41 ー Menebak?

1133 Words
“Ya, aku juga bersyukur dengan kehebatanku bertarung sehingga aku masih hidup.” Dia membanggakan diri, padahal ketika aku menonton video itu, Liza sama sekali tak bertarung, dia melakukan perlawanan yang amat payah, hampir tak ada bendanya dengan anak balita yang dijahili. Aku tak berkomentar apa-apa mengenai itu, terlepas apakah dia serius atau bercanda mengatakan itu. “Jadi apa saja yang kulewatkan selama aku tak ada di dunia ini? Apa perang dunia baru sudah pecah? Emm ... atau mungkin alien berhasil mendarat di bumi? Atau presiden kita sudah turun takhta dan menjadi penjual keliling?” tanyanya dengan kalimat yang menggelikan, rasanya ia tak terlalu penting bagi dunia sehingga ia bisa melewatkan terlalu banyak hal yang luar biasa besar, dia memulai topik baru karena kami tak bicara apa-apa. Aku segera mengangkat wajah dan tersenyum padanya. “Tak sebesar itu, tapi ya, selama kau tak ada di dunia ini ada beberapa hal yang berubah, hanya saja tak terlalu istimewa.” Aku menjawab dengan senyum. “Dan apa itu?” Aku malah tersenyum nakal dengan pertanyaannya, sengaja aku tak langsung menjawab. “Apa? Jangan membuatku semakin penasaran.” Liza menekan, tampaknya dia benar-benar penasaran dengan apa yang telah ia lewatkan selama tak sadarkan diri ketika dirawat di sini. “Kau bisa tebak?” tanyaku, sengaja menunda-nunda dan tak ingin mengatakan semuanya secara langsung, ini tak akan menjadi kejutan dan reaksi yang kuharapkan tak akan sesuai. “Emmm ... sebentar, kepalaku masih sakit, tapi aku sudah bisa memakainya untuk berpikir.” Benar juga, kenapa aku memintanya berpikir? Kepalanya kan masih bocor dan harusnya diistirahatkan. Tapi tampaknya sekarang sudah terlambat, dia sudah berpikir. “Oke, kita lihat saja.” Aku menyetujui dan menunggu saja. Untuk beberapa detik lamanya ia memasang ekspresi berpikir sebelum melontarkan jawaban. “Billy Jackson ternyata homo?” tanyanya, itu adalah tebakan pertamanya, tentu aku langsung memandang tajam padanya. Siapa orang yang dirinya sebutkan? Astaga, Liza benar-benar melantur. “Siapa itu Billy Jackson? Bukan itu.” Aku membalas dengan balik bertanya. “Billy Jackson adalah selingkuhan ibumu.” “Sial.” Aku melempar potongan apel padanya. Potongan apel langsung mengenainya, dia terkekeh kemudian memungut potongan itu lalu memasukkannya ke dalam mulut. “Masih salah, yang serius menebaknya!” Maka dia memikirkan tebakan lain. “Ibuku selingkuh dengan pak tua guru biologi?” Dia menebak lagi setelah menelan yang dia makan, dan tebakannya masih saja ngawur. “Kau terlalu jahat pada ibumu,” kataku dengan geleng-geleng. Dia berpikir sejenak. “Xendar punya banyak istri?” “Bukan. Aku pikir dia malah masih lajang dan mempertahankan statusnya tetap seperti itu.” “Oh, dia belum menikah ya? Kupikir dia seorang duda keren.” Ia berceletuk seenaknya. “Mana ada! Tebak lagi.” “Xendar berpacaran dengan Kevin Jordan?” Aduh, ada nama asing lagi. Aku menunduk dan menggeleng, kemudian menoleh ke arahnya. “Siapa lagi itu?” tanyaku agak keras. “Lagi pula kenapa sekarang kau menjadikan Xendar homo.” Aku menambahkan dengan gumaman. “Kau tak tahu? Kevin Jordan adalah nama Perdana menteri negara kita, bodoh.” Ia menjawab dengan senyum konyolnya. Tunggu dulu, apa? Sejak kapan negara ini punya perdana menteri? “Sejak kapan ada perdana menteri di negara kita?” tanyaku dengan heran, dia hanya memasang wajah sok polos dan tak tahu menahu. “Oh tak ada ya?” tanyanya dengan sok polos. Kuhela napas berat karena perkataannya. Ia jelas sengaja pura-pura tak tahu dan sengaja bicara melantur. “Tebak lagi!” Aku berucap menantangnya. Maka setelahnya ia coba berpikir-pikir lagi selama beberapa detik. “Kau punya pacar?” Ia kembali mulai menebak. Kugelengkan kepalaku. “Terlalu jauh.” “Jadi, kau memutuskan untuk lebih lama lagi melajang? Uh, kau benar-benar payah. Kenapa tak jadi biarawati saja sekalian?” Oh, oke ini adalah ejekan yang menusuk. Maka aku langsung cemberut lalu menyerang rambutnya dengan kedua tanganku. “Hei! Jangan sembarangan mengataiku!” sergahku. “Hei,hei, stop. Aku sudah ke salon untuk menata rambut indahku.” Ia merapikam rambutnya setelah aku berhenti menyerang dan mengacak. “Ke salon udelmu, kau bahkan baru siuman, bagaimana bisa pergi ke salon?” “Oh, tukang salonnya kusuruh kemari. Orang kaya tak perlu susah-susah pergi mencari salon.” Ia membalas dengan nada yang angkuh. Aku menjadi semakin gemas padanya, rasanya ingin kucakar saja kepalanya. “Sombongnya,” cibirku. “Lalu kenapa kau tak cari pacar, hah? Nona lajang kaya.” Aku menekankan kalimat terkahirku untuk menyinggungnya, tapi reaksi yang kuharapkan benar-benar tak sesuai dengan apa yang terjadi, itu disebabkan karena ia malah tersenyum mengejek. “Sorry, say. Aku punya banyak mantan dan masih banyak cowok ganteng yang mengantre untuk menjadi pacarku.” Ia membalas dengan angkuh. Aku segera mendekat lalu menoyornya. “Jangan sombong, paling juga kau hanya dimanfaatkan.” Aku melontarkan ejekan membuatnya langsung memasang ekspresi senyum geram. “s****n! Mana ada! Aku tak mungkin jadi gadis i***t yang hanya jadi alat pemuas lelaki.” Ia menyangkal dengan nada yang naik. Aku segera menutupi gendang telingaku karena suaranya memang keras juga melengking. “Oke, oke. Lupakan itu, mau lanjut menebak atau tidak?” tanyaku yang mengajaknya kembali pada topik utama. “Lanjut, tunggu sebentar, biar kupikirkan.” Maka Liza kembali berpikir selama beberapa detik lamanya. “Aldrea dan gengnya kualat?” Kali ini aku tak langsung menjawab, tapi pada akhirnya aku membalas. “Hampir benar.” Kukira dia memang sengaja melantur ke sana-sini, nyatanya dia pada akhirnya menggiring tebakannya ke arah sini. “Lalu apa?” tanyanya dengan agak bingung, sepertinya dia sudah menyerah. Aku tersenyum nakal dan memberitahukannya. “Meghan, Aldrea, Irina dan Cassandra masuk rumah sakit.” Aku mengatakannya biasa saja, tentu dia juga tak terkejut dengan hal itu. “Dan?” tanyanya. Meminta kelanjutan dan kejelasan dari apa yang kukatakan. “Aku yang membuat mereka seperti itu,” balasku dengan bangga. “Oh ....” Dia hanya menyahut itu, ya ampun, hanya itu tanggapannya? “Tunggu, apa kau bilang? Kau yang melakukannya?” Sepertinya otaknya benar-benar terbentur sehingga membuat respons yang dia berikan jadi lambat, aku mengangguk bangga sebagai jawaban. “OMG, apakah kau serius? Itu sungguhan terjadi?” tanyanya dengan teramat terkejut dan antusias, aku berhasil mendapat reaksi yang kuharapkan. Dia beralih posisi lalu segera maju mendekatiku. “Ya, tentu saja. Untuk apa aku berbohong? Saat ini Irina, Cassandra dan Aldrea masih berada di rumah sakit.” “Wow, ini lebih spektakuler daripada berita tentang presiden kita yang ternyata seorang pedofil.” Dia terlalu berisik dan apa maksudnya itu? Sembarangan sekali dia berbicara. Kiasan atau perbandingannya sangat jauh dan bisa membahayakan. Segera saja kupukul pundaknya. “Jaga bicaramu, bodoh. Ucapan yang kau lontarkan bisa mengirimkanmu ke penjara.” Dia hanya menyengir bodoh sambil mengusap-usap bekas pukulanku. “Jujur saja, aku tak percaya, ini adalah pencapaian.” Dia bicara lagi dengan bangga padaku. “Pencapaian?” ulangku, meminta kejelasan apa yang dia maksud dari itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD