3

1024 Words
Naomi Aksara. Lahir lima tahun lalu yang telah menjelma menjadi bocah kecil lucu dengan gigi ompong di tengahnya. Persis seperti gerbang masuk. Rambutnya panjang, hitam legam, dengan ciptaan mata bulat sebening air kali. Pulung suka sekali dengan bocah ini. Bibirnya tipis sehingga ceriwis dan mengajukan banyak tanya. Beruntung, Pulung memiliki sejuta jawaban yang tak kalah mengejutkan. "Kalau tante Pulung yang jadi mama aku, mau?" Kali ini jawaban model apapun takkan bisa Pulang berikan. Karena salah sedikit, tangisan yang Omi gemakan. Cara ampuh agar permintaannya terkabul. Jadi, hanya senyuman yang bisa Pulung perlihatkan. "Ayo di makan." "Suapin." Rengeknya manja. Kata Ardika, putrinya mandiri. Makan dan mandi sendiri menjadi ritual Omi yang tak mau di ganggu siapa pun. Tapi—agaknya—itu tak berlaku ketika bocah itu berhadapan dengan Pulung. Buktinya, pagi-pagi sekali, ketika Pulung sedang mengaji, Omi mengunjungi kamarnya. Meminta di masakkan air panas untuk mandi plus di mandikan. Ardika melotot. Mulutnya mendumel dan berhenti di kala Pulung mengatakan: "Nggak apa-apa pak Ar. Ini bagian dari tugas saya." Hendak di tolak sebelum teriakan Omi menggelegar. Orangtua tunggal itu memilih mengalah saja dari putrinya. "Tapi janji ya." Pulung ajukan bujuk rayunya dulu. Agar anak asuhnya mau belajar usai ini. "Habis ini belajar." "Ah mama ..." Napas Pulung tercekat. Omi tidak sadar akan kalimatnya. "Oke. Selesai belajar main game ya tante." Lega rasanya. Embusan napas Pulung terhela. Omi hanya keceplosan dan spontan. "Nggak bobok, ya?" "Tapi sama mama." Aduh lagi. Kok kaya sengaja banget. "Kita lihat deh sejauh mana Omi memilih warna buat gambarnya nanti." Sorakan gembira di sertai tangan merentang ke atas adalah bukti kesenangan Omi. Dan sepertinya, untuk anak-anak seumuran Omi, belajar bukan pilihan yang di sukainya. Mereka butuh bermain, bergerombol bersama kawan-kawannya yang di saat ini tidak bisa dilakukan. *** Siang harinya, yang membuat Pulung bingung adalah kepulangan Ardika. Lelaki itu mengatakan jika jam kerjanya selalu sampai sore. Terhitung jika tidak ada lembur. Lalu sekarang ini? Duduk di meja makan dan menuang berbagai sayur serta lauk yang Pulung masak. "Saya biasa pulang buat makan siang teh." Oh seperti itu. Kaki Pulung hendak melangkah ke kamar Omi. Sebelum vokal Ardika menghentikannya. "Masakan teteh enak. Saya sudah lama nggak makan makanan rumahan. Oh ya teh ..." jedanya. "Nanti malam, saya ajak teteh ke sanggar tari." "Sanggar tari?" ulang Pulung. Kepala Ardika mengangguk. "Kebetulan juga lagi butuh guru tari. Nanti teteh bisa ajak Omi belajar juga. Sayang, kan kalau Omi nggak punya kemampuan lain." "Apa nggak terlalu maksa?" "Enggak dong teh. Dulu ..." Tiba-tiba terhenti. Dahi Pulung berkerut. Bukan bermaksud untuk kepo. "Karena kita ada di tanah sunda, berdarah sunda juga, mempelajari kebudayaannya, kan nggak ada yang salah teh." Bukannya Pulung memberikan penilaian 'terlalu memaksa' atau apa. Tapi, anak kecil lebih baik di berikan kebebasan dalam memilih. Tidak semuanya harus di penuhi demi masa yang akan datang. Meski tidak ada salahnya juga. Memberi bekal ilmu kepada anak, tak ada salahnya sama sekali. Obrolan pun berakhir. Pulung melanjutkan langkahnya dan Ardika dengan makan siangnya. Sekali pun fokusnya terbagi pada sosok Pulung. Mengambil keputusan cepat bukanlah jalan terbaik. Informasi yang Ardika dapat juga valid. Pulung baru saja bercerai. Belum ada hitungan bulan. Meninggalkan segala pemikiran yang Ardika Aksara canangkan. Tidak semua yang di inginkannya tercapai dalam satu waktu. Ada step by step yang harus dirinya jalani. Menunggu salah satunya. Bersabar dengan waktu yang tepat untuk maju dan memulai aksinya. Terkesan terburu-buru akan mendapat penilaian yang gegabah. Bukan gaya seorang Ardika Aksara jika seperti itu. Embusan napasnya Ardika helakan. Kedua tangannya justru kaku dan mengaduk nasi serta jajaran lauk di dalamnya. Mendadak kenyang menyapa padahal tadi lapar luar biasa. Benaknya bertarung. Mati-matian Ardika pikirkan masa depan yang cerah bagi sang putri. Keputusan yang akan di ambilnya juga bagian persetujuan Naomi bukan semata dirinya yang akan menjalani. Walaupun kecil, Naomi memiliki cara pikir yang unik. Entah karena kurangnya bimbingan sosok wanita yang di panggil 'ibu' atau Ardika yang terkesan membuka akses agar putrinya paham sejak dini. Tapi opsi pertama akan Ardika setujui. Sejak hari itu, usaha yang Ardika jalani belum membuahkan hasil. Tahun pertama ia pikir, 'ah mungkin belum rejeki' atau 'kurang tepat dengan karakter putrinya'. Tak jarang sisi egois Ardika menguasai. Melihat dirinya sebagai pebisnis muda yang unggul, memiliki perusahaan sekali pun kecil tapi mampu memperkerjakan orang dan membuka lowongan kerja sungguh membuatnya tinggi hati. Sombong mendadak merajai hatinya. Maka dari itu, pernah suatu ketika Ardika berkenalan dengan seorang perempuan—mahasiswa magang di kantornya—cantik dan pintar. Hanya kondisi ekonominya saja yang kurang beruntung, Ardika putuskan. Tahun kedua, hal serupa juga terjadi. Ah, malahan lebih parah. Ardika khilaf. Tercebur dosa. Macarin anak orang, tahu-tahu ngajak ngamar. Yang waktu itu Ardika pikir: 'kan bentar lagi halal. Nengok terasnya neraka boleh kayanya.' Dan terjadilah. Bodohnya, spermanya langsung jatuh cinta sama sel telur si perempuan. Dan sewaktu benda biru putih menunjukkan garis dua berwarna merah, perempuan itu histeris. Katanya, "Aku belum siap jadi ibu." Ardika langsung shock. Hampir-hampir darah tinggi. "Aku butuh duwit buat gugurin ini." Ya, karena sudah begitu, apa yang bisa Ardika lakukan selain mengiyakan dan mentransfer uang berjumlah fantastis? Sekalian dirinya putuskan hubungan. Sudah, cukup sampai di situ petualangan Ardika. Mulai saat itu fokusnya hanya pada Naomi. Kerja pagi pulang malam, melanglang buana ke berbagai kota ketika menangani proyek, dan membawa serta Naomi. Ternyata bisnisnya sukses besar. Sayapnya makin melebar. Di tahun ini, pandemi merajalela, mematikan seluruh aspek kehidupan, belum lagi dengan RUU Cipta Kerja yang kemarin pemerintah sahkan, teman lamanya Dante—bukan sebenarnya—nanti Ardika jelaskan. Menghubungi dan meminta pertolongan perihal pekerjaan. Awalnya Ardika pikir-pikir lagi. Tapi melihat Naomi yang semakin aktif, mau tidak mau dirinya bertindak. Bisa berabe kalau anaknya terus dirinya ajak ke proyek. Kerja enggak, musibah datang—amit-amit! "Omi mau punya bibi?" Malam itu sembari memboyong Naomi ke ranjang besarnya, dirinya curahkan cerita—pengganti dongeng. "Ini papa kasih lihat." "Mama buat Omi?" Mata bening sipitnya melebar. "Mau ... Omi mau." Langsung tancap gas. Biasanya Omi akan berpikir seribu kali dan ogah-ogahan. Tapi ini tanpa alasan sabang sampai merauke langsung setuju singgah di lhokseumawe. Rasanya anjim bet kaya odading mang Oleh yang seperti jadi ironman. "Nanti bakal nemenin Omi sekolah juga." "Oke." Sudah. Begitu saja? Kok Ardika mendengus kencang, ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD