“Menurutku sih, tidak ya. Itu pasti hanya akan membuat kami demam saja.”
“Demam? Aku belum pernah dengar kamu mengalami demam ketika terkena hujan.” Ia menggumam, tampak tak memercayai dan meragukan apa yang baru saja kukatakan.
“Em, masa?”
“Humm, omong-omong aku harus mengambil sesuatu di dalam mobilku.” Tiba-tiba Liza mengganti topik percakapan, tentu saja itu membuatku penasaran dan agak bingung juga. Kenapa harus disimpan di dalam mobil? Bukannya simpan saja di dalam tas, itu lebih baik?
“Sesuatu?” tanyaku yang agak penasaran. Ia mengangguk dan segera beranjak.
“Tunggu, lihatlah! Hujannya deras. Kenapa tidak nanti saja setelah reda!” Aku mengusulkan, lagi pula air hujan di luar sana pastilah terasa sangat dingin. Untuk apa memaksakan diri menembus hujan jika kau bisa melakukan hal tersebut nanti setelah reda? Lagi pula benda penting apa yang membuat dia memaksakan diri?
“Ini sesuatu yang bagus, kejutan untuk kamu.” Ia tersenyum setelah mengatakan itu. Oke, aku jadi penasaran dengan apa yang akan ia bawa, jujur saja aku jadi ingin segera menyuruhnya segera pergi dan membawa kejutan itu. Sayangnya, aku tak akan tega, mengingat hujan yang seperti seluruh air ditumpahkan ke seluruh kota, pastilah tak nyaman berada di luar sana.
“Aku bisa menunggu kejutan itu, tenang saja.” Aku memutuskan lebih baik menunggu kejutan untuk nanti. Apa pun yang ia simpan, itu tak akan membusuk atau hilang jika kami menunda selama beberapa menit, bahkan beberapa jam.
Keadaan ini tak membuatku nyaman, hujan di luar terasa ada yang janggal. Entah kenapa aku memiliki firasat seperti itu.
“Semua oke, aku akan meminjam payung pada pekerja di sini.” Ia bersikukuh ingin pergi, padahal aku sudah membujuknya sungguhan, bukan hanya candaan semata.
“Tapi ....”
“Tunggu saja aku di sini, hanya sepuluh menit saja. Tak akan lama.” Ia segera pergi, aku tak dapat menahannya untuk tetap tinggal.
Ada-ada saja, padahal bisa nanti saja perginya, ini hujan yang sangat deras, aku sendiri sampai susah melihat pemandangan yang ada di luar sana karena tertutup air hujan.
Sebenarnya bukan itu yang kukhawatirkan, bukan juga karena aku mesti membayar semuanya, karena Liza sudah membayar makanan kami, aku tak khawatir atas hal-hal semacam itu, tapi aku khawatir karena mendadak perasaanku tak nyaman. Aku mendapat firasat yang buruk dan ini benar-benar mengganggu.
“Semoga saja tak terjadi apa-apa padanya,” harapku dengan suara pelan penuh permohonan. Hening, tak ada suara apa-apa di sini, restoran memanglah sedang sepi. Hanya ada satu atau dua orang yang berada di sini dan mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
Guyuran hujan terus turun dari langit, seolah sedang menangisi sesuatu, seolah duka cita sedang memengaruhi dan memeluk Kota Soulvia. Suara gemercik air hujan yang amat deras itu terdengar sampai ke dalam sini, mungkin tak kedap suara. Tapi tetap saja, biasanya suara hujan tak sekeras ini, hujan saat ini tampak bagai peluru yang ditembakkan dari langit, sehingga saat menghantam bumi langsung menghasilkan suara yang sangat keras.
Sensasi dingin tiba-tiba menusukku. Apa ini? Apa karena hujan deras membuat udara di sekitar sini menjadi dingin? Aku merasa agak menggigil dengan ini. Dan tiba-tiba saja ....
“Wanita! Apa yang kau lakukan di sini?! Temanmu dalam bahaya!” Suara galak wanita itu memberitahuku. Oke, aku memang percaya dia ada di dalam tubuhku, tapi tiba-tiba datang seperti ini membuatku agak kaget juga. Apalagi menyampaikan berita buruk.
“Apa?!” Mendengar itu, aku tak membuang waktu, segera saja aku mengambil tas kemudian berlari pergi meninggalkan restoran itu. Terlepas dari apakah perkataannya benar atau tidak, aku tetap harus mencari tahu dan memastikan keselamatan Liza.
Terdengar seorang karyawan pria berteriak padaku, mungkin saja untuk mencegahku berlari ke luar dari restoran, tapi aku mengabaikannya dan tetap pergi. Aku berlari menembus lebatnya hujan yang turun, rasanya sangat dingin, entah kenapa air hujan ini seperti cairan es yang memiliki suhu yang sangat rendah.
Aku menggigil seketika meski baru beberapa detik diterpa air hujan, kulangkahkan kaki menuju tempat parkir yang berada di sekitar taman, pasti ia memarkirkan mobilnya di sana.
Bukan hanya dingin saja, saat aku mengatakan bagaikan peluru yang ditembakkan dari langit, ternyata itu memang benar adanya. Ini rasanya bukan hujan air, tapi es yang dilesatkan dari langit. Buktinya, tubuhku merasa kesakitan ketika menerima tetes-tetes hujan, kepalaku sekejap saja langsung pusing karena dihantam banyak air yang terasa sangat padat. Sayangnya aku tak memiliki waktu untuk peduli terhadap hal itu.
“Aku harap ada di sana, karena itulah tempat terdekat untuk menyimpan kendaraan.” Aku berbicara sendiri, bahkan aku hampir tak bisa mendengar suara sendiri karena teredam oleh suara hujan.
Aku mohon jangan terjadi sesuatu padanya, aku mohon jika itu hanya firasat burukku saja.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu, s**l sekali hujan ini, aku kira ini adalah hujan yang paling deras yang pernah terjadi selama aku hidup di dunia. Pandanganku benar-benar terbatasi, untung saja kacamata yang kukenakan adalah anti air, tak akan ada air yang menggenang dan menempel pada kaca.
Aku mencari pada satu-persatu mobil, pasti ada salah satu mobil milik Liza. Aku tak peduli dengan rasa dingin dan basah ini, aku takut firasatku menjadi kenyataan.
Kuperhatikan satu-persatu, mobil itu, beranjak dari satu mobil ke mobil lain, pikiranku kalut dan firasat buruk itu terasa semakin menjadi saja.
Saat kutemukan mobilnya, seketika aku semakin menggigil dengan apa yang kulihat, aku gemetaran dan menahan napas, Liza ... dia ... dia .... Kulihat dia sudah tergeletak di atas aspal dekat mobilnya dengan banyak darah yang keluar dari tubuhnya, banyak darah menggenang di sana tercampur dengan air hujan, darahnya sampai membentuk kolam. Tasnya tergeletak begitu saja di sampingnya, sepertinya dia belum sempat masuk ke dalam mobil saat kecelakaan ini terjadi.
“Lizaaa!” pekikku sekerasnya, aku langsung saja berlari ke arahnya. Keadaan sangat sepi, tak ada siapa pun yang ada di sini, oh bagaimana ini.
“Liz, Liz, bangun. Kamu kenapa?! Hei, jawab aku! Kalau ini kejutannya, aku mohon lupakan saja karena sama sekali tak mengejutkan dan tak lucu!” Aku menggoyangkan tubuhnya berusaha membangunkannya, jujur saja aku benar-benar takut dan panik, tak peduli tentang perkataannya yang akan memberi kejutan padaku. Karena jika ini adalah kejutannya, jujur saja, sangat keterlaluan.
Aku membungkam mulutku sendiri tatkala melihat luka merah pada perut dan kepalanya, bajunya berlubang yang menampakkan luka tersebut. Anehnya aku dapat merasakan kehidupannya. Dia cedera sungguhan, sama sekali tak sedang memberi kejutan untukku. Aku coba membangunkannya, sayang sekali ia tak memberi respons apa-apa padaku, oh ya Tuhan apa yang terjadi padanya?