10. KEPRIBADIAN GANDA

2212 Words
Lily tengah menyesali keputusannya karena pulang menggunakan angkutan umum. Bukannya tidak nyaman atau merasa tidak cocok naik angkutan umum, hanya saja ia lupa dimana saat ini tinggal. Rumah keluarga Wardana berada di perumahan elite dan tentu saja angkutan umum dilarang masuk. Dan kini ia terpaksa turun di depan komplék perumahan dan berjalan kaki seperti orang bŏdoh menuju rumah tempat ia tinggal sekarang. Suasana sepi bukan membuat Lily takut akan makhluk tak kasat mata, hanya saja ia asing dengan lingkungan ini, itulah yang membuatnya sedikit was-was. Walaupun kecil kemungkinan akan adanya penjahat, tapi Lily berusaha tetap waspada. “Untung aja pulang kerja biasa jalan kaki Ly, kaki lo udah nggak manja,” gumam Lily menyemangati dirinya sendiri. “Tapi jarak kantor sama kos kan deket, kalau yang ini mah jauh dan perlu sepuluh menit baru sampai. Emang deh kecerobohan gue nggak tanggung-tanggung, hp nggak bernyawa malah cuek. Sekarang tanggung sendiri nggak bisa hubungi Jasmine.” Gerutu Lily penuh penyesalan. Lily bukan termasuk gadis manja, tapi ia juga tidak sanggup berjalan kaki cukup jauh dengan mengenakan sepatu yang memiliki hak cukup tinggi seperti saat ini. Belum lagi karena mengenakan rok di atas lutut membuatnya tidak leluasa mengambil langkah lebar. “Ya sudah anggap saja gue lagi olahraga malam, membakar lemak setelah makan steak hasil traktiran Mbak Niken. Fighting Lily, kamu pasti bisa, kamu pasti kuat.” Benar saja, setelah kurang lebih lima belas menit akhirnya Lily sampai juga di rumah keluarga barunya. Perkiraan sepuluh menit melenceng karena gadis itu berjalan semakin lambat akibat lelah. Gerbang segera di buka oleh satpam yang menjaga di kediaman tersebut. “Non Lily, kenapa baru sampai?” tanya Bimo, satpam yang sudah bekerja selama lima tahun di rumah Wardana. Lily cukup terkejut dengan pertanyaan Bimo. “Ah itu, ada urusan sebentar Pak jadi baru pulang.” “Oh begitu, baik Non Lily.” “Kenapa Pak Bimo heran banget liat gue baru pulang,” pikir Lily. Lily segera masuk ke rumah karena ia sudah tidak tahan lagi dengan keringat yang kini mengucur bahkan badannya juga terasa lengket dan butuh air untuk menyegarkannya. Tidak lupa, Lily segere membuka sepatu yang cukup menyiksanya dan melangkah dengan kaki telanjang. “Jam berapa ini? Kenapa kamu baru pulang?” suara dari Axel dari arah dapur menginterupsi langkah Lily. Lily membalik badan, menatap Axel yang tengah membawa air minum kemasan. Tatapan pria itu nampak penuh kilat kemarahan. Seperti biasa, raut wajah Axel selalu berhasil membuat mood Lily rusak. “Kenapa diam? Nggak punya telinga? Nggak dengar? Atau mulutnya cuma dipakai buat bajangan?” tanya Axel kejam. Lily menoleh ke arah pergelangan tangan kirinya, “Sekarang baru jam sembilan dan gue habis makan malam sama temen. Ada masalah?” tanya Lily balik tanpa rasa bersalah. “Baru jam sembilan? Ada masalah? Lo lupa sekarang tinggal dimana dan sama siapa?” “Ada apa sih? To the poin aja, gue capek mau mandi dan istirahat.” “Lilyana Denira, lo lupa rumah ini punya peraturan yang harus lo taati?” tanya Axel sengit. “Oh atau lo lupa kalau selama tinggal di sini, lo nggak boleh pulang lewat dari jam delapan? Kalaupun pulang terlambat, setidaknya kasih kabar jangan membuat orang menunggu dengan perasaan cemas,” nada suara Axel terdengar meninggi. Lily berusaha menahan emosinya, ia tidak mau terpancing dengan ucapan Axel yang menurutnya sangat berlebihan. “Sory, gue nggak tahu soal itu. Besok-besok gue nggak akan ngulangin lagi,” ucap Lily lalu pergi dari hadapan Axel yang masih terlihat emosi. Mata Axel membulat melihat Lily melenggang ke arah tangga, dengan cepat ia menyambar tangan saudari tirinya. “Gue belum selesai bicara. Nggak sopan pergi begitu saja!” Lily menghentakkan tangannya agar lepas dari cengkeraman Axel. “Lo berlebihan banget tahu nggak. Bisa nggak lo pura-pura menganggap gue nggak ada gue di rumah ini? Atau lo mau gue cepat pergi dari rumah lo?” “Gue nggak pernah bilang begitu. Gue cuma mau lo jangan pulang terlambat dan tolong kalau punya hp diaktifkan jangan cuma jadi pajangan. Sejak tadi gue hubungi lo tapi nggak bisa. Bokap sama nyokap nanyain posisi lo dan gue bingung jawab apa.” “Bilang saja belum pulang kerja, beres kan? Mama nggak akan selebay lo kalau gue pulang terlambat.” “Masalahnya bokap nitip lo dan Jasmine sama gue. Gue harus antar jemput lo selama mereka nggak ada. Dan sekarang bokap tahu kalau gue nggak jemput dan lo nggak bisa dihubungi. Alhasil gue kena amukan bokap. Lo ngerti nggak?” tangan Axel mengepal, bahkan botol minuman yang ia bawa sudah penyok akibat diremas kuat oleh pria itu. “Nanti gue jelasin sama Mama biar mereka nggak nyalahin lo. Udah beres kan?” Lily masih belum paham maksud kemarahan Axel. “Lama-lama gue capek ngadepin orang yang sifatkanya keras kepala kayak elo.” Axel pergi meninggalkan Lily dengan emosi. Axel berpikir Lily terlalu menganggap santai kesalahan yang ia perbuat. “Gue juga capek kalau terus-terusan ketemu lo. Belum seminggu gue di sini rasanya gue mau pergi,” teriak Lily kesal. Mendengar suara keributan di luar membuat Jasmine keluar dari kamarnya. Ia terkejut melihat kakaknya tengah berdiri dekat tangga sambil menenteng sepatu, ditambah raut wajah Lily seperti siap menelan apapun yang ada di hadapan gadis itu. “Eh, Ka Lily ternyata udah pulang. Dari tadi kemana aja sih Kak?” tanya Jasmine dengan perasaan khawatir. “Pertanyaan kamu kenapa persis banget sama orang nyebelin itu?” gerutu Lily kesal. Lily menjatuhkan tas serta sepatunya sembarangan, lalu ia menuju dapur untuk mengambil air minum. Lelah berjalan kaki, kesal dengan sikap Axel dan kini haus karena terlalu banyak bicara. Jasmine mengikuti kakaknya ke arah dapur. “Kak Lily pasti ribut lagi sama Mas Axel ya?” “Iya, dia itu nyebelin banget,” jawab Lily setelah selesai meneguk air dingin. “Mas Axel marah Kakak pulang terlambat?” “Kamu sudah tahu, masih nanya,” sahut Lily kesal. “Aduh jangan jutek sama aku dong. Marah sama Mas Axel kok aku jadi pelampiasan.” Protes Jasmine yang tidak terima kena imbas perang antara kedua kakaknya. “Aku tuh capek tapi baru sampai rumah udah kena marah sama si tuan muda Wardana yang sok itu.” “Kak Lily nggak tahu gimana situasi tadi.” “Emangnya ada apa?” “Kak, tadi Mas Axel panik karena Kakak belum pulang. Nah hp Kakak juga nggak bisa dihubungi. Aku telpon juga sama dan yang lebih parah lagi Mas Axel kena marah sama Papa Leo. Mama juga telpon aku karena Kakak nggak bisa dihubungi.” “Separah itu?” tanya Lily ragu. Jasmine mengangguk, “Iya, Papa Leo sih yang khawatir banget.” Lily mendadak diam, ia tidak tahu keterlambatannya pulang menimbulkan kehebohan di keluarga Wardana. “Malah bengong. Kakak kemana sih kok pulang telat? Pacaran?” “Hus, sembarangan. Tadi pulang kerja makan sama Mbak Nika dan Nadine. Udah ah aku mau ke kamar dulu, mau carger hp. Kamu hubungi Mama ya, bilang aku udah pulang dan ponsel habis baterai.” Lily pergi dari hadapan adiknya. “Lain kali jangan kayak gini kalau nggak mau lihat Mas Axel murka,” teriak Jasmine pada Lily. “Berisik,” balas Lily. Sampai di dalam kamar, Lily menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas kasur. Entah kenapa hari ini semua terasa sangat kacau. Baru saja ia ingin belajar menerima Axel dalam hidupnya sebagai saudara dan sekarang pria itu kembali membuatnya kesal. “Salah gue juga sih, tapi dia kan bisa ngomong baik-baik. Nggak perlu pakai urat plus ngegas begitu kalau ngomong, menyebalkan,” gumam Lily. Tidak lama, Lily bangkit dari tempat tidurnya lalu membuka tas kerja untuk mengambil ponselnya. Ia segera mengisi daya pada ponselnya yang mati sejak pulang kerja. Saking sibuknya dengan pekerjaan, ia sampai lupa kalau baterai ponselnya habis dan akhirnya mati. Beres dengan ponsel, Lily ingin segera mandi agar tubuhnya terasa lebih segar. Tapi tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamar yang membuatnya menghembuskan napas pelan. “Siapa lagi sih? Baru juga mau mandi,” gerutunya sambil berjalan ke arah pintu. Tiba-tiba Lily meringis kecil karena merasa perih pada tumit kakinya akibat mengenakan sepatu berhak tinggi saat jalan menuju rumah. “Asli, ini kaki pasti lecet.” Pikir Lily. Saat pintu terbuka, ia melihat tubuh Axel menjulang tinggi dengan tatapan membunuh. Rasanya Lily ingin bersembunyi saat tatapan mata Axel terasa begitu menakutkan baginya. “Ada apa?” tanya Lily yang sudah siap dengan kemarahan Axel. Axel menyerahkan ponselnya kepada Lily, “Nih, bokap mau ngomong.” Dengan ragu Lily menerima ponsel keluaran terbaru milik kakak tirinya, “Halo…” “Lily, kamu sudah di rumah?” “Sudah Om, eh Pa maksudnya.” “Syukurlah. Papa dan Mama khawatir karena kamu tidak bisa dihubungi.” “Maaf, Pa. tadi pulang kerja Lily pergi sama temen dan ponsel Lily baterainya habis. Maaf kalau sudah bikin panik semua orang,” jelas Lily dengan perasaan tidak enak. Ia menatap Axel yang juga sedang menatapnya. “Iya, sayang. Besok Papa sama Mama sudah pulang kok. Kita nggak jadi pergi seminggu karena nggak enak pergi tanpa kalian. Sekarang kamu istirahat ya.” “Iya, Pa. Terima kasih.” “Ya sudah Papa tutup telponnya ya.” “Iya, Pa. Titip salam sama Mama.” Setelah selesai, Lily kembali menyerahkan ponsel milik Axel kepada pemiliknya. Ada perasaan tidak enak pada pria yang berdiri di hadapannya tapi ia juga bingung harus bersikap seperti apa. “Makasih,” gumam Lily. Axel tidak menggubris ucapan Lily dan memilih meninggalkan gadis itu begitu saja. “Ck, dasar aneh. Ishhh manusia menyebalkan!” sindir Lily lalu membalik tubuhnya untuk kembali ke kamar. Axel menutup pintu kamarnya dengan keras karena mendengar sebutan Lily untuknya. Emosi yang belum mereda, ditambah lagi gadis itu menyebutnya ‘menyebalkan.’ “Dasar Lilyput, lo nggak ada takutnya ya sama gue. Awas aja kalau sampai bikin ulang, gue bakalan wujudin omongan lo soal gue punya niat ngusir lo keluar dari rumah ini,” gerutu Axel. Axel lebih memilih menyelesaikan pekerjaan yang terpaksa ia bawa pulang karena belum selesai dikerjakan di kantor. Ia tidak mau memikirkan Lily yang terus saja membuatnya ingin marah. Tidak ingin gadis itu terus menyita waktu dan pikirannya, yang berujung kepalanya menjadi pening. Setelah selesai mandi dan menyelesaikan ritual memakai skin care, Lily memutuskan untuk pergi mencari plester untuk menutup luka pada tumitnya. Jika dibiarkan lukanya lecet ini terbuka, takut menimbulkan infeksi dan itu bisa membuat Lily tidak bisa mengenakan sepatu kerja. Belum lagi saat terkena air, perihnya begitu menyiksa bagi gadis itu. Saat Lily keluar dari kamarnya, bersamaan juga dengan Axel yang keluar dari kamarnya. Lily sudah siap kembali ke kamarnya dan tidak jadi ke lantai satu tapi ia urungkan niat itu dan tetap melangkah pelan. “Ngapain juga gue menghindar?” pikirnya sambil tetap berjalan menuju anak tangga. Dengan mengenakan piyama motif doraemon, Lily berjalan pelan karena merasa lukanya sedikit perih. Entah kenapa luka kecil tapi justru menimbulkan rasa sakit yang berlebihan. Axel berjalan di belakang Lily. Ia ingin ke dapur untuk mengambil buah, untuk menemani lembur. Diam-diam pria itu memperhatikan langkah Lily yang tidak biasa. “Si Lilyput kenapa jalannya kayak pincang gitu? Perasaan tadi baik-baik aja,” pikir Axel. Sadar sebagai penghuni baru, Lily nampak bingung mencari dimana letak kotak obat. Ia juga belum sadar kalau Axel tengah memperhatikan gerak geriknya. “Cari apa?” tanya Axel yang gemas dengan tingkah Lily. “Eh?” Lily terkejut karena Axel berdiri di belakangnya. “Itu, mau cari kotak obat.” “Mau ambil obat apa?” “Mau ambil plester.” Tanpa basa basi, Axel berjalan menuju lemari kabinet yang letaknya dekat dengan meja makan. Pria itu fokus mencari apa yang diinginkan oleh saudari tirinya. Dengan cepat Axel mengambilkan apa yang Lily butuhkan, “Nih..” Axel memberikan benda kecil itu. “Apa yang luka?” Lily sedikit menjauh dari tubuh Axel yang ada di hadapannya. “Cuma lecet di tumit karena pakai sepatu terlalu lama.” Tiba-tiba Axel menarik tangan Lily dan diajak berjalan menuju kursi meja makan, “Sini gue bantu.” “Eh bantu apa? Nggak perlu,” ucap Lily gugup. Axel menuntun tubuh Lily agar duduk, kemudian ia berlutut di hadapan wanita itu, “Yang mana luka, gue bantu pasang.” Lily nampak panik, “Axel nggak usah, gue bisa sendiri.” Seakan tidak peduli dengan penolakan Lily, Axel mengambil paksa plester tersebut. “Buruan yang mana luka?” Dengan ragu Lily menunjuk kaki kirinya, “Tumit yang kiri,” jawab Lily tidak enak dengan niat baik Axel. Perlahan Axel menempelkan plester pada luka lecet di tumit Lily dan tidak butuh waktu lama semua sudah beres. “Sudah, lain kali pakai sepatu yang nyaman. Jangan memaksakan diri menggunakan sesuatu hanya untuk gaya tapi ujung-ujungnya bikin susah.” Pria itu pergi untuk mencuci tangan. “Makasih,” gumam Lily. Ia tidak berniat melakukan protes terhadap apa yang Axel katakan. Setelah mencuci tangan, Axel mengambil buah anggur kesukaannya. “Buruan tidur, udah malam dan besok lo harus kerja.” Lily terdiam mendengar ucapan Axel yang begitu peduli kepadanya. Ia juga heran dengan sikap Axel yang tiba-tiba baik setelah sebelumnya begitu marah kepadanya. “Nggak ngerti sama sifatnya, tadi ngomel sekarang kalem. Jangan bilang dia punya kepribadian ganda?” ucap Lily sambil menggelengkan kepala. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan* --------------- Hari ini double up ya karena minggu lalu aku absen. Bab selanjutnya jam 6 sore ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD