebuah Tekad

1293 Words
Rasanya, jiwa Gita saat itu begitu melayang. Namun karena tingginya ia terbang, sang gadis  malah benar-benar takut jika akan terhempas dengan keras. Pakaian baru, rumah megah yang beberapa kali pernah ia lihat saat melewati belakang area perkantoran ... semua itu bagaikan mimpi di siang bolong. Gita bersyukur, sangat bersyukur. Namun ia menjadi sangat gamang, karena apa yang sedang ia alami kini benar-benar terasa begitu memabukkan dan tidak nyata. Dia berasal dari keluarga miskin selama umur dirinya hidup di dunia, yang bahkan sebuah televisipun juga tak terbeli saat miliknya rusak beberapa waktu lalu. Dan kini, seketika saja semuanya mendadak akan berubah. Hatinya menjerit saat ia memejamkan mata sambil mencubit lengannya sendiri. Tidak, ia tidak bermimpi. Tapi ... ia jadi takut jika semua adalah sebuah ilusi yang disebabkan oleh senda gurau Tuhan yang tengah iseng untuk bermain-main dengan nasibnya. Gadis yang cerdas dan selalu mengutamakan logika itu menjadi kehilangan semua akal sehatnya. Sebab, ia jadi tak bisa menggunakan semua kecerdasan yang dimilikinya untuk menganalisa apa yang bisa menyebabkan dirinya menjadi begitu beruntung. Bukan karena sang gadis telah menjadi tamak atau silau akan segala kemewahan yang ditawarkan pada dirinya, bukan itu sebabnya! Namun ia lebih memikirkan tentang sebuah tempat yang bersih, rapi serta sehat agar ibunya tidak sakit-sakitan lagi. Gita sadar benar, bahwa penyakit ibunya itu lebih disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal mereka yang sempit, lembab serta tak pernah mendapatkan siraman matahari dan udara segar. Karena semua hal yang buruk tadi, ibunya yang secara fisik tak sekuat Gita dan sang adik tentu saja menjadi mudah terkena penyakit. ---   Gita paham, jika sekarang bersedia menerima segala fasilitas yang ditawarkan, ia pasti tak akan pernah bisa mundur begitu saja. Keluarga, terutama sang ibulah yang menjadi pertimbangan utama. Jadi, untuk saat ini juga ia harus bisa memutuskan apa yang sebaiknya harus dilakukan. Gita mungkin bisa memilih opsi termudah dari beberapa kemungkinan yang sudah berhasil dipikirkannya. Menikmati semua yang kini ia dapatkan, dan hanya melakukan begitu saja dengan bekerja  sekedarnya  untuk mendapatkan kenyamanan selama beberapa bulan ...  Atau, ia akan memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya dengan bekerja keras agar dapat meraih segala yang terbaik bagi keluarga dan juga perusahaan tempatnya bekerja.  Dengan harapan; apabila perusahan bisa semakin maju dengan semua sumbangsih inisiatif, gagasan serta ide darinya; maka kemungkinan untuk dia dan keluarga menjadi sejahtera pasti akan semakin terbuka lebar. --- Kembali Gita berpikir dengan cepat tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi saat ia semakin bekerja intens dan melekat sebagai sekretaris pribadi Niko. Yang pertama, tentu saja masalah tugas yang diberikan oleh Bu Winda. Meski merasa jika hal tersebut memang baik diberikan untuk seorang mahasiswa pemalas seperti sang CEO itu, namun ia sendiri kurang setuju dengan metode pembelajaran dari sang dosen tersebut. Karena, bukankah hal seperti akan sangat mudah dimanipulasi oleh si mahasiswa? Buka saja di pencarian online, pasti akan segera didapatkan jawaban atas semua pertanyaan. Lalu, tinggal copy dan paste saja maka semuanya sudah beres. Masalah selanjutnya adalah gelar yang melekat pada diri si ganteng Nikholas Arya Narendra itu. Bukan sebuah rahasia besar kalau anak tersebut telah menjadi semacam legend yang tak pernah ditolak sekalipun oleh gadis incarannya. Dengan demikian, mungkinkah mangsa berikutnya itu adalah Gita sendiri? Gadis itu tidak tahu dan belum bisa memahami sepenuhnya. Niko pernah satu kali mengajaknya berkenalan sampai harus mengejar-ngejar hingga sampai halte depan kampus mereka. Tapi apakah itu sudah masuk sebagai kriteria ‘incaran’?  Ia tak tahu, karena masalah ajakan perkenalan dari laki-laki manapun selama ini juga selalu ia perlakukan sama, yaitu menolak dengan tegas! --- Sekarang, jujur saja ia jadi memiliki sedikit keraguan dalam membulatkan tekadnya untuk maju dan meraih apa yang ia harapkan bagi perbaikan kehidupan keluarga. Terus terang, ia memiliki analisa utama jika Niko itu sejujurnya masih terlalu mentah untuk diberi tanggungjawab mengelola perusahaan sedemikian besar. Tapi yang namanya hak waris, itu adalah suatu hal yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Pemuda tanggung tersebut tengah memanen keberuntungan karena para leluhurnya yang memang sudah memiliki segudang harta bahkan sejak anak itu belum dilahirkan. Dan layaknya menemukan sebuah benda tanpa harus mengeluarkan tenaga serta pikiran, bisa jadi dia akan bertindak seolah hal tersebut tak memiliki makna sama sekali. Dan, itulah yang kini sedang menjadi pemikiran Gita. Bu Nuning menekankan betapa pentingnya untuk mempelajari seluk beluk perusahaan, dan itu sudah disanggupi dengan antusias oleh si sekretaris pribadi. Tapi bagaimana dengan sang CEO itu sendiri? Maukah ia belajar dan berusaha dengan keras? Ataukah urusannya memilih Gita sebagai sekretaris pribadi hanyalah sebagai sebuah permainan saja? ---      Pilihan sang gadis jadi semakin jelas, karena sekarang ia memiliki dua opsi. Yang pertama dan paling mudah baginya, adalah dengan  cukup menerima 'kontrak kerja' sebatas masa kuliah. Tentu saja, hal tersebut akan sekaligus memberikan kesenangan karena telah memberikan kemenangan ego sesaat bagi lelaki kaya itu. Tetapi, itu sama saja berarti  mengabaikan segala kemungkinan masa depan cerah di depan mata. Atau yang kedua ...  beranikah seorang Andrea Gita bertahan mati-matian untuk meraih posisi permanen demi mengangkat harkat hidup keluarga? Walaupun, itu berarti harus bekerja dengan sangat keras, ekstra sabar dalam 'melayani' sang atasan yang mungkin bisa saja membuat dirinya mengorbankan semua yang dimiliki. ---   Ia harus memilih! Dan saat ini bayangan sebuah kontrakan sempit tanpa udara segar serta  sinar matahari terus saja membayang dalam benaknya. Lalu ia sampai pada suatu keputusan, bahwa sebuah kesempatan terbaik itu tak akan pernah datang untuk kedua kalinya. Ia harus berani menghadapi, bertarung dan memberikan semua harta yang dimilikinya. Sebab ... jika perusahaan memang belum bisa melihat kemampuan terbaik seorang Andrea Gira Arshavina saat ini,  satu-satunya hal yang bisa memuluskan jalan untuk menaikkan status kehidupannya adalah Niko seorang. Bu Nuning hanya berpikir secara sederhana tentang bagaimana ia harus belajar keras agar mampu mengenal semua detil pekerjaan sehingga nantinya secara perlahan akan mampu mengelola perusahaan. Wanita sekretaris Narendra senior yang cantik itu belum sepenuhnya tahu, terkait latar belakang pribadi apa yang menggerakkan Niko untuk memilih seorang Gita sebagai sekretaris pribadi. Tetapi biarlah, ia akan menyimpan saja semua rahasia itu sendiri dan tak perlu mengungkapkan keraguannya pada orang lain. Saat ini Gita sudah bertekad; apapun yang diinginkan bocah itu, dengan rela akan ia berikan jika memang sudah tak ada cara lain untuk menghindari. Sampai pada titik itu, bahkan seluruh tubuhnya akan ia serahkan jika lelaki itu menghendaki. Karena itu tak berarti apapun dibanding kesehatan ibu dan masa depan sang adik. --- "Bagaimana, Gita? Kapan kamu akan menempati rumah itu?" Merasa mendapatkan pencerahan walau hanya sebatas alasan latar belakang ekonomi, Gita segera menjawab pertanyaan sang sekretaris senior. "Kapan tempat tersebut bisa saya tinggali?" "Saya rasa, sore atau malam hari nanti sudah bisa untuk kamu tempati." "Baiklah, Bu. Hari ini juga kami akan pindah. Saya rasa tak akan repot, karena memang tak ada barang berharga yang bisa kami boyong untuk menempati rumah baru." Napas Nuning tercekat, ia kembali membayangkan sebuah tempat yng berada dalam keadaan dibawah garis sederhana yang menjadi tempat tinggal gadis cantik itu sekarang. Lalu dengan segera ia menepis keharuan yang sempat menerpa, dan berkata dengan tegas, "Pilihan yang sangat bijak. Jangan takut untuk maju, Git ... raih semua peluang yang ada di depanmu. Jika kamu menemui kesulitan apapun, Bu Nuning akan selalu ada untukmu dan juga Niko." Meski matanya terasa panas dan seperti berkaca-kaca, wanita dewasa itu hanya berdehem untuk membuang parau dan membetulkan letak kacamata sambil sedikit mengucap matanya dengan jari. "Terima kasih, Ibu. Segala budi kebaikan ini tak akan pernah saya lupakan." “Sama-sama, Nak ... oh iya, telepon ibu nanti kalau kalian sudah siap meninggalkan rumah lama. Akan saya kirim sebuah mobil barang untuk membantumu pindah ke rumah baru.” “Baik, Bu ... sekali lagi, terima kasih.” Nuning hanya tersenyum, lalu menjawab dengan sebuah perintah lain, "Masuklah ke ruanganmu. Tempatmu sekarang adalah bersama Boss baru di PT. Koffie en Chocoa van Java. Temuilah dia dan buat laki-laki itu terkesan dengan kemampuan dan kecantikanmu." "Siap, Bu ... saya akan masuk sekarang." ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD