6. MUSUH

1796 Words
“Pagi Mas Axel,” sapa Jasmine. Axel hanya mengangguk menanggapi sapaan dari Jasmine. Bukan tidak suka tapi memang begitulah sifatnya. “Papa sama Mama mana?” tanyanya begitu tubuhnya mendarat di kursi sebelah Jasmine duduk. “Papa sama Mama udah berangkat ke airport jam enam pagi tadi,” jawab Jasmine. Lily hanya menunduk dan masih berusaha menghabiskan nasi goreng miliknya. Ketika Axel muncul, tiba-tiba perutnya terasa penuh dan tidak berselera makan. Axel menatap Lily dengan tatapan tidak bersahabat, ia masih kesal dengan kejadian semalam. Baginya, Lily adalah musuh di rumah ini yang harus Axel waspadai. Axel mengambil nasi goreng yang dibuat oleh Lily, yang sebelumnya sudah di bagi menjadi dua. Nasi goreng dengan cabai dan yang tanpa cabai. Sayang, Axel tidak tahu jika ada dua jenis nasi goreng dan dia mengambil secara sembarangan. “Tunggu...” teriak Lily membuat Axel dan Jasmine terkejut. “Kenapa Kak?” “Jangan makan nasi goreng yang itu, makan yang ini aja.” Lily mengambil piring milik Axel yang sebelumnya dipegang oleh pria itu, “Yang tadi ada cabainya, kalau yang ini nggak pakai cabai.” Lily menyerahkan nasi goreng lengkap dengan sosis dan telur mata sapi. “Untung sisi malaikat gue masih ada, kalau nggak gue biarin aja makan nasi goreng yang pedes biar sekalian moncor perutnya” Lily membatin. “Oh...” hanya itu yang keluar dari bibir Axel. Lily mendengkus kesal karena Axel sama sekali tidak mengucapkan terima kasih padanya. Suasana kembali hening dan ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lily sesekali menoleh ke arah Axel dan pria itu selalu saja menangkap basah dirinya saat menatapnya. “Jasmine, nanti bantuin Kakak kemas-kemas di kos ya,” ucap Lily pelan kepada Jasmine. “Kak, aku ada les jadi nggak bisa bantu. Kakak minta Kak Nadine aja buat bantuin, maaf ya Kak," jawab Jasmine dengan nada bersalah. “Astaga, kenapa pas banget sih waktunya,” bisik Lily namun masih terdengar jelas di telinga Axel. “Ya udah Kakak duluan ya. Mau mandi terus balik ke kos.” Lily beranjak dari duduknya lalu pergi tanpa berpamitan dengan Axel. “Siapa yang buat nasi goreng ini?” tanya Axel kepada Jasmine. “Kak Lily yang buat, Mas. Nggak enak ya?” tanya Jasmine hati-hati. “Nggak kok, aneh aja dia tahu kalau aku nggak bisa makan pedas.” “Oh...” Jasmine menggumam. *** “Kalau kayak gini ceritanya, lo nggak usah bawa semua barang kali, Ly.” Nadine sedang membantu Lily beres-beres di tempat kosnya. Lily sibuk memilih pakaian mana yang harus ia bawa, “Gue juga tahu, lagian barang ini nggak ada fungsinya di rumah bokap tiri gue. Apa yang gue perlu semua ada.” “Gue penasaran sama keluarga baru lo.” “Kan gue udah cerita sama lo.” “Maksud gue, main ke rumah lo. Kayak gimana sih rumah orang kaya yang masuk dalam daftar lima besar pengusaha terkaya di Indonesia.” “Mending lo jangan ke rumah Om Leo, soalnya ada macam super galak.” “Serius bokap lo pelihara macan?” Tanya Nadine penasaran. Lily mengangguk, “Serius, bahkan macannya udah ngancem gue semalam kalau mulai saat ini gue adalah musuhnya di rumah itu.” Nadine mengernyitkan alisnya, “Kok macan bisa ngomong sama elo? Lo bisa bahasa hewan? Sejak kapan?” Tanya Nadine dengan wajah polosnya. Lily melemparkan boneka paus kesayangannya, “Lo kira gue kursus bahasa hewan apa. Yang gue maksud adalah kakak tiri gue.” “Kan lo sendiri bilang bokap tiri lo pelihara macan,” ucap Nadine sebal. “Ngomong-ngomong soal kakak tiri lo, gimana orangnya?” “Kan gue udah bilang, kalau dia udah mendeklarasikan kalau gue adalah musuhnya.” “Maksud lo?” Nadine nampak bingung. Lily akhirnya menceritakan kejadian semalam bersama Axel sampai membuat pria itu marah dan kesal kepadanya. “Alamak, hidup lo nggak bakalan damai di rumah itu.” “Lo jangan nakut-nakutin gue dong.” Lily nampak kesal. “Bukan mau nakut-nakutin, tapi kalau kayak gini ceritanya dia pasti bakalan cari-cari celah buat ngerjain lo. Mungkin tujuannya biar lo nggak betah tinggal di sana. Mungkin aja di nggak suka sama lo karena bisa aja elo ngambil harta warisannya dia.” “Tapi kata adik gue, dia orang baik. Kenapa sama gue dia kayak nggak suka gitu ya?” “Lo aja bingung apalagi gue. Ya intinya lo hati-hati aja deh kalau di sana.” Lily mendesah lemah, “Harusnya gue nolak permintaan nyokap buat tinggal di sana. Rasanya lebih betah tinggal di sini walaupun kondisinya serba pas-pasan.” “Lo nggak boleh mikir gitu, nyokap lo kan sayang sama lo. Masa dia tinggal di rumah mewah sedangkan anaknya tinggal di kos yang sempit kayak gini.” Nadine menyentuh pundak Lily, “Ly, kalau ada apa-apa lo bisa kasih tahu gue. Gue pasti bakalan berusaha bantu lo kok,” ucapnya dengan tulus. “Makasih ya, Nad. Gue bersyukur punya teman baik kayak lo sama Mbak Nika.” Lily terharu karena ucapan Nadine. “Ya udah ini barang yang nggak mau lo bawa mau dikemanain?” “Gue kasih ibu kos aja. Kali aja ada anak kos baru yang membutuhkan. Atau mau lo bawa ke rumah?” tanya Lily. “Nggak usah, di rumah gue udah banyak barang. Kalau gue bawa ini, bisa-bisa gue tidur di luar rumah gara-gara rumah penuh sama perabotan.” “Ya udah, semua udah beres tinggal cari taksi online aja.” “Tapi mending kita ke luar dulu. Kali aja ada taksi yang lewat gitu.” Lily menangguk, “Boleh juga tuh.” Akhirnya Lily dan Nadine keluar dari kos yang selama ini di tempati Lily menuju ujung gang yang menjadi jalan masuknya. Saat sampai di ujung gang, Lily terkejut melihat Keenan yang berdiri bersandar pada mobil berwarna hitam. “Mas Keenan...?” panggil Lily terkejut. Keenan tersenyum, “Hai...” “Mas ngapain di sini?” Tanya Lily heran. “Boleh nanti aku jelasin? Mana barang yang perlu di bawa ke rumah Bapak Leo?” Tanya Keenan dengan tenang. Nadine yang tidak tahu apa-apa juga ikut bingung, “Siapa Ly?” bisiknya. “Eh, kenalin ini Mas Keenan salah satu karyawan di perusahaan suami nyokap gue,” jelasnya pada Nadine. “Mas kenalin ini teman kerja saya.” Keenan mengulurkan tangannya, “Keenan.” “Nadine,” balasnya ramah. “Jadi mana barang milik kamu?” “Masih di kos Mas. Ini mau nyari taksi dulu abis itu baru pulang ke rumah.” “Ya sudah ayo ambil barang-barang kamu, biar aku yang antar pulang.” “Nggak usah Mas, saya bisa sendiri kok. Cuma bawa satu koper aja.” Keenan tersenyum tenang, “Lily, untuk kali ini tolong jangan menolak” Lily mendesah lemah, “Iya deh Mas. Tunggu di sini ya, saya ambil koper terus pamitan sama pemilik kos.” Keenan mengangguk, “Oke...” Lily dan Nadine kembali ke kos untuk mengambil koper yang berisikan pakaian milik Lily. “Ly, kok lo nurut sih sama cowok itu? Lo kenal baik sama dia?” “Gue juga bingung kenapa gue mau. Jadi gue kenal sama dia di nikahan nyokap dan dia juga kenal sama Axel. Kayaknya itu deh yang bikin gue nurut sama dia.” “Lo harusnya hati-hati, jangan-jangan dia orang suruhan kakak tiri lo buat ngerjain lo.” Lily menepuk lengan Nadine, “Ih kok mikir negatif gitu sih? Lo nggak liat pembawaan Mas Keenan tenang plus adem banget?” “Iya sih, ganteng pula. Gue kalau disodorin juga mau.” Lily berdecak sebal, “Ck, tadi nuduh yang nggak-nggak, sekarang bilang ganteng. Dasar cewek gendeng.” “Ini gara-gara lo cerita soal saudara tiri lo, jadi yang berhubungan sama dia gue jadi nethink” “Nggak bisa disamain, Axel liat mukanya aja udah serem beda sama Mas Keenan.” Lily mengambil koper dan membawanya keluar kamar. “Gue makin penasaran sama kakak tiri lo. Seserem apa sih orangnya.” Setelah berpamitan dengan pemilik kos, Lily kembali ke tempat di mana Keenan sudah menunggunya. “Maaf ya Mas, kalau lama,” ucap Lily tidak enak kepada Keenan. “Nggak apa-apa. Kita pulang sekarang?” Lily mengangguk, “Nad, gue balik ya. Thank udah bantuin gue” “Sama-sama. Sampai ketemu besok.” “Sekalian aja aku antar teman kamu, Ly.” “Nggak usah Mas, rumah saya dekat sini kok. Tinggal jalan kaki aja,” jawab Nadine. “Ya udah, kita duluan ya” “Bye Nad, salam sama nyokap bokap lo” “Iya, hati-hati” balas Nadine. Mobil yang di tumpangi Lily melaju ke arah jalan pulang menuju rumah keluarga Wardana. Sejak tadi Lily mencoba menahan diri agar tidak langsung bertanya karena terasa tidak sopan. “Kamu masih penasaran kenapa saya bisa tahu tempat kos kamu?” tanya Keenan membuka percakapan yang sejak tadi di temani sepi. Lily meringis, menoleh ke arah Keenan, “Iya mas, bisa jelasin sekarang nggak?” “Kamu jangan kaget ya kalau saya cerita.” Lily mengangguk, “Iya Mas.” = = = = “Halo, lo di mana?” “Ya Tuhan, nelpon dihari libur nggak pakai basa basi. Gue lagi di apartemen. Kenapa?” tanya Keenan yang kesal hari liburnya masih saja di ganggu oleh Axel. “Lo bantu Lily pindahan. Sekarang dia lagi beresin barangnya di kos.” “Tunggu-tunggu. Ini Lily adik tiri lo kan?” Keenan memastikan. Axel mendengkus kesal, “Lo kira Lily siapa yang gue maksud? Iya Lilyana Denira cewek nyebelin itu siapa lagi.” “Nyebelin tapi tetap juga perhatian,” gumam Keenan. “Lo bilang apa tadi?” “Nggak ada. Terus alamatnya di mana?” “Nanti gue kirim lewat pesan dan jangan bilang gue yang nyuruh. Bilang ini perintah Papa.” “Kenapa harus bohong?” “Iya gue nggak mau di besar kepala. Nanti sikapnya makin semena-mena sama gue. Tadi malam aja aset gue mau ditendang sama dia. Dasar cewek barbar.” Keenan tergelak kencang, “Jadi cewek kayak Lily ini yang bisa bikin seorang Axel Wardana marah besar. Biasanya juga nggak pernah peduli sama sikap cewek yang lo deketin.” “Nggak usah banyak omong. Mau gajinya di potong atau sekalian aja serahin surat pengunduran diri.” “Wah wah wah! Mentang-mentang bos, mainnya ngancam aja nih,” sindir Keenan. “Udah lah. Buruan ke sana nanti orangnya keburu pergi. Lo ngerti maksud gue kan?” “Iya ngerti. Matiin dong telponnya terus kirim alamatnya. Kalau nggak tahu alamatnya bagaimana mau pergi” “Bawel lo, kayak Lilyput.” ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan* ---------------  Halo, aku mau kasih pengumuman sedikit. Cerita ini belum bisa aku update lagi karena aku mau selesaikan cerita Beautiful Enemy terlebih dahulu. Kalau cerita itu sudah tamat, baru kembali update cerita ini. Kalau nanti aku bisa update, pasti akan aku kabari lewat sosial mediaku. Terima kasih atas pengertiannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD