Biasanya dia akan terus-menerus memintaku datang dan bila aku bersikukuh tak datang, maka esok harinya dia akan terus meledek dan mengeluh berusaha membuatku berdosa karena tak datang.
“Bahkan ulang tahunku sudah berlalu sangat lama, dan kau datang tak lebih dari lima menit sebelum kabur begitu saja.” Ia berucap dengan nada yang sedih dan tersakiti. Sepertinya apa yang kuperbuat waktu itu benar-benar menusuknya. Aku sendiri tak memikirkan mengenai apa yang akan dirinya rasakan ketika tiba-tiba aku melarikan diri ketika malam itu terjadi.
Tentu aku tahu akan hal itu. Pesta ulang tahunnya adalah hal yang dinantikan banyak orang, bukan termasuk aku. Dan yang terakhir itu, aku memang datang untuk sekadar Xendar bisa puas dan berhenti menerorku, maka ketika ia sibuk dengan teman-temannya, aku langsung melarikan diri sebelum acaranya dimulai. Aku hanya tersenyum polos tatkala mengingat kejadian itu lagi.
“Aku sudah menjelaskan soal itu bukan? Lagi pula aku sudah menaruh hadiahnya.”
“Ya, meski aku tetap masih kesal. Omong-omong kue keringnya masih awet.” Oh tunggu dulu, aku memberinya hadiah kue hanya untuk dia awetkan? Serius? Aku membuatnya untuk dimakan, bukan jadi pajangan. Ya ampun, pria ini ada-ada saja.
“Oke, lupakan itu.”
“Kau masih mau menebak?” tanyanya sambil bertolak pinggang.
“Em, apa yang harus kubicarakan adalah soal temanku yang mengalami kecelakaan?” tanyaku lagi, dia segera bereaksi dengan perkataan yang kulontarkan.
“Apa? Oke, anggap saja itu salah satunya. Tapi intinya, apa kau tak mau mengatakan sesuatu tentang apa yang terjadi di toilet wanita? Kenapa kau tahu mereka tak sadarkan diri di sana?” Aku akan mendapat nilai seratus jika dugaanku yang tadi adalah pertanyaan latihan. Dia benar-benar akan menanyakan hal ini, tentu saja aku tak akan terkejut dengan pertanyaan yang dia ajukan.
Aku menghela napas singkat, tak langsung memberi jawaban. “Sudah kuduga akan membahas hal ini,” gumamku dengan suara pelan, aku yakin dia pastilah dapat mendengar suaraku. Karena dia tak bicara apa-apa dan menunggu untuk aku menjawab, maka aku segera saja berbicara.
“Aku hanya kebetulan lewat dan melihat mereka su ....” Aku berhenti bicara ketika sorot tajam Xendar memintaku untuk berkata jujur. Apa dia mau membuatku tak berkutik?
“Ah lupakan, tampaknya kau tak akan percaya meski aku mengatakan semuanya,” kataku tiba-tiba saat membalas tatapannya. Dia segera melembut dan maju satu langkah, tentu aku mundur satu langkah. Dia menghela napas.
“Ely, katakan saja yang sebenarnya, jangan takut dan ragu, aku ingin tahu.” Dia meminta dengan penuh perhatian. Apa saat ini dia sedang membujukku? Jujur saja, ekspresi dan nada bicaranya pasti membuat banyak orang akan luluh. Dan ya, aku hampir saja bicara, tapi segera saja aku sadar dan menggelengkan kepala.
“Aku bilang aku tak tahu.” Aku membalas dengan mengatakan kebohongan. Ya Tuhan, ampuni aku karena sudah berbohong.
Xendar menggelengkan kepalanya, ekspresi wajahnya belum juga berubah, jelas dia tak akan percaya dengan
perkataanku. Apakah aku memang tidak pandai dalam hal berbohong? Ah lupakan.
“Kau tahu sesuatu, ada alasan yang membuat mereka bisa jadi seperti itu dan kau mengetahuinya.” Dia menelanku dengan halus, meminta penjelasan yang akan memuaskan rasa keingintahuannya. Tapi tunggu dulu, membuat mereka jadi seperti itu? Apakah mereka terluka parah?
“Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku padanya. “Kenapa dengan mereka?” Aku mengajukan pertanyaan lain.
Xendar mengusap-usap wajahnya, ia tak langsung memberikan jawaban atas pertanyaanku. Jujur, aku ingin ada satu hal untuk dipandang dan diperhatikan agar aku bisa mengalihkan tatapanku, agar aku bisa mencari sesuatu untuk memusatkan diri sambil menunggu apa yang hendak pria itu katakan. Pemandangan ini agak kaku dan aku jadi bingung harus berbuat apa.
“Irina, Aldrea dan Meghan mengalami luka ringan karena benturan, Cassandra yang agak parah, ia mengalami lebam dan luka pada organ internal. Sebagai tambahan, Meghan yang pertama bangun tak mau bicara apa-apa. Sepertinya dia trauma karena sesuatu yang telah menimpanya.” Dia menjelaskan apa-apa yang terjadi. Oke, aku agak terkejut dengan itu, ditambah agak lega juga karena kedengarannya mereka tak mendapatkan luka yang bisa dibilang parah. Aku memang sudah menduganya sejak awal, tapi aku akan merasa lebih yakin lagi jika sudah mendengarnya secara langsung.
“Apa mereka sudah bangun?” tanyaku dengan agak cuek, sebenarnya aku tak terlalu peduli dengan keadaan mereka, tapi sebagai gadis baik, setidaknya aku harus memiliki rasa simpati pada mereka, bukan?
“Hanya Meghan saja. Dan dia tak mau bicara apa-apa, meski aku telah melakukan berbagai cara untuk membujuknya.” Dia mengulang penjelasannya.
“Tampaknya agak parah juga.” Aku menggumam.
“Memang.”
“Lalu apa hubungannya denganku?” Aku kembali memandang ke arahnya. Dia juga mengarahkan tatapannya padaku.
“Kau yang tahu, Ely. Kau tahu apa jawaban dari pertanyaanmu.” Ia menjawab dengan nada yang masih sama. Setidaknya ia tidak mendesak dengan kasar atau memaksaku untuk berterus terang.
“Aku tak paham dengan apa yang kamu maksud.” Aku tetap menyangkalnya. Semoga saja ekspresi wajahku sesuai dan cukup meyakinkan.
“Cukup sandiwaranya, Ely. Sudah kubilang, kau tak perlu takut, katakan saja semua yang terjadi, bagaimana mereka bisa mendapat cedera seperti itu. Aku percaya jika kau bukan yang melakukannya.” Dia terus mendesak dan menekanku. Tampaknya aku gagal untuk terus berdusta dan mengatakan sesuatu yang tak sesuai kenyataannya.
“Kenapa?” tanyaku karena kalimatnya yang terakhir.
“Karena kau bukan tipe gadis yang akan mampu melakukan itu, aku juga tak melihat jika kau akan mampu membuat mereka cedera, dengan cara apa pun, Kau jelas tak akan mampu melakukannya.” Dia menjelaskan, perkiraan dan dugaannya memang benarーjika itu adalah aku yang dulu, tapi aku yang sekarang sudah berbeda dan tak akan ada yang menyangkanya.
“Kau tidak dapat menilai seseorang hanya dari luarnya saja, senior.” Aku berbicara pelan, membalas perkataannya. Tak mungkin juga aku mengatakan jika dia salah dan aku mampu melakukan apa yang tak dia perkirakan.
“Ayolah, Ely. Kenapa kau menyulitkan semua ini. Pastilah ada yang membuat mereka menjadi seperti itu.”
“Memang.”
“Dan kau akan menceritakannya,” katanya seolah mengatakan fakta, tapi sebenarnya dia menekan dan memaksaku secara halus.
“Aku tak bisa dan tak mau.” Segera saja kutolak mentah-mentah dan memalingkan wajah.
“Kamu mau kucium dulu agar mau mengakui dan menceritakan semuanya?” tanyanya, pertanyaan itu membuatku refleks menoleh ke arahnya. Tampak jika Xendar segera mendekat ke arahku, tiba-tiba saja aku merasa panas dan terlonjak. Seluruh tubuhku terasa panas karena ucapan itu. Astaga, apa maksudnya?
“Ci ... cium?” tanyaku dengan gugup dan terbata. Bagaimana bisa dia mengatakannya semudah itu? Ah tidak, dia mengancamku.
“Akan kulakukan sekarang.” Dia maju lagi dan menekanku. Oh tidak, aku tak mau melakukannya. Aku mundur lagi sambil bergidik.
“Ahhh tidak, tidak. Oke akan kukatakan!” Aku berteriak dengan cepat-cepat menjauhkan diri, dia tersenyum puas dengan kemenangan. Dasar tukang ancam! Aku mendengus sebal dengan itu, maka segera saja aku menenangkan diri. Aku berharap ekspresi wajahku saat ini tidak konyol, juga jangan sampai wajahku bersemu merahーmeski aku tak yakin mengenai yang satu ini, soalnya aku merasakan jika wajahku panas.