2

1099 Words
Pulung sudah sampai di kost mewah saudaranya. Semua keluh kesahnya terbagi sampai Dante menangis sesenggukan. Pagi ini, sebelum matahari manyapa bumi Jakarta, berita yang lagi-lagi merugikan semua kalangan bawah beredar. Tidak hanya kalangan bawah saja, semua yang masih berstatus sebagai buruh dan mendapat upah dari orang lain, tetap saja berimbas. Peraturan pemerintah yang keluar tidak mempunyai dampak keuntungan apapun. Terkesan carut-marut, terburu-buru meski selalu di sangkal bahwa keputusan itu sudah terbentuk sejak lama. Meski demikian, tidak bisakah negara memberi perlindungan yang selayaknya? Bukankah tertera jelas warga berhak mendapatkan hak-haknya? Jika sudah begini, akan lari kepada siapa kita? Seperti sudah tidak berlandaskan pada Pancasila. Sekali pun sisi negatif dan positif melaju menuju ranahnya. Nanti, usai pandemi ini, rombakan pemerintah kepada para buruh akan mulai di jalankan. Hanya saja, yang menjadi gejolak saat ini adalah kesan pengesahan yang tidak terbuka. Dan lagi, sangat di sayangkan terjadi kala kondisi menghimpit keluhan rakyat. Jelas, tidak ada lagi rasa percaya rakyat untuk pemerintah. Yang uluran tangannya sangat rakyat harapkan, justru mencekiknya. Yang berakad dengan sejuta janji, nyatanya mengkhianati. Mosi tidak percaya kembali beredar di media sosial. Trending teratas begitu Pulung berselancar. Embusan napasnya terdengar berat. Kepalanya berputar. Otaknya terperas agar bagaimana ekonomi keluarganya di kampung tertolong segera. Negara ini sedang tidak sehat. Negara ini sudah tidak bisa di jadikan harapan. Negara ini—yang katanya memiliki harga mati—bukan lagi tumpuan bagi tiap-tiap penghuninya. "Teh ..." Pulung menoleh. Mendapati Dante dengan gaun tidurnya yang masih sama seperti dulu—doraemon. Di umur 20 tahunnya, Dante masih menyukai hal-hal berbau kartun dari jepang itu. "Kenapa nggak ke karawang saja. Teteh, kan bisa nari." Pulung hampir lupa akan keahlian dirinya semasa sekolah dulu. Di kampungnya, Pulung terkenal sebagai penari jaipong handal. Sejak kecil, sebelum menduduki bangku sekolah dasar, ibunya sudah mencekoki dirinya dengan berbagai gerakan tari. "Aku dengar ada sanggar di sana. Bukan artinya aku nggak suka teteh di sini. Jujur aku senang. Pulang kerja malam menjelang dini hari dan ada yang nyambut aku, itu rasanya luar biasa banget." "Teteh ngerti Nte." Pulung merasa tidak enak juga jika harus menumpang terlalu lama. Rencana awalnya berada di Fatmawati untuk mencari pekerjaan. Di kawasan ini terdapat beberapa ruko mewah dengan gaji cukup fantastis. Meski hanya penjaga toko bahan. "Di sini dengan keadaan kaya gini aku nggak menjamin teh." Dante ada benarnya. Negara ini sakit. Tidak pernah baik-baik saja atau kapan akan menunjukkan kesembuhannya? "Tapi kalau teteh nari, bisa juga masuk ke sanggarnya, perkumpulan di sana erat. Aku yakin, rejeki yang lain pasti bakal datang. Pabrik di sana juga lumayan." Tidak berpikir dua kali, Pulung setuju. Dante dengan semringah memeluknya. "Aku bakal kangen banget sama teteh. Kita tuh lucu. Dekat tapi kaya jauhnya nyeberangi pulau." Hiperbola Dante sejak dulu selalu berlebihan. Tapi Pulung sayang sepupunya yang satu ini. Jiwanya mandiri. Sosoknya kuat. Bungsu lima bersaudara yang menjadi tumpuan keluarga tapi mampu menjajaki lantai perkuliahan. Hidupnya keras dan pekerjaannya... tidak ingin Pulung campur tangan. Itu hak Dante. "Nanti aku hubungi teman aku yang di sana. Teteh tinggal saja di rumahnya. Dia punya anak kecil." *** Sorenya Pulung bersiap. Dante tidak bisa mengantar karena jam kerjanya yang shift sore. Begitu taksi pesanannya tiba di stasiun menteng, KRL tujuan bekasi lekas Pulung masuki. Kondisi gerbong juga lengang lantaran protokol kesehatan yang membatasi jumlah penumpang. Dengan begitu, Pulung bisa duduk sembari memejamkan matanya. Sampai bekasi nanti akan ada yang menjemputnya. Dengan keadaan yang tidak ramai—stabil—KRL melaju dengan kecepatan rata-rata. Beberapa kali berhenti di stasiun. Penumpang naik juga turun. 45 menit kemudian, tubuhnya sudah berdiri di stasiun bekasi. Tiba-tiba Pulung merasa loncatan waktu dalam hidupnya terasa dua kali lebih cepat. Kemarin dirinya masih di jakarta. Mengobrolkan banyak hal bersama Dante. Pagi tadi juga sama. Lalu siangnya tidak ada yang aneh. Dan sorenya sudah berubah. Pulung tarik napasnya. Embusannya gusar. Sirat matanya menelisik lebih dalam pada suasana ruangan. Tidak jauh berbeda dengan jakarta, bekasi juga sepi. Menggeret kopernya, secarik nama dan alamat Pulung genggam. Hingga baritone lembut menerka namanya. "Teh Pulung?" Punggung Pulung menegang. Kepalanya kaku untuk sekedar menoleh. "Saya Ardika. Biasa di panggil Ar." Kenalnya menjulurkan tangan. Yang secara cepat sudah berdiri di hadapan Pulung. Sejenak, Pulung tamatkan matanya dalam memandang. Lelaki bernama Ardika ini ganteng. Tubuhnya tegap tinggi. Rahangnya tegas. Garis wajahnya mendukung setiap pahatan yang ada di wajahnya. "Ini anak saya. Omi, Naomi." Bahkan Pulung tidak sadar dengan adanya gadis kecil berambut panjang sepinggang yang Ardika gandeng. Umurnya—mungkin—sekitar empat atau lima tahun. "Mama." Tentu Pulung terkejut. Kedua matanya melebar. "Aduh sayang. Ini teman papa. Namanya tante Pulung. Ayo salim." Yang langsung menurut. Pulung terenyuh. "Ah maaf," ucap Pulung mensejajarkan tinggi badannya dengan milik Omi. "Omi..." Pulung perhatikan sekali lagi. Tangannya tergerak membenarkan anak-anak rambut yang mencuat keluar dari ikatannya. "Sudah makan?" Dulu, sebelum menikah, Pulung bercita-cita memiliki satu anak perempuan dan satu anak lelaki. Sayangnya, usia pernikahannya yang hanya satu tahun belum memberinya amanah untuk dirinya di beri emban tanggungjawab perihal anak. Sampai surat talaknya melayang pun, yang paling Pulung sesalkan ialah tidak hadirnya anak dalam pernikahannya. Karena artikel lama menuliskan, 'ketika tua nanti, yang tersisa hanyalah anak.' Seharusnya Pulung bisa membawa anaknya ketika perpisahan terjadi. Kesepian dirinya tidak akan terlalu mencekam. Tapi Tuhan sangat adil. Ada Omi yang hadir tanpa bisa di duga. "Sama papa tadi." Gigi tengahnya yang bolong Omi perlihatkan. Senyumnya manis banget. Sehingga tidak bisa menahan Pulung untuk tidak menciumnya. "Ayo teh. Omi suka begitu." "Papa!" protesnya. "Nggak apa-apa mas..." "Ar saja teh. Biar lebih enak." Hari itu menjadi lembaran baru untuk Pulung. Meski dongkol di hatinya karena Dante tidak memberinya penjelasan soal jenis kelamin temannya—itu salah Pulung juga yang langsung setuju. Faktanya, isi pesan yang Dante kirimkan membuat Pulung melotot. "Ini namanya janda ketemu duda atau duda ketemu janda. Selamat berbahagia teh." Duhh! Kenapa jadi begini. "Saya sudah siapkan semua keperluan kamu selama di rumah. Tolong jangan sungkan. Dan kalau teteh nggak keberatan, saya pengen Omi di asuh sama teteh. Nanti kita bicarakan tentang gajinya." "Loh?" Pulung terkejut. Ardika tersenyum. "Dante nggak bilang sama teteh? Sudah saya duga." Tangannya memutar setir dan berbelok ke arah kanan. "Keseharian saya di proyek teh. Pekerjaan yang nggak mungkin saya bawa Omi." "Selama ini?" Pulung ingin tahu. "Satu minggu ini saya bawa. Dan itu ribet banget. Saya takut kalau ada apa-apa sama Omi. Namanya proyek, kan teh. Banyak material." "Nggak ada pengasuh?" Kekehan Ardika meluncur. "Dia nggak gampang dekat sama orang teh." Yang Ardika lirik putrinya lewat kaca spion. Bibir mungilnya menyerocos pelan bersama boneka di tangannya. "Tapi sewaktu lihat foto teteh yang semalam, Omi langsung setuju buat teteh jagain dia." "Alhamdulillah kalau Omi suka." "Saya harap juga begitu teh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD