Awal Sebuah Perjalanan Baru
Lorong apartemen itu terasa panjang dan sepi. Lampunya redup, membuat suara langkah kami terdengar jelas. Aku berjalan sedikit lebih dekat ke Jo. Genggaman tangannya hangat dan stabil, membuatku merasa tenang. Tapi tetap saja, ada bagian dari diriku yang perlahan menegang—bukan karena takut, tapi karena aku baru benar-benar sadar apa yang sedang kupakai.
Kaus putih ini tipis dan ketat, sementara aku tidak memakai apa pun di dalamnya. Spontan, aku menarik rambut panjangku ke depan untuk menutupi bagian dadaku—walau tetap tidak bisa menutupi sepenuhnya. Setiap langkah yang sedikit memantul membuatku sadar bentuk tubuhku terlihat lebih jelas dari biasanya.
“Jo…” bisikku.
Ia langsung menoleh.
“Kenapa, Ra?”
Aku merapikan rambutku lagi, mencoba menutupi bagian yang paling membuatku gugup.
“Putingku kelihatan banget, nggak sih?” tanyaku pelan, lebih seperti gumaman panik.
Jo melihatku sebentar, bukan dengan tatapan aneh, tapi menilai situasi.
“Kelihatan kalau kamu nggak nyaman. Cuma itu. Bukan yang lain,” katanya tenang.
Aku menelan ludah.
“Tapi bajunya…”
Aku melirik kaus yang kupakai—tipis, dingin, dan terasa jujur di kulit. AC lorong menyentuh tubuhku dan mengingatkanku kalau aku tidak memakai apa pun di dalamnya. Rokku yang pendek juga tidak membantu.
Jo mencondongkan kepalanya sedikit.
“Rambutmu itu nutupin bagian dadamu kok. Dan kalau ada yang lihat terlalu lama…”
Ia berhenti sebentar, lalu menatapku mantap.
“Nanti aku tutupi. Kamu aman sama aku, Ra.”
Ucapan itu sederhana, tapi menenangkan.
Saat kami mendekati lift, aku sempat melihat pantulan kami di kaca lorong. Diriku yang tampil lebih berani dari biasanya, dan Jo yang terlihat tenang. Entah bagaimana, keberadaannya membuat semua ini terasa tidak terlalu menakutkan. Lift berbunyi dan pintunya terbuka. Kami masuk. Di dalam, cahaya pucat membuat pantulan kami terlihat jelas, dan melihat diriku sendiri membuat wajahku panas. Jo melihat pantulan itu juga.
“Ra,” katanya pelan, “kamu terlihat kuat.”
Aku mengerjap.
“Kuat?”
Jo bersandar pada dinding lift.
“Bukan karena bajunya.”
Ia menahan tatapanku.
“Tapi karena kamu berani jalan pakai itu dengan kepala tegak.”
Aku menunduk sambil tersenyum kecil. Rasa malu di d**a berubah menjadi sesuatu yang lebih hangat—semacam keberanian yang masih baru buatku. Lift berhenti. Pintu terbuka, dan Jo mengulurkan tangan.
“Ayo.”
Satu kata sederhana, tapi terasa cukup membuatku siap. Aku menggenggam tangannya dan keluar bersamanya.
Udara dingin dari AC lobby terasa langsung menyapu kulitku. Sensasinya membuatku semakin sadar dengan pakaian yang kukenakan. Rasanya seperti semua gerakanku terlalu mudah untuk dilihat. Aku menarik napas, tapi langkahku otomatis mengecil karena rasa canggung itu.
Beberapa pria yang lewat melirik tubuhku. Mungkin memang bukan bermaksud buruk, tapi cukup untuk membuatku sadar kalau tampilanku memang mencolok. Aku meremas ujung kausku tanpa sadar.
“Jo…” bisikku, mendekat sedikit.
“Aku merasa… dilihatin.”
Jo langsung fokus padaku.
“Kamu nggak ngapa-ngapain,” katanya tenang.
“Mereka cuma lihat sekilas. Itu normal kok.”
Aku menggeleng kecil.
“Tapi… kayaknya mereka lihat yang…”
Aku tidak menyelesaikannya, tapi Jo mengerti. Ia semakin mendekat, sehingga bahuku menyentuh lengannya.
“Aku di sini, Ra. Mereka cuma lihat sebentar, habis itu selesai.”
Ia menatap wajahku, bukan tubuhku.
“Yang penting kamu aman.”
Aku menghembuskan napas. Rasa malunya masih ada, tapi telah berubah menjadi kesadaran baru—sensasi yang membuat tubuh terasa lebih peka. Dan entah kenapa, berada dekat Jo membuat itu terasa bisa dihadapi.
Kami berjalan menuju pintu kaca. Jo menggenggam tanganku lagi, cukup kuat untuk memberi rasa aman. Setiap kali aku merasa ada tatapan, Jo sedikit mendekat—seperti tahu kapan aku butuh perlindungan.
“Aku kelihatan aneh nggak?” tanyaku pelan.
“Nggak,” jawab Jo spontan.
“Kamu kelihatan cantik. Berani. Dan… kamu nggak sendirian.”
Pintu otomatis terbuka, angin luar menyapa kami. Jo menekan tanganku, memberi isyarat untuk melangkah. Dan akhirnya, untuk pertama kalinya sejak tadi, aku mengangguk tanpa ragu.
Begitu aku dan Jo keluar dari lobi, udara sore yang lembap langsung terasa, meski sedikit lebih menenangkan. Jo masih menggenggam tanganku sambil memeriksa kendaraan online yang sudah ia pesan sejak tadi.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil putih berhenti di depan gedung. Jendela depan turun perlahan.
“Pesanan atas nama Jo?” tanya driver dengan nada datar tapi sopan.
“Iya, Pak,” jawab Jo.
“Silakan masuk.”
Jo mengangguk pelan dan melepaskan tanganku untuk membukakan pintu belakang. Saat pintunya terbuka, driver sempat melihatku—tatapannya tetap sopan, tapi aku bisa menangkap ada sedikit keterkejutan darinya. Mungkin karena penampilanku yang terlihat sangat seksi.
Aku langsung merasa canggung. Tanganku refleks merapikan rambutku, seakan itu cukup untuk membuatku lebih tertutup. Jo melihat gerakanku dan memiringkan tubuhnya sedikit ke arahku.
“Tenang.”
Satu kata itu saja cukup membuatku menarik napas lebih stabil.
“Silakan masuk, Mas, Mbak,” kata driver dari balik kemudi.
Begitu aku masuk ke dalam mobil, aku membungkuk sedikit. Dari sudut mataku, aku melihat driver itu sempat terdiam. Saat itu aku tahu dia melihat sesuatu—bukan karena aku mau, tapi karena posisi membungkukku membuat pakaianku terlihat lebih terbuka dari yang kuharapkan. Wajahku langsung panas. Aku cepat duduk dan menarik rambutku ke depan untuk menutupinya, berharap itu cukup.
Jo masuk dari sisi lain dan duduk di ujung kursi. Ia menepuk tempat di sebelahnya, memberi tanda agar aku mendekat. Aku mengikutinya dan bergeser ke tengah. Posisi itu membuat driver bisa melihatku lebih jelas lewat spion, dan rasa canggungku muncul lagi.
Beberapa detik aku hanya diam sambil memegang ujung rok, mencoba menenangkan diri. Driver sesekali melirik spion. Mungkin hanya untuk memastikan jalan, tapi setiap ada gerakan, tubuhku langsung menegang. Jo menyadari itu. Ia duduk sedikit lebih dekat, dan kehadirannya terasa seperti pelindung.
“Aku di sini, Ra,” katanya pelan.
“Kalau kamu nggak nyaman, bilang ya.”
Aku mengangguk, pipiku masih panas. Tapi ada rasa hangat yang muncul—bukan hanya malu atau gugup. Rasanya seperti dihargai dan diperhatikan dengan cara yang baik, berbeda dari tatapan orang asing.
Perasaan itu membuatku cukup berani untuk mengangkat wajah dan melihat keluar jendela. AC dingin masih membuatku agak canggung, tapi aku lebih tenang. Karena Jo ada di sini. Di sampingku. Selama perjalanan ini.
Mobil sudah berjalan beberapa menit. Aku mencoba duduk tenang, tapi rasa canggung dari tadi belum hilang. Kausku terasa di kulit, dan aku beberapa kali merapikan rambut agar tetap menutupi bagian depan tubuhku.
Jo duduk di sampingku—lebih dekat dari sebelumnya. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya meski dia belum menyentuhku. Tiba-tiba Jo sedikit mencondongkan tubuh dan berbisik pelan,
“Ra… kamu masih tegang?”
Aku menggigit bibir.
“Sedikit,” jawabku pelan.
Jo tersenyum—senyum yang biasanya muncul saat dia mulai iseng. Tangannya bergeser perlahan ke arahku, terlihat seperti gerakan biasa… sampai akhirnya menyentuh pahaku yang tidak tertutupi sempurna oleh rok. Sentuhannya ringan. Tapi karena titik itu peka, efeknya langsung terasa, membuatku sedikit terkejut.
“Jo…” bisikku, gugup.
Tatapannya nakal tapi tetap lembut.
“Kaget?”
Aku tidak menjawab; wajahku sudah panas. Mobil terus melaju, dan driver tampaknya tidak memperhatikan kami karena fokus menyetir. Namun rasanya seperti dunia mengecil, menyisakan hanya kursi belakang ini.
Jo menggeser jarinya—masih di area yang sama, tapi perlahan naik lebih tinggi hingga menyentuh vaginaku. Gerakannya halus dan tidak mencolok, tapi cukup dekat, cukup intens, sampai membuat napasku sulit teratur.
Aku menahan suara, tanganku refleks meremas rokku.
“Jo… jangan di sini…” suaraku hampir tidak terdengar.
Jo tersenyum tipis, seperti menikmati reaksi kecilku.
“Kalau kamu nggak mau, aku berhenti,” katanya pelan.
Nada suaranya benar-benar menawarkan pilihan, bukan memaksa.
Aku menutup mata sebentar, mencoba berpikir. Tapi tubuhku justru bereaksi lebih dulu. Bukannya menjauh, aku malah sedikit condong ke arahnya—gerakan kecil yang bahkan aku sendiri hampir tidak sadar.
Jo memperhatikan itu.
“Ra…” suaranya berbisik di telingaku, rendah, dan hangat.
“Boleh aku lanjut… pelan-pelan kok?”
Aku menelan ludah, wajahku terasa panas. Aku tahu aku bisa bilang “tidak” kapan saja. Tapi sentuhan tadi—yang halus dan hati-hati—membuat dadaku berdebar sampai sulit menolak. Aku lalu mengangguk kecil.
Jo menyentuh sisi itu lagi—lebih pelan daripada sebelumnya. Rasanya seperti ada kehangatan yang menjalar, bukan sesuatu yang berlebihan, hanya cukup untuk membuat tubuhku menegang karena terlalu sensitif.
Aku menutup mulut dengan tangan supaya tidak mengeluarkan suara desahan yang bisa terdengar oleh driver. Jo sedikit mendekat, membuat bahuku bersentuhan dengan tubuhnya.
“Kamu gemeteran,” bisiknya.
“Aku… nggak bisa ngontrol,” bisikku.
Jo menahan tawa kecil, jelas menikmati reaksi yang bahkan aku sendiri tidak bisa sembunyikan.
“Tapi kamu suka?”
Aku mengangguk pelan.
Ia menggerakkan jarinya lagi—sedikit saja—tapi cukup membuatku menggigit bibir dan bernapas pendek.
“Aku suka lihat kamu bereaksi kayak gini,” katanya pelan di dekat telingaku.
Aku menggenggam rokkku lebih kuat. Tubuhku terasa panas meski AC mobil dingin.
“Jo… jangan ngomong gitu…” suaraku bergetar.
“Kenapa? Kamu makin manis kalau malu,” katanya sambil tersenyun nakal, jelas untuk menggodaku.
Jo berhenti sebentar supaya aku bisa menarik napas. Tangannya diam di vaginaku—dan meski tidak bergerak, sentuhan itu saja sudah cukup membuatku sulit duduk tenang. Mobil terus melaju, driver tetap tidak menyadari apa pun. Dan aku… duduk di samping Jo, yang sekarang menatapku dengan tatapan yang intens.
“Kalau kamu enggak mau, aku bakal berhenti,” ulangnya pelan.
Aku menatapnya lama. Malu, panas, tapi juga… nyaman.
“Jo… jangan dulu berhenti,” bisikku akhirnya.
Dan senyum Jo langsung melebar. Senyum itu membuat dadaku berdebar. Bukan karena dia ingin mendorong situasi, tapi karena cara dia menatapku—yakin, tenang, dan seolah memahami apa yang sedang kurasakan.
Mobil terus melaju. AC tetap dingin, tapi tubuhku justru terasa lebih hangat. Bukan hangat yang berlebihan… lebih seperti gugup yang sulit kusimpan sendiri. Sentuhan Jo tadi masih menempel di kulitku, meski sekarang dia tidak melakukan apa-apa. Tangannya hanya diam di bibir bawahku—tidak menekan, tidak bergerak—tapi keberadaannya saja sudah cukup membuatku sulit duduk tenang.
“Kalau terlalu nggak nyaman, bilang aku,” katanya pelan, suaranya rendah tapi lembut.
Aku mengangguk kecil.
“Aku… cuma malu.”
Jo menoleh sedikit, tubuhnya condong ke arahku.
“Karena driver?”
Aku menggigit bibir.
“Iya… dan… karena kamu lihat aku kayak gitu tadi.”
Dia tertawa pelan—bukan mengejek, tapi menenangkan.
“Aku nggak akan bikin kamu kelihatan aneh, Ra.”
Tangannya bergerak sedikit—hanya cukup untuk mengingatkanku bahwa ia masih ada begitu dekat denganku. Tapi gerakan kecil itu saja sudah membuat napasku tercekat, tubuhku bereaksi lebih cepat daripada pikiranku.
Aku melirik sekilas ke spion. Driver tetap fokus pada jalan, tidak memperhatikan kami. Tapi entah kenapa, justru hal itu membuat semuanya terasa lebih intens, seolah menahan semua keteganganku sendiri.
Jo mendekat sedikit lalu berbisik di dekat telingaku,
“Ra… kamu masih gemeteran?”
“Iya… sedikit,” jawabku, berusaha menjaga suaraku tetap normal.
Jo menggeser tubuhnya lebih dekat. Bahu kami bersentuhan, dan sentuhan kecil itu saja membuatku menarik napas pendek. Tangannya yang masih berada vaginaku ikut bergeser sedikit—hanya gerakan halus—tapi cukup membuatku mundur sedikit ke sandaran kursi untuk mencoba menenangkan diri.
“Aku nggak bakal buru-buru,” katanya.
Aku memejamkan mata, mulutku tidak menjawab karena takut suaraku keluar. Jo melihat reaksiku, dan tatapannya berubah—lebih lembut, tapi juga intens, seolah meminta aku untuk jujur pada diriku sendiri.
“Ra,” bisiknya.
“Lihat aku.”
Pelan-pelan aku menoleh. Jarak kami dekat, meski hanya bahu yang bersentuhan. Dan di antara rasa canggung yang menumpuk itu, aku menyadari satu hal: aku justru… merasa nyaman, namun membuatku makin gugup.
Jo menggerakkan jarinya di vaginaku—samar. Tapi tubuhku langsung bereaksi, membuatku menelan ludah.
Aku menunduk sedikit sambil berbisik,
“Jo… jangan bikin aku makin malu…”
Dia tersenyum tipis. Bukan senyum nakal yang jahat, tapi senyum seseorang yang tahu aku mempercayainya.
“Malu sedikit nggak apa-apa,” katanya pelan.
“Nikmatin aja..”
Aku meremas ujung rokku, mencoba menahan gemeteran.
“Jo… aku nikmatin kok... Cuma…”
“Cuma apa?” tanyanya pelan, mendekat sedikit.
Aku menarik napas pendek.
“Cuma… jangan terlalu kelihatan. Aku benar-benar malu.”
Jo mengangguk pelan.
“Oke. Aku bakal pelan-pelan.”
Dan dia menepati omongan itu. Sentuhannya tetap samar, lebih terasa sebagai kehadiran daripada tindakan. Justru karena pelan, efeknya lebih kuat. Napasku jadi berantakan, pipiku panas, dan setiap kali mobil sedikit bergoyang, jarak tubuh kami berubah, menambah ketegangan yang sulit dijelaskan.
Aku tidak berkata apa pun. Tubuhku malah condong sedikit lebih dekat tanpa kusadari. Gerakan kecil itu cukup membuat Jo menangkap sinyalnya. Ia berbisik sangat pelan, suaranya hangat di telingaku,
“Ra… aku suka kamu kayak gini.”
Aku menggigit bibir, menahan suara yang hampir keluar. Meskipun AC mobil dingin, tubuhku terasa jauh lebih panas. Mobil tetap melaju. Driver fokus sepenuhnya ke jalan, tanpa menyadari apa pun. Sementara aku… duduk di samping Jo, dengan jantung yang terus berpacu dan tubuh yang sulit berhenti bereaksi.
Jo masih duduk di sampingku, jaraknya dekat, dan tangannya yang tadi diam di vaginaku perlahan naik sedikit. Gerakannya halus—hampir seperti dia hanya merapikan kain rokku—tapi tubuhku langsung menegang kecil.
Aku menahan napas.
“Jo…” bisikku pendek, lebih seperti refleks daripada teguran.
Dia menoleh sedikit ke arahku, wajahnya dekat.
“Aku pelan,” katanya, suaranya rendah.
“Tapi aku tahu kamu ngerasain ini.”
Jo justru menaikkan intensitasnya lewat cara lain: gerakan yang lebih pasti, tekanan yang lebih terasa namun tetap sopan, dan jarak tubuhnya yang makin dekat sampai aku bisa merasakan hangat napasnya di wajahku. Bukan tindakan besar—tapi cukup untuk membuatku sulit berpikir lurus.
“Apa kamu masih tegang?”
Pertanyaannya sederhana, tapi nadanya… membuat dadaku bergetar. Aku mengangguk kecil.
“Makin tegang, Jo.”
Jo tersenyum tipis.
“Karena ini?”
Tangannya bergerak sedikit, hanya sedikit, tapi efeknya membuat lututku serasa melemah.
Aku menutup mulut dengan tangan untuk menahan suara.
“Jo… nanti kedengeran…” bisikku.
Jo mendekat, hampir menyentuh telingaku.
“Tenang. Kamu udah bagus banget kok nahan suara. Tapi tubuhmu…”
Ia tertawa kecil yang membuatku makin panas.
“…nggak bisa bohong.”
Aku memalingkan wajah, malu, tapi dia mengikutinya—mendekat hanya sejengkal.
“Ra, lihat aku,” katanya pelan.
Aku akhirnya menoleh. Seharusnya tidak kulakukan. Karena begitu mataku bertemu matanya, aku langsung merasa tidak punya kendali. Ada tekanan dalam tatapannya—cukup kuat untuk membuatku sulit berpaling.
Tangan Jo bergerak lagi. Gerakannya membuat suasana di antara kami semakin intens, tetapi tetap tersamar dan tidak berlebihan. Tidak kasar, tidak terburu-buru—justru terlalu pelan, seakan dia sengaja membuatku lebih sadar pada setiap sentuhan kecil yang tidak langsung, tapi cukup membuat tubuhku bereaksi.
Aku menggigit bibir sampai terasa tegang. Nafasku jadi pendek-pendek.
“J-Jo… ini…”
Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Jo tahu. Dia mendekatkan wajahnya, hampir menyentuh kulitku.
“Bilang kalau kamu mau aku berhenti.”
Aku menggeleng tanpa suara. Dia tersenyum kecil—senyum yang penuh kendali tapi tetap lembut.
“Good.”
Sentuhannya kembali turun sedikit, lalu naik lagi dengan ritme yang lebih terarah—dengan tekanan halus yang membuatku susah diam. Kakinya bersentuhan dengan kakiku, membuatku semakin terkunci di tempat.
Aku tidak bisa menahan hembusan napas pendek.
“Jo… kamu… ah…”
Aku buru-buru menutup mulut lagi, panik kalau ada suara yang keluar.
Jo menahan tawa pelan, bukan mengejek—lebih seperti menikmati cara tubuhku bereaksi.
“Kamu manis banget kalau berusaha diem,” bisiknya.
Tangannya kembali bergerak, sedikit lebih terarah. Rasanya jadi lebih intens dari sebelumnya—pelan, tapi jelas membuatku sulit duduk tenang. Aku hampir saja menggenggam lengannya, tapi aku buru-buru menghentikan gerakan itu. Takut terlihat oleh driver. Jadi aku hanya meremas rokku lebih keras, lututku gemetar kecil.
Jo mendekatkan bibirnya ke telingaku.
“Ra… kamu makin hangat. Aku bisa ngerasain.”
Aku hampir tidak bisa bicara.
“Jo… jangan ngomong gitu…” suaraku bergetar.
“Kenapa?”
Suaranya rendah, membuatku merinding.
Aku memejam mata.
“Karena… itu bikin aku makin—”
“Basah?” sambungnya, nadanya jelas mengejek halus.
Aku mengangguk tanpa sadar. Gerakan tangannya menyusul jawabanku—lebih intens daripada tadi, cukup untuk membuatku menunduk. Tubuhku yang sudah terlalu tegang bereaksi lebih cepat daripada pikiranku, dan aku tanpa sengaja mengeluarkan desahan kecil—lebih seperti hembusan napas yang lolos begitu saja.
“Ahhh…”
Aku langsung menutup mulutku, shock, dan menegakkan punggung.
“Jo…” bisikku, nyaris panik.
Jo hanya menoleh sebentar, ekspresinya tenang seperti biasa. Dia tidak menarik tangannya, tidak juga bergerak —tetap diam di tempat yang sama, hanya memberikan tekanan ringan, seolah itu sekadar gestur menenangkan.
Sementara aku masih berusaha mengatur napas yang kacau, driver tiba-tiba mengangkat pandangan ke spion. Mataku melebar. Aku tahu dia mendengar—atau setidaknya merasa ada gerakan mencurigakan.
Untuk sepersekian detik, tatapan kami bertemu lewat pantulan kaca spion. Jantungku seperti hampir berhenti. Tapi Jo… Jo tetap seolah-olah bersikap seperti tidak ada apa-apa.
Ia menyandarkan tubuhnya sedikit, posturnya sangat santai. Tangan kirinya yang bebas diletakkan di pahanya sendiri, sementara wajahnya mengarah ke jendela seolah sedang melihat pemandangan luar. Gerakannya begitu natural sampai rasanya tidak ada apa pun yang sedang terjadi. Seakan ia benar-benar hanya duduk biasa.
“Nyaman, Mbak? AC-nya dingin?” tanya driver dengan nada datar, hanya memastikan, tidak menuduh.
Aku buru-buru mengangguk.
“Iya, Pak… nyaman.”
Dari nada suaranya, aku tahu dia menyadari ada sesuatu, tapi memilih untuk tidak ikut campur.
Driver kembali fokus ke jalan. Begitu keadaan kembali tenang, Jo sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku—cukup dekat sampai bahuku menyentuh lengannya. Sentuhan kecil itu membuatku sadar bahwa dia masih memperhatikan setiap reaksiku, hanya saja tidak dengan cara yang terlihat dari luar.
Tangan Jo tidak bergerak naik atau turun—tapi keberadaannya saja cukup membuatku susah bernapas stabil. Ada tenaga yang ditahan di sana, intensitas yang tidak Jo lepaskan sepenuhnya, tapi membuatku terus gemetar.
Aku menutup mata sebentar, mencoba mengendalikan diri.
“Jo… Driver tadi… lihat.”
Aku mencubit rokku kuat-kuat, pipiku panas.
“Sedikit,” jawab Jo pelan.
“Tapi… dia nggak mau ikut campur. Santai aja...”
Aku menggeleng kecil, masih malu.
“Aku takut kedengeran lagi…”
Jo mendekat—tidak menyentuh wajahku, tapi cukup dekat untuk membuatku merasakan hangat napasnya.
“Kalau kamu tahan, aku bakal pelan.”
Jo berhenti sejenak, seolah memberi waktu untuk memastikan aku mendengar setiap kata berikutnya.
“Tapi kalau kamu nggak bisa tahan… aku akan jaga kamu.”
Ucapannya membuatku menggigil. Entah karena ketakutan kecil, atau karena sesuatu yang jauh lebih hangat. Driver tetap menatap jalan, tidak bicara lagi. Dan aku… masih berusaha bernapas normal, sementara tangan Jo tetap di sana—tidak bergerak, tapi rasanya seperti tidak hilang sama sekali.