Rumah yang Terasa Berbeda

2854 Words
Mobil masih melaju stabil, dan udara dari AC terasa dingin menusuk kulitku. Tapi anehnya, tubuhku tetap hangat—mungkin karena Jo duduk begitu dekat. Tangannya masih ada di vaginaku, sedikit lebih ke dalam, tidak bergerak banyak. Justru diamnya itu yang membuat napasku tidak stabil. Aku bisa merasakan getaran halus dari jari-jarinya, seperti dia sengaja menahan diri agar tidak terlihat. Sentuhan itu tidak ke mana-mana seperti tadi—hanya cukup dekat untuk membuatku menggigit bibir. Tiba-tiba mobil berguncang sedikit saat melewati jalan yang tidak rata. Gerakan itu membuat jari Jo jadi lebih menusuk tanpa sengaja. Aku mengeluarkan suara kecil, tidak keras, tapi cukup untuk membuatku buru-buru menutup mulut. Jo langsung menoleh, tatapannya memperhatikan. “Kamu oke?” Aku mengangguk cepat. “Iya… cuma kaget.” Dia menyandarkan punggung, seolah ingin membuat suasana lebih tenang. Tapi tangannya tetap di tempat yang sama, memberi kehangatan yang membuat tubuhku sulit rileks. Jo lalu mendekat. “Ra… Kamu mau aku berhenti dulu?”” Aku menggeleng cepat. “Nggak… aku cuma… perlu pelan.” Jo tersenyum lembut, bukan menggoda—lebih seperti mengerti. “Oke. Aku pelan.” Gerakannya berubah. Tidak lagi mencari posisi tertentu. Hanya mengusap ringan, dengan perlahan, seolah membiarkan tubuhku menyesuaikan kehadirannya. Dari luar hampir tidak terlihat, tapi bagiku terasa jelas. Aku menggigit bibir lagi, tanganku mencengkeram rokku. “Jo…” suaraku bergetar. “Kenapa… rasanya makin dalem… padahal kamu nggak ngapa-ngapain?” Jo tertawa kecil—dan entah kenapa tawa itu membuat seluruh tubuhku makin responsif. “Karena kamu lagi sensitif, Ra.” Dia mencondongkan wajah sedikit. “Tapi kamu juga tetap percaya sama aku. Itu bikin semuanya terasa lebih… nikmat sekaligus menegangkan.” Aku menunduk, malu. “Aku… memang percaya sama kamu Jo…” Jo berhenti sebentar, seolah ingin menikmati momen itu. “Good,” katanya pelan. Mobil terus melaju masuk ke jalan yang lebih tenang. Lampu gedung makin jarang. Rasanya seperti dunia di luar memudar, menyisakan hanya kabin mobil ini—suara AC, jalanan halus, dan kehangatan Jo di sampingku. Saat mobil mulai keluar dari jalan utama, aku melihat rambu yang kukenal. Kami sudah dekat dengan tujuan. Rasanya seperti dunia kecil yang kami ciptakan barusan mulai runtuh, digantikan kenyataan di luar. Tangan Jo masih berada di vaginaku, gerakannya teratur—seolah ia berusaha menjaga agar aku tetap nyaman. Tapi kehangatannya membuatku sulit bernapas normal. Rasanya aku hampir tenggelam dalam suasana ini— sampai tiba-tiba ponselku bergetar. Aku terkejut; bukan panik, lebih seperti tersentak oleh arus listrik kecil. Jo menoleh cepat. “Siapa?” Aku melihat layarnya. “Mama.” Dia langsung menarik tangannya dari pahaku pelan, tanpa suara, seolah memberiku ruang. Tubuhku langsung kehilangan kehangatan itu, dan anehnya aku merindukannya… tapi aku buru-buru mengangkat telepon. “Hallo Ma…” aku menjawab dengan suara biasa, selembut biasanya. Suara Mama terdengar agak berisik, mungkin sedang di luar. “Rara, Mama sudah jalan ke stasiun ya. Kamu udah sampai rumah belum?” Aku menarik napas supaya terdengar normal. “Belum, Ma. Lagi otw. Dikit lagi sampai.” Jo melirikku sebentar, tapi tidak ikut campur. Dia tetap tenang, seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Mama lalu melanjutkan, “Ya sudah, hati-hati di jalan ya. Oh iya, Sena pulang malam ini. Dia bilang ada acara di gereja. Jadi kalau kamu pulang duluan, kamu jangan nunggu dia ya, langsung istirahat aja.” Aku tersenyum kecil. “Iya, Ma. Nggak apa-apa. Rara nanti langsung istirahat.” “Good. Hati-hati di rumah, ya. Jangan lupa kunci pagar. Mama hubungi lagi kalau udah sampai stasiun.” “Oke, Ma.” Telepon ditutup. Aku menurunkan ponsel ke pangkuanku sambil menarik napas pelan. Jo tidak berkata apa-apa, tapi tatapannya terasa jelas—hangat dan membuatku susah untuk menatap ke arah lain. Beberapa detik berlalu, suasana di antara kami terasa sunyi tapi padat, seperti menunggu sesuatu yang belum selesai. Baru setelah itu Jo bersuara pelan. “Semua oke?” Aku mengangguk. “Mama tadi bilang dia sudah berangkat. Terus… Sena pulang malam. Jadi rumah kosong.” Jo tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia menarik tubuhnya sedikit lebih dekat—bukan menyentuh, tapi cukup membuatku merasakan kehangatannya mengalir lagi. Suasana di dalam mobil tiba-tiba kembali padat, tapi dengan cara berbeda dari tadi. Lebih… mengarah ke sesuatu yang belum kami ucapkan. “Jadi kamu sendirian?” Aku mengangguk. “Iya.” Beberapa detik berlalu. Mobil mulai berbelok ke arah jalan yang lebih sempit. Lampu-lampu melewati wajah Jo, membuat ekspresinya terlihat serius dan hangat sekaligus. Kemudian dia bersuara—pelan, tapi mantap. “Ra. Aku yang temenin kamu nanti di rumah.” Aku menoleh lalu terdiam. Bukan karena kaget—tapi karena cara Jo mengatakannya. Tenang. Tidak memaksa. Seolah itu keputusan paling natural di dunia. Aku menarik napas kecil. “Kamu… yakin?” Senyumnya muncul—tipis, tapi full keyakinan. “Yakin. Kamu nggak harus sendirian kalau kamu nggak mau.” Dadaku terasa aneh—hangat, lega, tegang, semuanya bercampur jadi satu. Aku menunduk sedikit. “…makasih, Jo.” Dia mendekatkan tubuhnya sedikit, tanpa menyentuhku. “Aku di sini, Ra. Dari tadi… dan nanti juga.” Mobil mulai melambat. Aku melihat dari jendela: tujuanku sudah dekat. Tapi suasana di kursi belakang ini justru semakin intens—bukan karena sentuhan… tapi karena kata-kata Jo barusan. Dan aku tahu… begitu kami turun dari mobil, semuanya akan terasa berbeda. Mobil mendekati komplek rumahku saat Jo tiba-tiba menoleh ke arahku. Lampu-lampu jalan dari kejauhan membuat kabin mobil remang, tapi cukup terang untuk memperlihatkan wajahku yang pasti masih memerah. Jo memperhatikan rambutku yang jatuh menutupi d**a. “Ra,” katanya pelan, “sini sebentar.” Sebelum aku sempat bertanya, dia mengangkat tangannya dan menyentuh rambutku. Dengan gerakan pelan, dia mengumpulkannya ke belakang, seperti sedang menata rambut seseorang yang benar-benar ia perhatikan. Ujung jarinya menyentuh tengkukku—ringan, tapi cukup membuatku menahan napas sebentar. “Jo… ngapain?” bisikku, lebih malu daripada protes. Dia tersenyum tipis. “Biar kamu nggak terus sembunyi di balik rambutmu. Kamu cantik, Ra. Nggak perlu nutupin diri.” Dengan karet kecil dari sakunya, dia mengikat rambutku ke belakang. Rasanya lebih terbuka daripada biasanya, tapi aku hanya bisa diam. Aku hendak menarik rambutku lagi saat tiba-tiba Jo menyentuh lenganku. “Ra, kamu yang bayar, ya. Tunai. Tujuh puluh tujuh ribu.” Aku langsung menoleh cepat. “Hah? Kenapa aku?” Jo mengangkat bahu sambil tersenyum menggoda. “Latihan dikit buat percaya diri.” Aku ingin protes, tapi mobil mulai memasuki jalan rumahku. Aku merapikan rokku, berusaha tampak normal setelah semua yang terjadi sepanjang perjalanan. Dengan napas yang masih belum stabil, aku mengambil dompet dari tas kecil dan bersiap turun. Mobil akhirnya berhenti perlahan di depan rumah. Supir menoleh lewat spion. “Mas, Mbak, sudah sampai.” Begitu pintu dibuka, udara malam mengenai kulitku—lebih dingin dari AC tadi. Dengan rambut tertarik ke belakang dan pakaian ketat yang kupakai, rasanya tubuhku terlihat jauh lebih jelas dari yang kusadari. Aku berjalan ke jendela depan sambil membawa uang delapan puluh ribu rupiah. “Ini yaa Pak, Kembaliannya nggak perlu, buat Bapak saja.” Suaraku normal—aku sengaja menahannya supaya tidak terdengar gugup. Supir itu menatapku sebentar. Tatapannya bukan menilai, tapi jelas terkejut melihat penampilanku yang mencolok. Dia tersenyum kecil. “Wah, terima kasih, Mbak… cantik banget malam ini.” Pipiku panas seketika. “A-ah… makasih, Pak.” Dia menambahkan sambil tertawa kecil, “Wah… pacarnya beruntung ya, punya cewek secantik Mbaknya.” Aku tersentak kecil, pipiku makin panas. “E-eh… bukan…” Suaraku mengecil sendiri. Driver tertawa pelan. “Saya lihat dari tadi kok. Pasangan muda, ya kan? Asik banget masih bisa ditemenin pulang berdua gitu.” Aku menggigit bibir, makin malu. Dia menerima uangku sambil menambahkan, “Have fun ya berdua di rumah nanti. Malem-malem gini ditemenin pacar… ya beruntung banget Masnya.” Kemudian dia menoleh ke Jo yang berdiri di belakangku. “Mas, makasih juga ya. Selamat malam Minggu. Enak banget bisa berduaan sama pacar yang cantik dan seksi.” Nada suaranya bercanda, tapi jelas membuatku makin panas. Aku langsung menunduk. “Ah… i-iya, Pak. Makasih.” Aku cepat-cepat mundur sebelum pipiku makin merah. Jo berdiri di belakangku dengan alis terangkat—jelas ia mendengar sebagian. Begitu aku kembali berdiri di sampingnya, dia mendekat sedikit dan berbisik di telingaku, “Pacarnya beruntung, katanya.” Aku menutup wajah dengan tangan. “Jo… jangan ulangin…” Dia tertawa pelan—bukan mengejek, hanya menikmati reaksiku. “Aku sih setuju sama Bapaknya,” katanya santai. “Gimana aku nggak beruntung? Bisa nemenin kamu di rumah malam ini.” Dadaku terasa hangat lagi—bukan hanya malu, tapi sesuatu yang lebih dalam. Dia menatapku, matanya serius tapi terlihat sedikit nakal. “Yah… kalau kata drivernya, aku kan ‘pacar yang beruntung’. Jadi tugas aku malam ini ya… nemenin cewek cantik yang yang cantik dan seksi itu. Malah mungkin… lebih dari itu.” Dadaku terasa makin hangat. Cara dia bicara pelan, yakin, dan sedikit nakal membuatku sadar bahwa yang dia maksud bukan sekadar menemani. Aku sudah bisa menangkap maksudnya bahkan sebelum dia menyelesaikan kalimat itu. Dan entah kenapa… aku tidak menolaknya. Sebaliknya, jantungku malah berdetak lebih kencang. Kami berhenti tepat di depan pagar rumah. Lampu teras redup, angin malam lembut, dan gang begitu sepi hingga ketegangan perjalanan tadi terasa semakin nyata. Aku meraih gembok pagar dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Jo berdiri di sampingku—lebih dekat dari biasanya—tidak menyentuhku, tapi kehadirannya terasa kuat, seolah dia bisa mendengar ritme napasku. Aku membuka gembok perlahan. Bunyi klik kecilnya terdengar jelas di tengah sunyi. Kami mendorong pagar bersama-sama, lalu masuk ke teras yang tak kalah hening. Jantungku masih belum stabil ketika aku berhenti tepat di depan pintu rumah. Jo berdiri di sisi kiriku, sikapnya tenang tapi fokus. Kami diam beberapa detik— bukan canggung, lebih seperti menunggu siapa yang akan bergerak dulu. Baru ketika kami berdiri tepat di depan pintu rumah—sunyi, hanya diterangi lampu redup—Jo bersuara pelan. “Ra.” Aku menoleh pelan. “Kamu tadi bilang Sena pulang malam, kan?” Aku mengangguk. “Iya.” Jo mengusap lengannya sebentar, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu, lalu menatapku lagi. “Telepon dia. Tanyain dia pulang jam berapa.” Aku berkedip cepat. “Hah? Sekarang?” “Iya,” jawab Jo tenang. “Biar kita tahu dia pulangnya jam berapa. Supaya kita bisa ngatur waktu dan nggak salah situasi.” Nada suaranya tetap tenang, bukan memaksa—lebih seperti memastikan semuanya aman dan jelas. Aku menunduk sebentar, lalu mengangguk. “Ok…” Aku mengambil ponsel dari tas. Saat aku mulai mencari kontak Sena, Jo sengaja melangkah mendekat—pelan. Dia berdiri tepat di belakangku, lebih dekat daripada sebelumnya. Aku menempelkan ponsel ke telinga, mencoba fokus pada nada sambungan. Angin malam terasa menipis ketika Jo menyentuhku dari belakang. Sentuhannya ringan di bahuku… tapi cukup membuat tubuhku kaku sepersekian detik. “Halo?” suara Sena muncul di ponsel. “Sen… kamu… pulang jam berapa?” tanyaku. Jo—tanpa suara—menurunkan tangannya ke pinggangku. Jemarinya mengelus perlahan, membuatku tersipu. Aku berusaha tidak bergerak, tetapi tubuhku bereaksi sendiri. “Oh… kayaknya jam 11, Mbak Ra,” jawabnya cepat. “Acara selesai jam 9, tapi aku panitia. Masih harus beresin tempat dan ngurus sound system. Lama.” “A-ah… gitu… oke.” suaraku terdengar goyah. Jo seakan ikut mendengarnya—dia menunduk sedikit, dagunya hampir menyentuh pundakku. Lengan kirinya melingkar ringan ke depan, seperti memeluk dari belakang, tapi masih memberi ruang. “Mbak Ra, kamu kenapa? Napasmu aneh,” tanya Sena. Aku terdiam sepersekian detik. Jantungku langsung melonjak panik. Jo tersenyum kecil di belakangku—aku tak melihatnya, tapi aku merasakannya dari cara tubuhnya ikut menegang menahan tawa. “Ngg—noting… cuma capek,” jawabku cepat. Jo menempelkan wajahnya lebih dekat ke sisi kepalaku, dan aku langsung memajukan tubuh sedikit menjauh. “Memang kenapa Mbak? Perlu sesuatu?” “Enggak… enggak ada apa-apa. Cuma nanya. Kamu hati-hati ya nanti,” jawabku cepat. “Yaudah. Kalau ada perlu bilang ya. Mbak kayak ngos-ngosan gitu.” “Astaga, Sen—bukan. Aku cuma capek. Udah ya.” “Ok. Nanti aku kabarin kalau udah mau pulang.” Telepon terputus. Aku menurunkan ponsel sambil menahan napas. Jo masih saja memelukku dari belakang, bahkan tak mencoba melepaskan. Aku menoleh sedikit, suaraku nyaris hanya desahan frustrasi kecil. “Jo… Sena tanya-tanya tadi. Dia pikir aku ada perlu atau kenapa-kenapa…” Jo hanya menatapku dari samping dengan ekspresi polos—yang jelas bukan polos. “Oh? Karena kamu kedengarannya… beda?” godanya pelan. “Aku kedengeran aneh gara-gara kamu, Jo,” bisikku jengkel tapi malu. Jo tersenyum kecil, lalu mengencangkan pelukannya—masih lembut, tapi jelas membuatku tidak bisa kabur. “Terus?” suaranya rendah, hangat di dekat telingaku. “Sena pulang jam 11.” Aku menelan ludah. Jo mengangguk pelan, dagunya hampir menyentuh rambutku. “Berarti…” ia menarik napas kecil sebelum melanjutkan dengan nada menggoda yang sangat terkontrol, “kamu sendirian sampai jam 11.” Aku mengangguk pelan. “Iya.” Jo menurunkan suaranya sedikit lebih lembut. “Kalau gitu…” Dia mendekat lebih dekat lagi, masih memelukku. “Aku temenin kamu. Sampai sebelum Sena pulang.” Jantungku langsung menegang. “Jo…” panggilku dengan nada gugup. “Jangan di teras. Takut ada tetangga lewat.” Dia menatapku dari samping, matanya masih penuh kehangatan dan godaan halus. “Jadi… kalau di dalam enggak apa-apa?” bisiknya. Aku menggigit bibir, wajahku panas sekali. “Bukan begitu maksudku…” Jo terkekeh pelan, suara rendah dan manis, lalu merapatkan pelukannya satu detik sebelum melepaskannya perlahan—cukup untuk membiarkanku bergerak, tapi tidak benar-benar menjauh. “Ra,” katanya lembut, “kalau kamu mau… buka pintunya.” Aku menggenggam kedua gagang pintu dengan tangan yang terasa terlalu ringan dan terlalu berat sekaligus. Jantungku berdegup tidak karuan. Dan ketika pintunya terbuka pelan, aku tahu satu hal dengan sangat jelas. Malam ini… akan terasa jauh lebih pribadi daripada sebelumnya. Begitu pintu terbuka, udara hangat rumahku langsung menyambut. Biasanya, aroma rumah ini membuatku merasa aman—ruang tamu yang rapi, dinding putih, sofa abu-abu yang selalu jadi tempat kami berkumpul. Semuanya selalu bersih, sederhana, normal. Tapi malam ini… semuanya terasa berbeda. Aku baru sempat menutup pintu ketika Jo tiba-tiba menarikku masuk ke pelukannya. Gerakannya pelan, tapi tegas—dan sebelum aku sempat berpikir, lengannya melingkari pinggangku dari belakang—seolah dia sudah menahan keinginan itu sejak tadi. Tubuhku langsung menegang sesaat sebelum akhirnya luluh sendiri. “Ra…” suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang menyentuh leherku. Aku menoleh sedikit, dan saat wajahku hampir menghadapnya, Jo memiringkan kepala dan menciumku— bukan yang terburu-buru, tapi cukup lama dan cukup dalam untuk membuat lututku hampir lemas. Tangannya tidak kasar, hanya menahan pinggangku agar aku tidak mundur. Dia menatapku dari jarak dekat, terlalu dekat, dengan ekspresi yang sulit kuhindari. Hangat, fokus, dan penuh sesuatu yang membuatku sulit bernapas normal. Dan saat itu aku sadar… Rumah ini—ruang tamu sederhana dengan sofa abu-abu, meja rapi, dan foto keluarga di rak—sudah tidak terasa sama. Selama ini rumahku selalu terasa “aman”—tempat yang tidak ada unsur dewasa, tidak ada aktivitas yang membuatku gugup. Semua bersih, polos, dan… biasa. Tapi sekarang… Justru aku sendiri yang membawa ketegangan itu masuk. Dengan Jo. Dengan apa yang mungkin terjadi malam ini. Dengan caraku membiarkan dia memelukku seperti ini. Aku merasakan napasku gelisah, tapi bukan karena takut. Lebih seperti gugup yang penuh antisipasi, campur malu, campur perasaan baru yang membuat dadaku terasa sempit sekaligus hangat. Jo mengangkat tangannya dan menyentuh pipiku pelan, seperti menanyakan tanpa kata apakah aku baik-baik saja. Dia lalu melepaskan ciumannya pelan—seolah butuh waktu sepersekian detik untuk benar-benar mundur. Setelah itu, tangannya bergerak ke bahuku dan dengan gerakan perlahan, dia membalik tubuhku agar aku menghadapnya sepenuhnya. Tidak kasar, cukup tegas untuk memastikan aku benar-benar fokus padanya. Begitu aku berdiri menghadapnya, Jo akhirnya bertanya dengan suara rendah dan hati-hati, “Kenapa?” tanyanya—tenang, tapi matanya tajam, seperti bisa membaca pikiranku. Aku menelan ludah. “Rumah ini… rasanya beda…” bisikku. “Beda gimana?” Ia mendekat, suaranya rendah. Aku menarik napas dalam. “Kayak… semuanya berubah karena kamu ada di sini. Dan—aku yang bikin itu terjadi.” Jo tersenyum kecil, tapi bukan senyum mengejek. Senyum yang membuat dadaku terasa lebih hangat. “Kalau kamu nggak mau, aku bisa pergi,” katanya lembut. Aku langsung menggeleng cepat. “Jangan.” Jo mendekat lagi, jaraknya nyaris membuatku kehilangan napas. “Oke.” Tangannya menyentuh pinggangku pelan, gerakannya hati-hati tapi mantap. “Kalau begitu… biarin aja rumah ini punya kenangan tentang kita.” Dan Jo menunduk lagi, menciumku lagi—lebih dalam, lebih yakin—tapi tetap terkendali, tidak berlebihan. Hanya cukup untuk membuat seluruh tubuhku merespons tanpa izin. Rumah yang biasanya hening terasa seperti ruangan yang baru, penuh udara yang lebih berat dan hangat. Dan untuk pertama kalinya sejak aku tinggal di sini… Aku sadar aku yang mengubah suasananya. “Aku masih di sini sama kamu,” bisik Jo di bibirku. “Nggak ada yang bakal ganggu sampai jam 11.” Jantungku berdetak keras. Karena ketika aku menatap ruangan ini lagi, aku tahu satu hal: mulai malam ini, rumah ini akan terasa berbeda—dengan kenangan yang begitu intens antara aku dan Jo. Entah hanya untuk malam ini… atau mungkin juga untuk hari-hari setelahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD